Rabu, 16 Februari 2011

Marry Me

Ia terduduk di sudut cafe ini. memandang ke arah jalan raya yang ramai akan kendaraan. Orang-orang berlalu lalang. sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ia juga sibuk. Sibuk dengan sebuah buku yang ada di hadapannya. Sibuk menulis kata demi kata yang berkecamuk dalam pikirannya.
Secangkir vanila latte hangat dan sepotong croisant menemaninya sore itu. Di tengah kesibukan aktivitas yang akan di tutup. Di penghujung hari yang sibuk. Ia masih tetap berada di sana. Memandangi kesibukan yang tiada henti. Hidup dan kehidupan. Semuanya berjalan.
Tangannya yang biasanya lincah menulis, kini entah mengapa menjadi agak malas-malasan. Padahal ide ada dalam pikirannya. mengalir dalam setiap detiknya. Namun hati tak bisa ditipu. Ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang sduah mengganggunya akhir-akhir ini.

Ia datang begitu saja. Duduk di hadapanku. Memandang ke arah jalanan. Sama sepertiku. Menyukai rintik hujan yang turun. Dan sesudah itu ia pergi. Tanpa pesan. Tanpa nama. Namun entah mengapa, aku seperti mengenalnya. Sangat mengenalnya. Aku tertegun.
Aku memandangi punggungnya yang menjauh. Membelah rintik hujan yang mulai turun. Menyebrangi jalanan. Punggung yang pergi itu, sepertinya sering aku melihatnya. Namun aku tak mampu aku mengingatnya.
Aku terdiam sejenak. melihat tulisanku yang belum aku sentuh. Masih kosong rupanya. Aku memainkan pensilku sejenak. masih memikirkan hal yang sama. Memikirkannya yang datang begitu saja dan pergi begitu saja. Tapi mampu membuat pikiranku kacau balau.
Bukan! Bukan karena wajahnya yang memang tampan namun kaku. Bukan juga karena suaranya, bahkan ia tidak mengeluarkan suara apapun di hadapanku. Ia sederhana. Sangat sederhana. Ia kalem  dalam pembawaannya, namun ada sesuatu di balik ke kaleman itu.
Sungguh tuhan, mengapa aku bisa memikirkan seseorang yang tak pernah aku kenal? Tapi kenapa juga aku merasa mengenalnya. Tuhan, bantu aku!

Dan ia masih terduduk di sini. Di sore ini. memeriksa tulisannya yang ternyata masih setengahnya kosong. Ia hanya mampu menarik nafas. Mencoba berkonsentrasi. Lima menit kemudian, konsentrasinya bukbar jalan. Hanya itu yang ia lakukan di sore itu. Sungguh, ia bukanlah tipe orang yang gampang terintimidasi dengan sesuatu. Ia adalah wanita yang kuat.
“Your next latte, Clar,” ucap seorang cowok mengantarkan secangkir latte kesukaannya.
“Thanks, Far,” balasnya.
“Kerjaan lo kagak kelar-kelar, Clar?”
“Tau nih, Far. Gua bingung. Gua pusing banget. Kenapa akhir-akhir ini gua nggak fokus ya?”
“Nggak fokus kenapa?”
“Lo tau kan cowok yang tiba-tiba datang di hadapan gua beberapa hari yang lalu?”
“Yang ia duduk di hadapan lo karena nggak ada meja yang kosong?” tanya Fardi. Ia mengangguk. “Ya. Gua ingat. Cakep lah orangnya.”
“Bukan masalah cakepnya dodol!”
“Terus?”
“Gua kok kayaknya udah familiar ya sama dia?”
“Itu kan baru kayaknya, Clar. Lu mah suka pake perasaan kan?!”
“Tapi kadang-kadang perasaan gua bener juga tau, Far.”
“Iya. tapi kebanyakan salahnya.”
“Sialan!”

Ia terduduk di sana. Menulis di sebuah buku. Ia tak pernah melepaskan kebiasaannya. Membawa buku kemana-mana untuk menulis. Seperti kebiasaannya sewaktu dulu. Membawa buku tulis kemana-mana.
Dengan secangkir latte kesukaannya. Ia menulis. Wajah itu, wajah seriusnya. Wajahnya yang selalu aku pandangi jika ia sedang melakukan sesuatu. Wajah yang tak pernah berubah sejak aku terakhir bertemu dengannya enam tahun lalu. Di saat kami sama-sama pergi untuk menggapai cita-cita kami masing-masing.
Dan kini, ia begitu dekat denganku. Sungguh, ingin aku melakukan kebiasaanku sewaktu dulu. Menjawil pinggangnya dan tersenyum tanpa dosa kepadanya. Dan ia hanya menonjok lenganku yang kurus. Dan aku hanya meringis kesakitan karena tonjokannya.
Ia masih tetap sama. Seorang Clara Anissa yang sebenarnya tidak cantik, namun ia mempunyai sesuatu yang mampu membuat orang tertarik kepadanya. Balutan kain di kepalanya membuatnya semakin memiliki daya tarik itu.
Aku hanya bisa tersenyum memandanginya. Hanya itu yang aku bisa lakukan sekarang.

Ia memeriksa proposal yang di hadapannya. Membaca satu persatu tawaran yang ada. Memikirkan prospek yang akan di terimanya kini dan nanti. Wajahnya yang teduh, selalu nampak serius. Adrian Permana.
“Masih sibuk aja, Dri?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Matheo Achmad Suradja. Adri hanya tersenyum. Memperlihatkan setumpuk berkas yang masih berserakan di atas meja kerjanya. “Memang ya, calon pemimpin itu selalu sibuk ya, Dri!”
“Apa sih, Yo?” tanya Adri. Melemparkan senyumannya. “Ada apa?”
“Kau udah temui Clara, Dri?” tanya Theo langsung pada point yang ia tuju. Adri hanya tersenyum dan mengangguk. Adri mengerti, pasti Theo akan menanyakan ini. Sudah sekian tahun ia bersahabat dengan Theo, ia mengerti apa yang akan Theo lakukan. “Tapi dia belum tahu kau?” tanya Theo lagi. kali ini Adri mengangguk dan menunduk. “Adri... Adri... kau ini cakep-cakep tapi tololnya minta ampun!”
“Yang penting aku sudah tau dia dimana, Yo,” ucap Adri tenang.
“Tapi kalo kau tau dia dimana, tanpa dia tau kau dimana, sama aja bohong kau, Dri,” balas Theo. “Dri, aku budah bilang kalo Clara bukanlah cewek sembarangan. Memang ia agak kacau sikapnya. Ia tidak seanggun wanita lainnya, namun di balik itu semua. Dia itu wanita yang berbeda dan hebat. Kau tau itu, Dri. Dan kau mengerti.”
“Iya, sampai kau saja ingin menikahinya kan?” ucap Adri. Menggoda.
“Hey, Dri. Udahlah, jangan ungkit itu lagi. nanti ketahuan istriku, bisa mampus aku!”
“Kenapa Yo? Nggak di kasih jatah?”
“Sialan kau, Dri!”

“Memang kenapa sih kamu nggak mau pacaran, Clar?”
“Kenapa ya? Mungkin karena aku nggak laku-laku ya, Ndri?” ucapnya. Tertawa.
“Serius aku, Clara!”
“Hmm... aku nggak mau pacaran sebelum aku lulus, sebelum aku kerja dan punya uang yang banyak. Dan kayaknya aku emang nggak mau punya pacar. Aku mau langsung suami aja.”
“Enak ya jadi suami kamu, di masakin tiap hari nantinya.”
“Ya dong, kan bisa ngirit,” ucapnya. Tertawa.

Aku masih tak mengerti siapa dia. Tapi aku merasa mengalnya. Sangat mengenalnya. Punggung itu, sepertinya aku sering melihatnya. Dulu. Dan entah dimana. Wajahnya yang teduh namun tegas. Aku seperti dekat dengannya. Mengerti siapa dia, tapi jujur saja, aku lupa siapa dia.
Ada sesuatu yang menyelimuti perasaanku. Ia begitu sangat familiar denganku. Dan perasaan ini mengiyakan. Tapi jika di tanya logika, otak pun tak mampu menjawabnya. Sungguh ya Allah, jangan biarkan nafsu ini membelenggu hamba-Mu ini..

“Kamu mau kemana?” tanyaku.
“Mau ke perpus bentar, Clar. Nanti janjian di depan fakultas ya,” ucapnya. Aku hanya mengangguk. Menatapnya pergi. Melihat punggung itu mejauh dari pandanganku.
Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Sebagai sahabat. Tidak lebih untuk saat ini. aku mencoba untuk tidak mencampur urusan pacaran dengan sahabatan. Mungkin aku nggak mau pacaran dengan sahabat, tapi aku nggak nolak kalo suamiku nanti adalah sahabatku sendiri.

“Kamu mau kemana?” tanyanya.
“Mau ke perpus bentar, Clar. Nanti janjian di depan fakultas ya,” ucapku pamit. Aku berjalan ke arah perpus. Meninggalkan ia sejenak.
Dia adalah wanita hebat. Setidaknya itu yang dikatakan Theo padaku. Ia mandiri bukan hanya untuk urusan wanita seusianya. Tapi ia mandiri secara finansial. Ia sederhana, walau ia mempunyai banyak sekali barang-barang yang membuat seoarng wanita ngiler jika melihatnya. Ia tidak pintar, tapi ia cerdas. Wawasannya luas karena memang ia senang dengan membaca. Ia tegas dalam setiap pengambilan keputusan dan juga prinsipnya. Itu yang membuatnya berbeda.
Ia pernah bilang, ia tak mau pacaran sebelum lulus kuliah. Ia juga punya prinsip, ia tak akan pernah pacaran dengan sahabatnya. Tapi jika sahabatnya menjadi suaminya kelak, ia tak akan menolak. Sungguh pemikiran yang hebat dan aneh. dalam usianya semuda itu, ia mampu memutuskan.

“Adri.. Adri... jangan kau berputus asa begitu, Dri,” ucapnya padaku. Aku hanya terdiam. “Mungkin memang ia mempunyai prinsip seperti itu, tapi kau ambillah positifnya.”
“Maksudmu?”
“Jika memang kau tidak bisa miliki ia sekarang sebagai pacar, itu tak apa. Tapi nanti, lima, enam sampe tujuh tahun ke depan, ia harus jadi milikmu sebagai istrimu.”

Ia masih terduduk di sana. Masih dengan buku tulisnya. Memandangi jalanan yang lengang karena hujan mengguyur dengan derasnya. Ia masih tak fokus dengan kerjaannya. Masih memikirkan seseorang itu. Kini ia mampu merabanya, tapi apa benar dugaannya? Ia tak tau.
Ia menutup buku tulisnya. Tangannya menopang dagunya. Tatapannya menerawang. Menikmati setiap butiran hujan yang turun.
“Masih suka melamun, Clar?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba menyambanginya. Clara menoleh.
“Theo?” ucapnya tak percaya. Theo hanya tersenyum. “Kamu ngapain ada di sini? Bukannya kamu masih di Qatar ya terakhir?”
“Ya... sebulan yang lalu aku pindah sini. Lebih enak tinggal di negeri sendiri ternyata.”
“Terus bagaimana istrimu?”
“Baik-baik aja. Alhamdulillah, sehat wal afiat,” ucap Theo. Clara hanya mengangguk. Bersyukur. “Kau tidak menanyakan kenapa aku di sini?”
“Perlu gitu?” tanya Clara bercanda.
“Kau tuh tetap sama ya. Nggak berubah. Masih aja ngeselin. Bener kata Adri, kau nggak berubah.”
“Adri?” tanya Clara mengerenyitkan. Heran.
“Ya. Adrian Permana. Teman kau yang cakep itu, Clar. Masa kau lupa?”
“Ya nggaklah, gimana bisa aku lupa, Yo. Dia tuh sahabat aku. Gila apa kamu!”
“Yakin dia itu Cuma sahabatmu, Clar?” tanya Theo. Menggoda.
“Yo, jangan sampai aku menghajarmu di sini,” ucap Clara bercanda.
“Aku serius, Clar. Kau tuh, masih suka aja bercanda sewaktu aku bicara serius.”
“Oke. Sekarang aku serius.”
“Aku tau, kau sayang sama Adri, Clar.”
“Aku sayang sama sahabat-sahabatku, Yo. Termasuk kamu. Kamu tau itu kan?”
“Jangan memotong dulu, Clara. Lama-lama tak tabok kamu,” ucap Theo bercanda. Clara hanya tertawa, tapi ia memasang tampang serius. “Kau juga tau Adri sayang sama kamu. Lebih dari sekedar sahabat.”
“Dan kau juga?” tanya Clara. Bercanda.
“Awalnya,” ucap Theo. Mimiknya seratus persen berubah serius. Clara berhenti tertawa, menatap sahabatnya itu tak percaya. “Awalnya, Clar. Sebelum aku tau kalo Adri menyimpan perasaan yang sama. Setelah aku tau, aku mengalah. Aku menyayangi kalian berdua. Dari awal, kau berdua adalah sahabatku,” ucapnya. Clara hanya mengangguk-angguk. “Kau tau, Clar. Adri menunggumu sampai saat ini.”
“Menungguku?”
“Mungkin dulu, ia tak bisa jadi pacarmu, tapi sekarang...”
“Aku udah bilang kan, Yo, aku nggak mau pacaran!”
“Aku nggak bilang kalo kau pacaran sama dia.”
“Lalu?”
“Kau itu lama-lama mirip sama Adri. Sama-sama tololnya!”

Ia telah memantapkan hatinya. Menuju sebuah kafe yang sering ia kunjungi akhir-akhir ini. menghampiri seseorang yang memang sering berada di dalam kafe ini. seseorang yang telah ia cari keberadaannya selama ini. setelah lima tahun tak bertemu.
Dan dia duduk di sana. Merenung. Tangannya menopang dagunya. Matanya menatap keluar. Kebiasaan lamanya tak berubah. Melihat rintik hujan yang turun dari langit. Katanya, jika ia melihat hujan turun, hatinya akan menjadi lebih tenang.
Forever could never be long anough for me. To feel like I’ve had long enough with you. Forget the world now. We won’t let them see. But there’s one thing left to do. Now that the weight had lifted. And love has surely shifted my way.
“Clar,” ucapnya memanggil. Yang dipanggil menoleh. Agak terkejut dengan siapa yang memanggilnya. Ia hanya tersenyum. Senyuman yang masih sama seperti lima tahun lalu.
“Adri?”
“Maaf, kalo aku ngeganggu,” ucapnya. Kaku. Clara hanya tersenyum. Mempersilahkan sahabatnya itu duduk. “Dan maaf, kemarin aku nyelonong aja, tanpa memberitahukan siapa aku.”
“Kamu tau nggak rasanya, Dri. Kalo aku tau, itu kamu. Rasanya pengen tak tonjok kamu!”
“Jadi kamu nggak sadar kalo itu aku?” tanyanya kecewa.
“Awalnya,” ucap Clara. Ada penyesalan di sana. “Tapi setelah aku lihat punggung kamu, aku rasanya mengenal kamu. Dan ternyata benar, itu kamu.”
“Ternyata kamu udah lupa sama aku?”
“Ya iyalah, kamu nggak ada senyum, nggak ada ngomong,  nggak ada ekspresi waktu itu. Gimana aku bisa tau itu kamu, Dri,” cerocos Clara. Adri hanya tersenyum. “Kamu kenapa nggak bilan sih kalo kamu pindah ke sini?”
Marry me. Today and everyday. Marry me. If I ever get the nerve to say hello in this cafe. Say you will. Hmmm.. Say you will. Hmmm..
“Clar...”
“Hmm...”
“Kamu ingat perkataan kamu yang kamu nggak mau pacaran sama sahabatmu sendiri?”
Clara mengangguk.
“Tapi kamu nggak nolak kalo nantinya, suami kamu adalah sahabat kamu?”
“Maksud kamu?”
“Dulu, aku udah berjanji, jika aku nggak bisa miliki kamu sebagai pacar, aku akan miliki kamu sebagai istriku. Dan ternyata lebih baik seperti itu.”
“Dri, kamu nggak sakit kan?”
Together could never be close enough for me. To feel like I am close enough to you. You wear while and I’ll wear out the words. I love you and you’re beautiful. Now that the wait is over. And love has finally showed her my way.
“Maaf kalo aku ngedadak, Clar. Aku bukannya mau merusak hubungan sebelum ini yang sudah terjalin. Tapi aku...”
“Dri, waktu dulu aku sempat menyesal dengan prinsip yang aku buat. Awalnya, sesudah aku ketemu kamu. Kamu memang sahabat yang baik yang nantinya akan menjadi suami yang hebat. Aku percaya itu. Kamu akan menjadi seorang ayah yang bisa dijadikan contoh bagi anak-anaknya,” ucap Clara. “Tapi itu udah jadi prinsipku, Dri. Dan aku harus konsukuen untuk menjalaninya.”
“Dan kamu menjalaninya dengan baik, Clar,” ucap Adri. Tersenyum. Senyuman yang selama ini Clara rindukan. “Benar kata Theo, kamu memang wanita yang hebat.”
Marry me. Today and everyday. Marry me. If I ever get the nerve to say hello in this cafe. Say you will. Hmmm.. Say you will. Hmmm..
“Dan aku nggak akan merusak apapun yang udah terjadi dan terjalin. dan kamu nggak melanggar prinsip kamu, Clar. Terkadang kita butuh waktu untuk mengerti mengapa kita menjalani kehidupan ini,” ucap Adri. Keseriusan dalam setiap penekanan nadanya membuat hati Clara ketar-ketir.
“Dri, makasih ya, udah lama nunggu,” ucap Clara. Ada getaran lembut dalam nada ucapannya. “Aku nunggu saat-saat ini.”
Promise me. You’ll always be. Happy by my side. I promise to. Sing to you. When all the music dies.
“Theo pasti seneng.”
“Pastinya!”
Marry me. Today and everyday. Marry me. If I ever get the nerve to say hello in this cafe. Say you will. Hmmm. Say you will.
Marry Me - Train

Tujuhbelas januari duaribu sebelas, sebelas limapuluh satu malam

Selasa, 18 Januari 2011

Past of My Life

“Jia makannya harus banyak ya, biar cepat besar!” ucap seorang wanita yang berumur sekitaran tiga puluhan kepada seorang anak yang berada di depannya. Menyuapi anak itu dengan kasih sayang yang selayaknya. Dan sang anak hanya mengangguk, entah ia mengerti apa tidak. Ia hanya mengangguk. Mengangguk agar ibunya tersenyum.
Ia memakan makanannya dengan lahap. Sesendok demi sesendok. Sesuap demi sesuap. Ia hanya menuruti apa yang ibunya bilang. Ia mengangguk dan tersenyum. Mengiyakan sesuatu yang entah ia mengerti apa tidak.
Dan di sana. Duduk di pojokan. Ada seorang wanita yang berumur dua puluhan, melihat ke arah pasangan ibu dan anak yang sedang makan itu. Seorang wanita dengan laptop di hadapannya. Berdiam diri memikirkan sesuatu di kepalanya. sesuatu yang membuat memorinya terbuka. Sesuatu tentang masa lalunya.
Senyuman miris. Hanya itu yang terukir di bibirnya. Dan ia kembali berkonsentrasi dengan laptopnya. Menekan tuts keyboard yang sudah diakrabi oleh jemarinya. Pikirannya kembali terurai. Terjemahkan kata perkata. Kalimat demi kalimat tercipta.
Dan ia langsung sibuk dengan pengetikannya.

Ia begitu bahagia dalam sebuah perhatian. Ia begitu bersemangat dalam sebuah kasih sayang. Ia begitu penurut dalam setiap anggukan kecilnya. Sungguh, aku tak mengerti mengapa aku iri dengannya. Bukannya masa-masa lalu itu harusnya sudah berlalu dan terkubur dalam-dalam? Harusnya! Namun terkadang, sebuah memori terkadang terbuka begitu saja, tanpa filter dan waktu yang pas.
Sebuah memori. Menyakitkan! Sangat!
Di saat anak seusiaku dulu masih duduk manis bercanda dengan orang tuanya. Tertawa bahagia. Bisa bermanja-manja. Berkumpul dengan keluarganya. Dituntun agar aku tumbuh sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Ya... seharusnya aku mendapatkan itu. SEHARUSNYA!
Namun nyatanya aku tidak. Aku hidup dengan kesendirian. Kesendirian tanpa siapapun. Aku punya dua kakak. Satu kakak laki-laki dan perempuan. Dan mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya aku dan duniaku. Duniaku yang abstrak.
Orang tuaku?
Mereka hanya sibuk bekerja. Mereka berangkat pagi dan pulang sangat larut malam. Hanya bertegur sapa di pagi hari dan aku hanya tersenyum. Bukan senyuman termanisku atau tercantikku. Senyumku hanya sebuah bibir yang ditarik ke atas sedikt. Hanya sedikit. Dan aku rasa itu sudah cukup, dan memang sepertinya sudah cukup.
Cafetaria, 12 Oktober

Hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang sudah kering kerontang sebelumnya. Tetse demi tetes dengan intensitas yang banyak. Setai detik, ada ribuan titik yang menyentuh tanah bumi ini. Menyegarkan dan juga menyenangkan.
Sebuah mobil sedan perak melintas dengan kecepatan rendah. Mata si pengemudi begitu tajam mengawasi jalanan. Dengan jarak pandang hanya beberapa kilometer, membuatnya agar berekstra hati-hati. ia menghentikan kendaraannya. Berhenti tepat di belakang garis marka. Mematuhi lalu lintas yang ada. Dalam keadaan hujan, ia masih mampu melihat sebuah lapangan. Lapangan sepakbola yang penuh dengan anak-anak yang bermain.
Ia hanya tersenyum. Bukan senyuman yang hanya segaris, melainkan sebuah senyuman penuh. Ia memarkirkan mobilnya di pinggir lapangan. Memperhatikan setiap mimik-mimik bahagia walau tertimpa air hujan yang lebat. Ia mengeluarkan kamera DSLR nya. Memfoto setiap mimik yang bahagia itu.
Dan ia pun mengeluarkan notebook nya. Memindahkan file yang ada ke dalam notebooknya. Dan jarinya langsung mengetik. Ada sebuah jalan pemikiran yang harus ia tumpahkan. Harus. Segera!

Mereka sangat bahagia. Bahagia yang tak terbiaskan dengan kata-kata maupun cerita. Mimik-mimik itu adalah mimik-mimik yang sangat akrab dengan kebahagiaan masa kecil mereka. Sungguh, seharusnya aku turut bahagia atas mimik-mimik bahagia itu.
Dan hujanpun tak mampu menyamarkan pancar bahagia dalam usia mereka. Hujan lebat ini mampu membawa kesenangan bagi mereka. Dan juga bagiku. Kesendirian dan hujan adalah sesuatu yang tak terpisahkan bagiku.
Kesendirian. Dengan mimik yang biasa saja. Tak ada mimik-mimik seperti mereka yang asik dengan bola tanpa memperdulikan hujan. Tidak ada. Aku hanya bisa diam. Mengalah dan disalahkan tanpa ada pembelaan.
Lampu Merah, 15 Oktober

Hujan sepertinya urung untuk berhenti. Ia terus menerus secara fluktuaktif membasahi bumi yang sudah penuh dengan air. Dan ia masih saja memandangi hujan dari balik kaca jendela mobil sedan peraknya. Menatap sebuah rumah yang kosong, namun masih terawat.
Lama sudah ia berada di sana. Entah apa yang ia pikirkan. Ia memandangi rumah itu. Rumah yang masih terawat, namun kosong. Ada setitik pancaran aneh yang berkilat di matanya. Pancaran yang hanya beberapa orang saja yang mengerti.
Akhirnya ia memutuskan untuk turun ditemani dengan payung dan juga tas kecil yang berisi benda-benda kesayangannya. Ada keraguan saat ia sampai berada di depan teras rumah itu. Keraguan yang entah mengapa ia harus takutkan.
Ia berjalan mendekat perlahan. membuka pintu dengan sebuah kunci yang telah lama ia simpan. Ia menghirup udara lembab. Udara yang sudah lama ia tak menghirupnya selama ini. Udara yang hanya ia hirup pada malam hari, ketika ia pulang untuk tidur.
Ia menarik nafasnya dalam. Membiarkan apa yang ada di memorinya terputar kembali dalam ingatannya. Layaknya sebuah bioskop kehidupan.
Ia berjalan ke sebuah meja yang berada di ruang tengah. Sebuah meja dengan sofa dan televisi di depannya. Ruang keluarga. Ada seukir senyuman miris yang terukir. Ia langsung duduk dan membuka notebooknya. Membiarkan segala sesuatu mengalir dalam kata dan kalimat.

Dan aku kembali melihat ini semua. Dalam sebuah bayang masa lalu yang tak tau sampai kapan. Semuanya masih nampak sama. Sampai kini. Sampai aku dewasa. Dan memori itu kini terputar dalam sebuah ingatan yang tak akan pernah lekang oleh waktu.

“Malam, ma. Mama tau nggak, Hera...”
“Jangan sekarang Hera, mama capek!”
Aku hanya ingin menjadi seorang anak yang memang mempunyai masa kecil yang seharusnya. Aku ingin menjadi seorang anak normal yang bisa bercengkrama dengan ibu dan bapaknya. Belajar dari mereka melalui obrolan. Mendengarkan prestasi apa yang telah aku capai dalam setiap jengkal waktu hidupku.
Tapi sungguh, ketika mulut ini ingin berucap untuk menyampaikan sebuah berita. Mereka nampak tak ingin mengetahuinya. Mereka hanya bilang kalo mereka capek. Dan aku hanya diam mengalah, memakluminya.
Setiap hari aku bertambah dewasa dengan suatu pemahaman yang sudah tertanam dalam benakku. Entah itu datang dari mana. Aku hanya melihat dan memperhatikan. Menjalani dalam sebuah pikiran.
“POKOKNYA ALIN MAU BARANG ITU ADA BESOK!”
“Tapi, Lin...”
BRAK! Suara pintu dibanting.
Aku melihatnya. Mendengarkanya. Merasakannya.
Begitu gampang kalimat itu keluar. Begitu mudah amarah itu meluap. Dan esoknya ia mendapatkan apa yang ia harapkan. Dan aku hanya tersenyum. Terdiam. Mengalah. Kembali pada kamarku dan mengerjakan semua soal pekerjaan rumahku. Tak ada protes. Hanya diam.
Dan ia senang. Memuji keduanya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Sungguh. Aku melihatnya. Mendengarkannya. Merasakannya. Seketika ada sakit di dada ini. Keirian. Tapi aku tidak diajarkan untuk itu. Aku tak pernah diajarkan untuk beriri hati. kata guru di sekolah, itu tidak baik. jadi aku mengangguk dan menurutinya.
Dan aku semakin mengerti di setiap waktu yang terlewati. Mengerti bahwa aku memang berbeda dan dibedakan. Dan semua orang mulai menertawakanku. Dalam sebuah wacana yang merekapun tak pernah tau kebenarannya. Dan aku hanya diam. Mengalah.
“Mama, Hera mau sepatu baru.”
“Memang kenapa dengan sepatu lama kamu?”
“Nggak kenapa-kenapa, tapi...”
“Kalo masih bisa dipakai, pakai yang lama aja dulu.”
Bahkan tidak ada alasan yang diberikan. Dan sungguh, aku hanya mengangguk. Mengerti. Mengerti dan memang itu yang akan terjadi. Aku hanya terdiam. Dan kembali ke kamar. Melihat hujan dari balik jendela. tak ada air mata. Karena memang itu sudah tak mampu keluar lagi. aku sudah terbiasa dengan ini.
Keirian itu memang ada, tapi aku harus membunuhnya. Aku tidak diajarkan itu. Guruku melarangnya dan agamaku juga. Aku tak boleh iri. Aku harus ikhlas. Hanya itu yang aku bisa aku terapkan. Hanya itu. Sebuah ajaran yang tertanam dalam diri. Hanya itu yang aku lakukan. Dan memang, Tuhan itu maha adil.

Ia menarik nafasnya dalam. Ada buliran halus yang terjatuh dari mata beningnya. Memori itu sungguh menguras segala sesuatu yang ada dalam dirinya. Memori yang telah lama ia simpan dan urung ia buka. Tapi sekarang, entah mengapa ia kembali mencari sesuatu dari masa lalunya. Dan ia membiarkan itu semua mengalir.
Ia kembali fokus di depan notebook mungilnya. Jemarinya yang biasa lincah mendadak kaku. Pikiran itu masih mengalir deras. Mendesaknya agar ia mau melincahkan jemarinya untuk mengetik.

“GOBLOK KAMU! GIMANA BISA DIA LARI DENGAN BEBASNYA MASUKIN BOLA KE RING!”
Suara omelan itu sering sekali menyambangi telingaku dan teman-temanku. Tak ada kata menang dan kata kalah. Omelan itu selalu datang untuk kami. Dan kami harus tetap berdiri. Dan berdiri kembali. Mental kami diuji. Tak ada pujian.
Namun di balik itu, aku bangga. Aku mampu mengahsilkan uang sendiri. Dengan bermain dan aku dibayar. Dan selembar demi selembar aku kumpulkan dari bermain permainan ini. Permainan yang telah menjadi sesuatu bagiku. Entah itu dalam bentuk pelarian apa bukan.
“Makasih, Ma, Pa, HP barunya!”
Ia berkata dengan senangnya sambil melihat HP barunya. Aku hanya terdiam. Menyelinap masuk ke dalam kamarku. menaruh semua barang-barangku dan langsung terbaring di atas dipanku. Aku merogoh saku celanaku. Menghitung uang yang aku dapatkan. Empat ratus ribu. Lumayan untuk nambahin uang beli HP.
Aku terdiam sejenak. merenungi apa yang baru saja terjadi. Tuhan, apa ini memang nyata? Jika ya, mengapa? Setiap malam, hanya itu yang tersirat dalam pikiranku. Aku tak bisa lagi mengharap, bukannya tidak bisa, aku tak mau mengharap. Harapan itu memang ada, tapi aku tak mau menggantungkan seratus persen pada harapan yang belum pasti. Tuhan, maafkan aku.

Ia menarik nafas dalam untuk kesekian kalinya. Ia menahan setiap buncahan perasaan yang ada. Ia tak boleh lemah dalam mengingat setiap memori masa lalunya. Ia harus kuat. Sekuat dulu sewaktu ia menghadapi masa lalu.
Angin di luar bertiup kencang. Menggetarkan jendela di rumah itu. Kenangan dalam memorinya semakin nyata. Ia masih terpaku di depan notebooknya. Jemarinya semakin kaku untuk menekan tuts-tuts yang ada.

“Kamu udah buat mama dan papa kecewa! Mau jadi apa kamu? Berantem kayak anak cowok!”
“Tapi, Ma...”
“Jangan ngeles kamu!”
Aku diam. Tak menunduk. Aku tak takut. Bukannya aku durhaka, tapi memang bukan aku yang salah. Mungkin memang, menurut mereka aku lah yang salah, tapi apakah mereka pernah menanyakan apa alasannya? Tanpa aku menjawab, pasti sudah jelas jawabannya.
Aku kembali ke kamar. Menaruh semua peralatanku. Aku langsung membuka jendela. hari ini tidak hujan, namun udara dingin. Aku terdiam menatap langit. Sesekali luka yang ada di bibir berkedut nyeri.
“Lu tuh bisa nggak sih nggak ganggu orang?!”
“Lu mau jadi jagoan?”
“Menurut lu?”
BUG!
Bayangan tadi siangpun berkelebat di dalam ingatanku. Sebenarnya aku tak mau melakukan itu, tapi tindakan satu manusia itu sudah dibatas kewajaran. Menyiksa secara perlahan namun berkala. Sungguh, aku yang melihatnya saja sudah tak tahan, apalagi orang yang di siksa.
“Lu belum tidur?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba berada di depan daun pintu kamarku. aku hanya menggeleng. “Gua denger ada yang barusan berantem?”
“Kalo lu Cuma mau marahin dan nasihatin gua, mendingan lu keluar deh!”
“Ternyata adik gua bukan lagi adik yang kalem ya?” ucapnya sambil tertawa. Aku terdiam. “Jangn lu kira gua sibuk sendiri, terus gua nggak pernah memperhatikan elu. Selama ini, tanpa lu ketahui, gua mengawasi elu semua.”
“Gua tersanjung!” ucapku. Setengah memuji, tapi tak ikhlas.
“Gua tau kok, lu udah bisa ngehasilin uang sendiri. Gua tau, selain dari main basket, lu juga dapat gaji dari salah satu koran karena lu jadi jurnalis muda kan?”
“Lu nguntit gua?”
“Terkadang. Soalnya lu balik di atas jam sembilan. Makanya gua nguntit elu,” ucapnya tertawa. Aku terdiam. “Gua sadar kok, kita memang dibedakan, Her.”
“Maksud lu?”
“Gua tau kok, lu balik di atas jam sembilan malam karena elu nyari pelarian kan? Menyibukan diri biar lu nyampe rumah hanya untuk tidur.”
“Terus, maksud lu masuk ke sini terus cerita apaan, Mas? Gua nggak ngerti.”
“Elu tuh adik gua yang berbeda, Her. Lu udah mengerti sejak elu kecil. Sejak elu SD. Mengerti tentang keadaan. Dan elu nggak pernah protes dengan semua itu. Elu mengalah. Gua bangga.”
Aku terdiam. Mengerti. Sangat mengerti. Kami adalah anak sulung dan bungsu. Anak pertama dan terakhir. Jarak kami memang jauh, tapi selama ini ia lah yang selalu berada di sebelahku. Mendampingiku.
“Gua hanya menjalani apa yang seharusnya gua jalani. Gua hanya berjalan di jalan yang udah ada. Kalo emang jalannya berkelok, ya udah gua harus hadapi.”
“Lu tau, terkadang lu nggak seperti anak bungsu pada umumnya. Lu terlalu mandiri dan dewasa untuk menjadi seorang bungsu.”
“Yah, terkadang kondisi dan situasi yang mengubah cara berpikir kita untuk mejadi sesuatu yang lebih baik,” ucapku. Menatap mata kakakku itu. “Gua belajar banyak dari elu, Mas. Lu bukan hanya kakak, tapi juga orang tua bagi gua. Lu yang ngajari semua hal yang nggak pernah mereka ajarkan pada gua.”
Hening.
Diam.
Tanpa suara.
“Terima kasih, Her!”

Dan waktu berjalan cepat bagiku. Sangat cepat. Membiarkan aku yang tadinya tak mengetahui apa-apa, kini menjadi tau. Membiarkanku tumbuh menjadi dewasa dan mandiri. Tidak ada yang dapat memprediksi tentang waktu yang akan terjadi kini dan nanti.
Dan aku mensyukuri tentang waktu yang telah aku lewati. Masa lalu memang bagian dalam hidup yang telah berlalu, tapi bukan berarti telah dilupakan. Aku tak mengenang masa lalu itu sebagai sesuatu yang harus dilupakan. Karena jika aku melupakannya, aku tak akan pernah menjadi seperti sekarang.
Aku memang mengalah, tapi bukan berarti aku kalah.
Rumahku, 15 Oktober

Ia keluar dari rumah itu. Menyimpan kembali semua kenangan yang telah ia buka sesaat itu. Menumpahkan dalam barisan kata. Ia melaju di bawah hujan deras dalam mobil sedan peraknya. Menata hidupnya di masa kini dan nanti.


Yogyakarta, tujuhbelas januari duaribusebelas, lima lewat sepuluh sore.

Sabtu, 08 Januari 2011

Sebuah Penerimaan


Ia terbaring di atas dipan rumah sakit. Ia nampak begitu lemah. Tak ada asupan gizi kecuali infus yang terpasang melalui belalai plastik.  Dan cairan itu, setets demi setetes mengalir ke dalam tubuhnya.
Ia, Aurora. Seorang gadis berumur sekitar sembilan belas tahun. Ia tidak cantik, namun ia mempunyai aura agar setiap orang melirik, bahkan menoleh ke arahnya. Ia tidak seksi, namun ia mempunyai sesuatu yang bisa menggetarkan hati. bukan hawa nafsu, melainkan kekaguman.
Dan kini, kecantikannya masih tetap terjaga. Utuh tersimpan. Walau kini ia terbaring. Ia masih mampu menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya, walau dengan keadaan menyedihkan.
Dan di luar sana. Ribuan bibir sedang bergumam. Mengagugkan asma-Mu ya Allah. Berdzikir. Berlafadz. Memohon. Agar ia terbangun dari tidur lelapnya. Tersenyum menyambut dunia kembali. Ribuan bibir itu tak berhenti mengucapkan lafadz-Mu. Sejak tiga hari yang lalu. Sejak ia tergeletak lemah tak berdaya di kamarnya.
Dan sungguh ya Allah. Siapakah ia?

Bagaimana perasaan kalian jika kalian sudah tau kontrak umur kalian di dunia? Sedih atau malah senang? Atau mungkin akan datar-datar saja? Seperti air yang sudah berada di hilir sungai. Dan jika kalian menanyakan itu padaku, aku akan menjawab, entahlah. Jalani saja. Toh memang umur manusia tak akan lebih panjang, malah akan bertambah pendek setiap detiknya.
Dan itu yang aku alami. Aku percaya, hanya Tuhan yang menentukan seberapa lama aku hidup. Dan seberapa lama kehidupan itu berjalan.

Usianya baru delapan tahun saat ia terkena vonis itu. Dan pada usia semuda itu. Ia tak mengerti apa-apa. Sungguh, ia masih bisa tertawa. Masih bisa tersenyum bahagia. Dan sungguh, ia tumbuh seperti seorang anak yang sama dengan yang lain. Senang bermain. Senang bercanda. Dan ia hanya tau, kalo ia harus mengikuti sebuah terapi dan juga meminum obat setiap pagi dan sore. Selebihnya, ia hanya bermain, belajar dan juga bercanda.
Sungguh indah masa anak-anak. Sungguh membahagiakan jika kita melihat dari sisi dewasa saat kita memandang anak-anak kecil bermain. Dan sungguh, dunia terasa sangat sederhana bagi mereka. Sesedehana mereka mengungkapkan cita-cita.

Semuanya terulang kembali di ingatanku. Seperti bioskop kecil dan aku menonton diriku sendiri. Tertawa. Menangis. Manja dan bertengkar. Aku melihatnya semua. Sungguh, betapa sederhana pemikiranku waktu itu. Hanya terapi dan minum sebuah pil setiap pagi dan sore. Jika ditanya pil apa itu, aku hanya menjawab, ‘hanya sebuah pil multivitamin’, sudah hanya itu. Dan ‘penerimaan’-ku hanya sesederhana itu Tuhan. Sesederhana itu.

Usianya bertambah lima tahun kini. Sungguh ia tumbuh sebagai gadis yang sangat periang. Selalu tertawa. Pembawa kebahagiaan. Senyumnya sungguh, membuat mulut orang lain tergerak untuk membalas senyumannya.
Ia masih tetap dengan kegembiraannya. Masih tetap dengan canda riangnya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kurun waktu manusia. Dan ‘penerimaan’ itu ternyata tak sesederhana yang ia pikirkan.
Semakin bertambahnya usia, ia semakin mengerti. Semakin bertambahnya usia, ia semakin banyak tau. Dan ‘penerimaan’ itu terkikis kesederhanaannya. Ia mulai galau. Ia mulai menolak penerimaan itu. Ia mulai membantah apa yang seharusnya ia tak boleh ia bantah.
Dan sungguh ya Allah, apakah segampang itu manusia meninggalkan penerimaan yang sederhana? Penerimaan yang seharusnya tak perlu diubah. Penerimaan yang seharusnya dijalani. Sungguh ya Allah, manusia lah yang selalu gampang menyalahkan-Mu atas cobaan yang Engkau berikan. Dan sesungguhnya, Engkau tidak akan memberikan cobaan yang lebih dari kemampuan hamba-Mu.

“Bukannya kamu sakit, Rora?” tanya Bu Indri. Kepala sekolahnya. Ia hanya terdiam. Membisu. Tak ada niatan untuk menjawab. “Oiya, kamu bukannya selalu minum obat ya? Kenapa sekarang jarang minum obat?”
Ia masih saja terdiam. Enggan untuk mejawab. Ia mulai menggoyangkan kakinya. Bertanda ia sudah tak nyaman.
“Kalo kamu mau sembuh, kamu harus minum obat dan mengikuti terapi, sayang.”
Ia mulai bereaksi. Senyuman sinis mulai terkembang di bibir mungilnya. Senyuman yang mulai muncul ketika ia tumbuh dan mengerti.
“Bukannya, ibu sudah mengerti?” tanyanya balik. Matanya yang tajam mulai berkilat. Bu Indri hanya memandang anak muridnya itu. Tersenyum. “Bukannya ibu mengerti kalo saya tidak akan sembuh dan tidak AKAN PERNAH sembuh?”
Bu Indri hanya tersenyum. Mencoba menenangkan anak didik yang paling disayanginya itu. Mengelus rambut panjangnya yang lurus. Menghela nafas sejenak untuk menenangkannya.
“Bukannya seharusnya ibu takut pada saya karena saya berpenyakit? Bukannya ibu harusnya menjauhi saya sama seperti orang-orang?”
“Apa kamu berpikiran seperti itu?” tanya Bu Indri. Ia hanya tertunduk. “Seharusnya ibu menjauh dari kamu. Seharusnya ibu taku karena penyakit kamu. Seharusnya,” ucap Bu Indri tenang. “Tapi sayang, ibu bukan tipe orang yang selalu menuruti kata seharusnya,” ucap Bu Indri. Ia terdiam beberapa lama. “Mereka tak mengerti bagaimana kamu bisa terkena vonis itu. Mereka semua tak mau mencari tau apa kebenarannya dari vonis itu.”
“Tapi itu bukan hanya sekedar vonis, Bu!”
“Memang,” ucap Bu Indri membenarkan. “Itu bukan hanya sekedar vonis. Tapi kita sebagai manusia tidak bisa menghindar dari kehendak-Nya. Jika vonis itu bisa memilih, ia tidak akan pernah mau untuk menjadi vonis yang mematikan. Begitu juga kamu,” ucap Bu Indri. Tenang. “Jika kamu bisa memilih, pasti kamu nggak akan pernah mau terkena vonis itu. Tapi, Tuhan berbicara lain. Kamu terkena vonis itu dan mau nggak mau, kamu harus menjalaninya.”
“Tuhan nggak adil, Bu. TUHAN NGGAK ADIL!” ucapnya marah. Nafasnya memburu. Penolakan itu sungguh bekerja cepat. Menghapus segala penerimaan yang telah tertanam.
“Tuhan adil kok, Rora. Tuhan sangat adil!” ucap Bu Indri. Nadanya tenang namun tegas. Ia hanya terdiam. “Tuhan itu maha Adil. Seadil-adilnya!”
“Tapi kenapa Rora yang terkena vonis itu, Bu? KENAPA?”
“Karena Tuhan tau, kamu bukanlah orang yang lemah. Bukan orang yang mudah berputus asa. Sesungguhnya di balik kesusahan ada sebuah kemudahan, Rora.”
Ia terdiam. Kepalanya kembali tertunduk. Bahunya bergetar. Hebat. Dn tangan halus itu masih mengelus kepalanya.
“Rora, hidup itu bukan diukur dari seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa berhargakah hidup itu untuk kita jalani.”

Entah apa yang harus katakan. Tertawa? Menangis? Atau melakukan keduanya secara bersamaan? Aku tak tau. Semuanya sungguh nyata dalam hadapanku. Aku melihat filmku sendiri. Kehidupan yang aku belum mengerti benar apa hakikatnya.
Dan penolakan itu terjadi begitu saja. Hampir mencabut segala penerimaan sederhana yang telah aku tanam. Sungguh ya Tuhan. Sebegitu gampangkah manusia berubah pikirannya? segampang itukah iman seseorang yang tertanam? Aku hanya terdiam. Air mata ini kalo bisa terjatuh, pasti suadh terjatuh. Tawa ini kalo bisa bersuara pasti sudah membahana. Tapi sayang, tak ada satupun tindkan yang bisa aku lakukan. Hanya terdiam. Terpaku menatap layar kehidupan.

“Awaaaas! Ada orang sakit mau lewaaat. Ntar kalian bisa ketularan lho?!” ejek seorang gadis yang usianya sebaya dengannya. Ia menghentikan sejenak langkahnya. Memandang gadis itu. Gadis yang sering sekali mengejeknya. “Kenapa lihat-lihat? Mau ngelihat wajahku untuk yang terakhir kalinya ya karena besok sudah mau mati?”
Ia terdiam. Penolakan itu bekerja cepat sekali. Air matanya mulai menetes. Penolakan itu berhasil bekerja. Membawa pembangkangan yang luar biasa. Menyalahkan atas segala sesuatu. Membantah terhadap sebuah kenyataan.

Tiga tahun berlalu. Ia masih hidup dalam sebuah penolakan yang luar biasa. Pembangkangan yang membawanya terpuruk. Penyalahan atas segala sesuatu yang telah terjadi. Penerimaan itu sudah terkikis, walau belum habis.
Tubuhnya mulai menyusut drastis. Senyuman sinis selalu menghiasi bibir mungilnya. Amarah hanya ada di pijar matanya. Sungguh ya Allah. Ia nampak begitu beda. Nampak begitu sakit. Nampak begitu pembangkang. Senyuman riangnya lenyap untuk saat ini. Candanya hanya berupa tangis atas penyalahan dan penolakan yang terjadi. Dan sungguh ya Allah. Begitu mudahnya manusia terpuruk dalam keputus asaan yang tak perlu.
“Kamu lebih kurus sekarang Rora?” tanya Bu Indri yang kini tidak lagi menjadi kepala sekolahnya. Ia hanya terdiam. Sama seperti dulu, enggan menjawab. “Kamu harus banyak makan, sayang. Nanti kamu sakit.”
“Bukannya Rora udah sakit, Bu? Dan akan selamanya sakit?” ucapnya sinis dan sarkatis.
“Kata siapa?” tanya Bu Indri. Berusaha pura-pura kaget. Ia enggan menjawab lagi. “Apa ini gara-gara ucapannya, Rora?” tanya Bu Indri. Membuka inti persoalaan. Ia terdiam. “Gadis itu kan? Gadis itu yang selalu mengejek kamu, sayang?”
“Dia bukan mengejek, itu kenyataan kok, Bu. Saya sakit dan selamanya akan sakit. Umur saya nggak akan panjang.”
“Rora, bukannya ibu udah bilang sama kamu, hidup itu bukan diukur dari seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa berhargakah hidup itu untuk kita jalani,” jelas Bu Indri. “Jika kita punya umur panjang, tapi kita tak bisa menghargai hidup itu sebagaimana hidup seharusnya, itu akan menjadi sia-sia belaka. Tapi kalo kita bisa menghargai hidup sebagaimana mestinya, sependek apapun umur kita, itu akan selalu menjadi sangat berharga, sampai kapanpun, Rora. Sampai kapanpun!”
Ia tertunduk. Ada sesal dalam hatinya yang terdapat luka menganga. Pemahaman yang sempat hilang kini datang kembali. Perlahan memang. Namun sangat menancap.
“Rora, hidup harus berlanjut sebagaimana mestinya. Penolakan dan pembangkangan hanya membuatmu semakin terpuruk. Kamu menyalahkan sesuatu yang seharusnya nggak boleh kamu persalahkan, sayang,” ucap Bu Indri. “Ingat, seberapa pendek umur yang telah digariskan Tuhan padamu, jangan pernah menjadi senjata untuk membuatmu semakin terpuruk dan terpuruk, tapi jadikanlah tamparan untuk membuatmu bangun dan menatap ke depan, Rora.”

Bagai tanaman yang tersiram air. Penerimaan itu muncul kembali. Penerimaan yang sebenarnya sangat, sangat sederhana. Walau tidak sesederhana di waktu lalu. Namun kesederhanaan ini tumbuh dengan sebuah pemahaman baru. Pemahaman kedewasaan.
Ya Tuhan, kini pemahaman itu kembali datang. Kembali tertanam dan berkembang dalam diri ini. Diri yang telah membangkang atas segala kuasa-Mu. Diri yang telah menyalahkan-Mu secara sepihak. Diri yang tak tau terimakasih telah diberikan sebuah kehidupan yang sebenarnya anugrah terindah-Mu.

Setahun telah berlalu. Kini ia selalu meyambut pagi dengan senyuman. Selalu menyapa orang dengan kehangatan. Sungguh, senyum sinis itu sudah hilang ya Allah. Dan tatapannya, sungguh bukan lagi memijarkan sebuah amarah yang luar biasa, melainkan sebuah keteduhan yang luar biasa sejuknya. Dan muka itu, kini sudah tak lagi penuh dengan gurat-gurat pembangkangan, melainkan gurat-gurat ketulusan atas penerimaan yang ada.
Dan hidup bergulir di babak baru baginya. Penerimaan itu membawanya pada satu lembar yang bernama sebuah kebahagiaan. Kebahagiaannya dan juga kebahagiaan orang lain. Semua orang mulai melupakan penyakit yang ia derita. Tidak mengutuknya sebagaimana dulu mereka lakukan. Tidak mencemoohnya seperti gadis itu mencemoohnya. Tapi, dimana gadis itu?

“Aku nggak peduli lagi dengan cemoohan kamu lagi! memang hidupku tidak selama yang aku harapkan, tapi setidaknya aku mempunya kehidupan yang bisa aku hargai tanpa mencemooh orang lain,” ucapnya mantap. “Dan sebenarnya, umur itu tak bisa kita prediksi. Bisa saja aku yang sakit, tapi kamu yang mati duluan. Life’s like a box of chocolate, kita nggak tau apa yang ada di dalamnya.”

Dan sungguh ya Tuhan. Semua penerimaan itu kembali dalam diri ini yang dulu mengingkarinya. Dan walaupun penerimaan itu tidak segampang di waktu yang lampau, namun penerimaan itu memberi pemahaman yang berbeda. Pemahaman kedewasaan. Dan babak baru dimulai. Terima kasih ya Allah.

Dan ia masih terbaring saja dengan belalai plastik yang tertempel dalam tubuhnya. Nafas itu masih terjaga dalam ketenangannya. Jantung itu masih berdetak. Dan ia masih tertidur pulas. Entah apa yang ia mimpikan. Entah apa yang ia pikirkan.
Dan ribuan mulut di luar ruangan ini masih bertasbih menyerukan asma-Mu ya Allah. Berharap ia akan kembali tersadar. Dan ia pun sebenarnya bertasbih menggemakan nama-Mu ya Allah. Ia, Aurora, bertasbih memohon kepada-Mu untuk memberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah ia perbuat ya Allah. Sungguh, hanya kepada-Mu, hamba-Mu meminta, hanya kepada-Mu, hamba-Mu memohon.

Dan ia terbangun di kamarnya. Memandang seorang wanita yang kini sudah tua, tertidur lelap memegangi tangannya. Ia hanya tersenyum. Mengelus tangan yang sudah mulai keriput itu. Ya Allah, berikanlah ia tempat terbaik di istana-Mu ya Allah, ucapnya dalam hati.
Ia mengambil kerudung yang berada di pinggiran tempat tidur, mengenakannya. Ia mulai bertayamum. Membersihkan najis kecil sebelum melakukan sholat.
“Allahuakbar!” takbirnya yang pertama.
Terdengar sangat syahdu dan juga khusyuk. Ia membaca surat Al-Fatihah.
اهد ناالصّراط اْلْمسْتقىم (Tunjukan kami jalan yang benar)”
Ya Allah, di setiap kami sholat, menunaikan kewajiban. Sungguh sebenarnya kami hanya segerombolan manusia yang rapuh. Kami selalu memohon, meminta. Namun ketika cobaan datang, kami hanya bisa memaki, tanpa bisa bersyukur. Bersyukur karena Engkau telah menguji kami, mengasihi kami. Hamba-hamba-Mu yang sering lupa akan nikmat-Mu.
Ia sudah sampai ke rokaat terakhir. Ia telah membaca Al-Fatihah. Kini ia membaca surat Asy Syarh.
فانّ مع الْعسْريسرا  (sungguh, bersama kesukaran itu pasti ada kemudahan).
Dan begitu dangkalnya setiap hati manusia yang selalu mencerca kesukaran tanpa berfikir tentang kemudahannya. Dan sesungguhnya Engkau ya Allah, selalu adil. Memberikan kesedihan namun juga memberikan bahagia. Memberikan tangis, namun juga memberikan tawa. Memberikan kesukaran dan juga kemudahan. Sungguh, hamba hanya seonggok daging yang hidup tanpa berakal.
Dan ia sampailah pada sujud terakhir. Sujud yang selalu ia lamakan waktunya. Menundukan kepala setunduk-tunduknya dihadapan-Mu ya Allah. Menunjukan bahwa setiap mahluk hidup ciptaan-Mu hanyalah kecil dibandingkan Engkau. Tuhan semesta alam.
Dan sujud itu. Sujud terlama dan terakhir baginya. Sujud terakhir yang ia persembahkan hanya kepada sang pencipta.
Lailaha’ilallah muhammadarasulullah.
Maha suci Engkau atas segala firman-Nya.


Duapuluh satu desember : sebelas empatpuluh dua malam