Rabu, 10 November 2010

Lirih

Entah mengapa semuanya terjadi begitu cepat. Pertemuan. Perkenalan. Canda. Tawa. Tangis. Perpisahan. Seakan menjadi sebuah ritme yang entah bagaimana selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Semuanya begitu dinamik. Pergerakannya lamban, namun pasti.

Sebuah pagi yang indah di tepian laut selatan Indonesia yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah pagi dengan matahari menyongsong cerah di ufuk timur, serta angin yang nampak begitu senang menyambut pagi. Pasir putih nampak kemilau di terpa cahaya matahri yang masih condong.
Pagi ini sebenarnya biasa, namun bagi Karenina, pagi ini sangat luar biasa. Tidak biasanya ia bangun di tempat seperti ini. Bebas di alam luas. Mensyukuri ciptaan-Nya sejak ia membuka mata. Melihat keindahan luar biasa yang tak bisa ia lihat setiap harinya.
Nina, begitulah panggilannya. Seorang cewek yang berusia sekitaran dua puluhan. Seorang mahasiswa sekaligus aktifis di kampusnya. Entah bagaimana ia bisa berada di tepian pantai pagi ini. Ia hanya ingat, ia berangkat dari kosannya jam dua belas malam. Sampai di bukit bintang jam satu pagi dan sampai sini jam setengah empat pagi. Dan itu semuanya, ia lakukan sendiri. Ditemani dengan si roda empat tentunya.
Sepagi ini, baru ada beberapa orang yang berada di pantai itu. Sebagian nelayan yang baru pulang, langsung membawa ikannya. Entah kemana. Dan beberapa anak kecil sudah mencari ikan kecil di pinggiran pantai. Sepi. Namun itu yang Nina sukai.
Ia berjalan menyusuri pantai pasir putih. Indah. indah sekali. Di sekelilingnya terdapat tebing-tebing yang terkena erosi karena hembusan ombak laut selatan. Pantai ini termasuk kecil, namun indah. sangat indah malah. Nina hanya tersenyum. Ia baru sekali ke sini. Dan ini kedua kalinya, tanpa siapa-siapa.
Ia duduk beralaskan pasir putih yang cepat kering. Memandang laut biru dengan ombak yang menggulung. Ia memejamkan matanya sejenak. andai tiap hari ia bisa merasakan hal yang sama seperti ini, ia tak akan pernah merasa bosan.

“Tapi, katanya hanya sebentar, Den,” ucap seorang pria yang berumur sekitaran empat puluh tahun. Nadanya memohon. Malah bisa terdengar seperti takut.
“Dibilangin, saya masih ingin di sini!” ucap seorang cowok yang kelihatannya berumur masih belasan menghardik pria itu. Nina yang lagi hening-heningnya langsung menoleh ke arah suara. Memperhatikan. “Saya nggak mau pulang, Pak!”
“Tapi ibu sama bapak khawatir sama, Aden. Nanti bapak yang dimarahin,” ucap pria itu memelas.
“Pokoknya saya tetap mau di sini. Kalo bapak mau pulang, pulang saja sendiri!”
Nina yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Anak manja, hanya itu yang difikirkan Nina. Nina meneruskan kegiatannya itu. Mencoba untuk tidak menghiraukan.
“Tapi, Den,” ucap pria itu. Sangat, sangat, sangat memohon.
Nina menoleh ke arah kedua orang itu. Dan bertatapan dengan si anak manja. Nina tersenyum. Berusaha seolah itu adalah ketidaksengajaannya. Tiba-tiba si anak manja menghampiri Nina yang sudah mengerutkan keningnya.
“Hei, saya Leo. Bisa minta tolong?” tanya anak manja itu kepada Nina. Nina mengerutkan dahinya semakin dalam. “Bisa berpura-pura menjadi teman saya yang janjian ketemu di sini nggak? Please,” ucap si anak manja memohon.
“Tapi... kenapa?”
“Alasannya nanti, saya jelasin. Sekarang, kamu mau bantu saya kan?”
Entah bagaimana bisa terjadi, Nina hanya menganggukan kepalanya. mengiyakan permintaan orang yang baru dikenalnya itu.
“Oke, kamu ikut saya menemui Pak Darul. Kamu usahain yakinin dia supaya bisa mempercayakan saya ke kamu?”
“Tapi apa alasan saya buat menyakinkan Pak Darul. Ketemu kamu aja baru lima menit yang lalu,” ucap Nina minta kejelasan.
“Nanti saya jelaskan,” ucap anak manja itu, langsung menggeret Nina ke hadapan Pak Darul. “Ini teman saya, Pak. Saya kan sudah bilang kan? Kao saya memang janjian sama teman saya,” ucap anak manja itu beralasan. Pak Darul mengerenyitkan dahinya, tak percaya. “Dia teman SMA saya.”
“Apa non ini temannya Den Leo?” tanya Pak Darul. Meyakinkan diri.
Nina mengangguk. Ah... kenapa sih ia harus mengangguk? Bakal ada kebohongan selanjutnya kalo ia sampai berbohong di awal. “Nama saya Karenina. Saya teman SMA nya Leo. Tapi, saya nggak begitu dekat dengan dia karena selalu beda kelas,” ucap Nina. Berbohong.
“Pak Darul masih nggak percaya?” tanya Leo sinis. “Nin, pinjam KTP kamu. Biar Pak Darul percaya.”
Nina langsung sergap mengambil dompetnya di kantung celananya. Mengambil KTP nya dan memperlihatkannya kepada Pak Darul.
“Oh... maaf non, ternyata memang benar, non adalah temannya Den Leo.”
“Sekarang, bisa tinggalin saya dan teman saya di sini?” pinta Leo. Nadanya tak lagi galak.
“Maaf, Den. Kalo begitu, saya permisi dulu.”

Pak Darul sudah pergi. Mobil yang ia bawa sudah menghilang diantara perbukitan. Leo hanya tersenyum. Senang rasanya terbebas. Namun ketika Leo tersenyum, Nina cemberut. Mukanya terlipat.
“Kamu harus jelasin alasannya!” tuntut Nina. Leo hanya tersenyum. Dia langsung melangkah, membelakangi Nina. Berjalan dengan santainya. “Hei! Aku bilang, jelasin alasannya!”
“Kan saya bilang nanti. Nanti pasti saya jelasin,” ucap Leo seenaknya.
“Sialan!”

“Kamu ngapain sih ngikutin saya? Saya kan nggak minta kamu buat ngikutin saya?!” ucap Leo yang baru sadar kalo Nina mengikuti kemana ia melangkah.
“Heh! Denger ya ANAK MANJA! Gara-gara kamu meminta saya berbohong ke Pak Darul. Dan Pak Darul sudah mempercayakan kamu ke saya. Jadi SAYA harus bertaggung jawab atas KAMU!”
Leo hanya terdiam. Mengangguk-angguk. Mengelus-elus dagunya yang berambut tipis. “Saya kan nggak minta pertanggungjawaban dari kamu. Emangnya saya ini hamil apa?” ucap Leo seenak jidatnya dan langsung ngeloyor. Melanjutkan jalannya.
“DASAAAR ANAK MANJAAA!” teriak Nina. Kesel berubun-ubun. Leo menghentikan langkahnya. Diam sejenak. “Eh?” ucap Nina. Lirih. Keselnya yang berubun-ubun langsung menghilang. Digantikan dengan rasa nggak enak hati. Leo berjalan menghampiri Nina yang nggak enak hati. “Ma..”
“Bisa minjem KTP kamu?” tanya Leo. Nina langsung mengangguk. Kaget dengan reaksi Leo yang tak sama dengan bayangannya. “Oh... anak Jakarta? Kuliah di sini?”
“Saya orang Bandung, tapi tinggal di Jakarta,” jelas Nina.
“Pantes,” ucap Leo sambil mengembalikan KTP Nina. Nina mengerutkan dahinya. “Pantes Pak Darul percaya saya temenan sama kamu. Dikiranya kita beneran satu SMA.”
“Memang kamu dari Jakarta?” tanya Nina nggak percaya.
“Saya dari Indonesia,” ucap Leo. Agak nggak nyambung. Nina mengerutkan dahinya. “Saya lebih suka di sebut orang Indonesia daripada orang Jakarta,” jelasnya. Nina bersiap melontarkan pertanyaannya, namun Leo sudah buka suara. “Karena orang Jakarta juga orang Indonesia. Orang Bandung juga Orang Indonesia. Orang Surabaya juga orang Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke adalah orang Indonesia. Lebih baik menggunakan kata jamak daripada tunggal.”
Nina terdiam. Termenung sejenak. nggak menyangka, orang yang dikiranya anak manja ternyata bisa berkata seperti itu.
“Hey! Melamun aja!” ucap Leo menyadarkan Nina dari kekagumannya. “Mau ikut nggak?”
“Ke mana?”
“Ke tebing.”

Nina dan Leo berlomba supaya bisa sampai ke ujung tebing terlebih dahulu. Ternyata menuju ke atas tebing tidaklah mudah. Walaupun jalannya adalah jalan paling landai, tetep aja capek.
“Capek juga,” keluh Nina sesampainya di atas tebing. Leo hanya tersenyum. Namun langkahnya terus berjalan menuju ujung tebing yang dibawahnya sudah curam. “Le, jangan pinggir-pinggir.”
Leo hanya tersenyum. Akhirnya ia sampai juga di ujung. Dia langsung duduk. Menghadap laut. “Duduk, Re.”
“Re?” tanya Nina bingung. Nggak ada satu orangpun, seingatnya, yang memanggilnya seperti itu.
“Nama kamu Karenina kan? Bisa di panggil Rere? Kan sama saja. Masih mengandung nama ‘Re’-nya kok.”
“Boleh-boleh aja kok. Tapi, saya nggak biasa aja dipanggil seperti itu.”
“Mulai sekarang, tolong biasakan,” ucap Leo. Masih menatap laut. Nina hanya mengangguk. Entah mengapa, hari ini ia sangat penurut sekali dengan manusia satu ini yang baru dikenalnya tadi pagi. Nina mulai berjalan. Angin kencang mulai berhembus. Hampir saja ia jatuh karena tertiup angin. “Makanya, saya bilang duduk, ya duduk. Susah amat sih!”
Nina hanya merengut. Ia pun langsung duduk di sebelah Leo. Memandangi laut yang sama. Menikmati angin yang berhembus lumayan kencang. Membelai rambut Nina yang terurai. “Le, sebenarnya kamu mau ngapain sih ke sini?”
“Sama seperti kamu. Mau refreshing. Memangnya nggak boleh?” tanya Leo. Nina hanya mengangguk pelan. “Kamu nggak capek sendirian nyetir? Pantai ini termasuk hitungan lumayan jauh.”
“Kalo mau refreshing, tempatnya nggak usah nanggung. Jauh aja sekalian. Biar lupa sama masalah-masalah yang ada.”
“Jadi kamu lari dari masalah?” tanya Leo menyelidik. Nina hanya menepok dahinya. Kebiasaan. Kelepasan ngomong. “Jangan pernah lari dari masalah lho, Re. Nggak baik.”
“Siapa juga yang lari dari masalah, tapi hanya melupakan sejenak,” ucap Nina. Sewot. Nggak terima. Leo hanya tertawa. “O iya, kapan kamu ngejelasin alasan, kenapa saya harus ikut campur dengan masalah beginian?”
“Nanti,” jawab Leo enteng.
“Nantinya kapan?” ucap Nina gemas.
“Kapan-kapan!” balas Leo. Tertawa renyah.

Sudah sekitaran enam jam Leo dan Nina berada di atas tebing. Memandangi laut selatan yang membiru. Ditemani dengan angin yang berhembus kencang serta suara deburan ombak yang menabrak tebing-tebing dari batu karang. Orang-orang pun silih berganti berada di atas tebing yang kalo melihat ke bawah, bisa membbuat ngeri.
Selama enam jam, tak ada obrolan. Mereka berdua hanya terdiam. Memandangi laut dan langit. Mendengarkan suara ombak. Merasakan getaran angin. Hanya itu. Namun mereka tidak bosan. Mereka berdua menikmati itu semua. Semua itu seolah seperti suara nyanyian alam yang jarang diperdengarkan.
“Mau turun?” ajak Leo. Dia menoleh ke arah Nina yang sepertinya sudah kedinginan. Nina hanya mengangguk. Ia pun langsung berdiri. Terlihat, walau agak samar, bahu Nina nampak gemetar. “Pakai ini.”
“Buat?”
“Biar kamu nggak kencing pas turun,” ucap Leo yang udah ngeloyor pergi menuju dasar tebing. Nina hanya bisa cemberut. Namun ada sebesit kekaguman. Nggak nyangka, Leo yang awalnya anak manja, ternyata asalah sosok yang dewasa.

“Tungguin dong,” ucap Nina. Memohon. Nafasnya terengah. Ternyata lebih susah turun daripada naiknya.
“Gitu aja capek. Dasar anak manja!” celetuk Leo yang sudah mengatur nafas dari tadi.
“Jadi balas dendam nih?” tanya Nina. Leo hanya menoleh ke arah Nina tak mengerti. “Ngebalas perkataan saya tadi pagi.”
“Yang ngatain saya anak manja?” tanya Leo. Mengingat-ingat.
“Yang mana lagi?”
“Kamu merasa saya balas dendam?” tanya Leo lagi. Nina hanya mengangguk. Cemberut. “Tapi kok saya merasa tidak ya?”
“Maksud kamu?” tanya Nina tak mengerti.
“Saya tidak berniat untuk membalas perkataan kamu tadi pagi. Yang barusan itu hanya celetukan doang. Nggak ada maksud apa-apa. Jadi jangan difikirkan,” jelas Leo. Memandang laut. “Lagipula, buat apa balas dendam, jika itu membuat dendam yang baru untuk dibalaskan kembali.”
An eye for an eye only made up the whole world blind,” ucap Nina tanpa sadar. Leo menatap Nina. Tersenyum. “Saya hanya mengucapkan apa yang Gandhi ucapkan,” jelas Nina salah tingkah karena dilihatin seperti itu.
“Kamu mengambil jurusan filsafat?” tanya Leo. Nina menggelengkan kepalanya. “Psikologi?” tanya Leo. Nina mengangguk. “Pantes,” ucap Leo, memalingkan mukanya ke arah Nina. “Pasti suka baca!”
“Bangeeet!” ucap Nina. Mengakui. Sambil tersenyum. Ia melihat laut kembali.
“Re?” tanya Leo. Nina hanya menolehkan kepalanya. “Apa benar baru saya yang memanggil kamu dengan sebutan ‘Rere’?”
“Iya, sepertinya. Memang kenapa?”
“Hanya bertanya.”

Jam setengah lima sore. Nina berdiri dari duduknya. Sudah cukup baginya untuk melupakan sejenak semua masalahnya. Saatnya untuk kembali. Kembali menghadapi masalah.
“Saya mau pulang, kamu mau ikut?” tanya Nina. Leo mengerenyitkan dahinya. “Kamu tinggal kasih alamat kamu tinggal dan saya akan mengantarkan kamu,” jelas Nina. Leo pun tersenyum. Mengangguk.
Leo berdiri. Berjalan menyamakan langkah dengan Nina. Namun baru beberapa langkah, Leo limbung. Tak sadarkan diri.

Sudah enam jam Leo tak sadarkan diri. Nina langsung melarikan Leo ke Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. Walau mesti menemouh waktu dua jam terlebih dahulu, namun Leo masih bertahan.
“Le?” sapa Nina yang selalu menunggui Leo sejak enam jam lalu. Leo hanya tersenyum. “Orang tua kamu dalam perjalanan ke sini. Kamu jangan khawatir.”
Leo hanya tersenyum. Lemah. Sangat lemah. Nina termenung. Baru hari ini, ia kenal Leo yang super nyebelin. Baru hari ini, ia kenal Leo yang dewasa dan baru hari ini juga, ia kenal Leo yang sangat lemah.
“Re?” ucap Leo. Terdengar lemah. Nina memandang Leo. “Kamu nggak usah seperti ini sama saya. Yang bertanggung jawab atas diri saya adalah saya sendiri.”
“Tapi Pak Darsul mempercayakan kamu ke saya. Jadi kamu dalam tanggungjawab saya, Le.”
Leo hanya tertawa. Menertawakan sikap Nina yang selalu serius. “Kamu akan menjadi seorang pemimpin yang baik, Re,” puji Leo. Nina hanya termenung. Entah harus tersenyum atau malah menangis. “Re, tau nggak? Besok saya ulang tahun.”
“Oya?” ucap Nina. Kaget. “Yang ke berapa?”
“Dua puluh.”
“Masih sangat muda,” ucap Nina. Tersenyum. “Tapi pemikiran kamu udah sangat dewasa.”
“Saya anggap itu adalah pujian, Re,” ucap Leo. Tersanjung. Nina hanya ketawa.
Jam dua belas kurang lima belas.
Hening. Hanya hening yang menghiasi mereka berdua. Tak ada percakapan.
“Re, apa hanya aku yang baru memanggilmu seperti itu?” tanya Leo. Memecahkan keheningan.
“Seingat saya sih hanya kamu, Le. Perasaan teman-teman saya memanggil saya dengan Nina,” jelas Nina. Leo tersenyum. Nina melihat ada perbedaan pada senyumannya. “O iya, kamu mau kado apa, Le?”
Leo hanya terdiam. Waktu terus berjalan. Ia tidak sedang memikirkan ingin kado apa. Tetapi memikirkan yang lain. “Re, kado yang sangat saya inginkan adalah mengucapkan terima kasih saya sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya sama kamu dan kamu harus menerimanya.”
“Pemaksaan nih?”
“Kalo kamu melihat ini sebuah pemaksaan, ya sudah. Kan tadi kamu yang nanya saya minta kado apa. Iya kan?”
“Oke. Tapi terima kasih buat apa?” tanya Nina tak mengerti.
“Terima kasih untuk hari ini. Hari ini adalha kado terindah buat saya,” ucap Leo. Entah mengapa, nada suaranya terdengar berbeda. “Kamu tau, Re. Ketika saya jatuh pingsan di pinggir pantai, saya kira saya nggak akan bertahan. Tapi ternyata, Tuhan masih memberikan saya waktu. Walau hanya sangat sedikit,” jelas Leo. Nina hanya terdiam. Ada getaran halus menyelimuti hatinya. “Saya juga nggak percaya, ternyata saya bisa ketemu kamu lagi, setelah tiga belas tahun.”
“Bentar. Bertemu saya lagi? kapan kita pernah bertemu?” tanya Nina bingung.
“Pasti kamu lupa. Memang, sudah saya duga,” balas Leo. Memaklumi. “Waktu itu, kita sama-sama berumur tujuh tahun,” jelas Leo. Nina semakin mengerutkan keningnya. “Kamu ingat seorang pemuda cilik yang sok nahan sakit karena dia terjatuh?” pancing Leo. Nina terdiam. Mengingat-ingat kembali apa yang terjadi di masa lalunya. “Terus kamu tolong dia. Kamu tutup luka pemuda kecil itu dengan saputangan kamu.”
“Leonardio?” ucap Nina mengingat satu nama yang baru saja terlintas di benaknya. “Itu kamu,” ucap Nina. Leo hanya tersenyum. Mengangguk. Pelan. “Yo...”
“Saya dulu berjanji buat ngembaliin, tapi ternyata itu adalah hari terakhir kamu bersekolah. Jadi saya belum sempat,” jelas Leo. Nina terdiam. “Nanti kamu bisa ambil di kantung jaket saya. Sekalian saja bawa jaketnya, biar jadi kenang-kenangan.”
“Jangan ngomong kayak gitu, anak manja!” ucap Nina ketus.
“Kamu tau, sebenarnya hari ini saya nggak mau melewatkan hari ini dengan siapapun. Tapi entah mengapa saya melihat kamu dan membuat alasan. Sebenarnya alasan itu juga tidak seratus persen berbohong. Kita memang berteman kan? Tapi waktu SD, bukan SMA,” ucap Leo. Panjang lebar. Ada tawa yang sedang menahan sakit dari dirinya.
“Semuanya itu memang sebuah kebetulan, Le. Kebetulan yang sudah direncanakan oleh-Nya.”
“Kamu tau, Re. Saya baru sadar kalo Tuhan itu sangat adil dan sangat baik. Ketika umur saya masih panjang, saya selalu mengeluhkan apa yang terjadi pada diri saya. Namun saya diberikan kado terindah di akhir penghujung hidup saya.”
“Kado terindah?”
“Kamu adalah kado terindahnya, Re. Saya sadar ketika saya melihat KTP kamu. Tanggal lahir kamu sama seperti Rere. Dan kamu juga bilang kalo asal kamu dari Bandung.”
“Saya orang Indonesia, Le. Lebih baik jamak daripada tunggal,” ucap Nina. Mengutip perkataan Leo. Leo hanya tertawa. Suara tawanya semakin parau. Nina tak tega mendengarnya. “Tinggal tiga menit menjelang hari kelahiranmu, Le.”
Leo hanya tersenyum. Dia mengambil korek api gas dari saku jaketnya. “Nyalakan untuk saya!”
Nina langsung menyambar korek api itu. Mengetest apakah korek api itu masih nyala apa nggak. “Tinggal semenit lagi, Le,” Nina memberi tahu. Leo masih saja tersenyum. Nina fokus pada jam tangannya. Pada saat detik ke tiga sebelum jam dua belas, Nina menyalakan korek api. Tepat jam dua belas. Lilin menyala. “Le.. ayo ti....up.”

“Sakit?”
“Nggak perlu! Saya bisa jalan kok. Saya kan anak laki-laki!”
Namun gadis mungil itu tidak menghiraukan perkataan anal laki-laki itu. Ia mengambil saputangan dari saku bajunya kemudian mengikatkannya ke luka anak laki-laki.
“Kalo begitu, kamu nggak akan infeksi.”
“Terima kasih. Saya janji bakalan ngembaliin sapu tangan kamu.”

When loving you is my finest hour. Leaving you, the hardest day of my life.
Mencintaimu hanya butuh waktu sehari, tapi melupakanmu, seribu tahun tak kan pernah mampu.

Sebulan kemudian.
Kini telah kusadari, dirimu telah jauh dari sisi. Ku tau tak mungkin kembali ku raih, semua hanya mimpi.
Nina kembali ke tempat yang sama. Ke tempat dimana ia sebulan yang lalu ia berada. Menikmati deburan ombak dengan pasir putih yang kemilau tertimpa sinar mentari. Ia memandang laut. Membiarkan rambut panjangnya terbelai oleh angin.
Ingin kucoba lagi, mengulang yang telah terjadi. Tetapi, semua sudah tak berarti. Kau telah pergi.
Nina berjalan menyusuri bibir pantai yang putih. Di tengah, ia merentangkan tangannya. Menikmati sesuatu yang jarang ia rasakan. Andai waktu bisa terulang. Saya sangat ingin mengulang waktu menjadi sebulan yang lalu. Dan mengehentikannya sehingga saya tak pernah merasakan apa itu rasa kehilangan.
Adakah kau mengerti kasih, rindu hati ini, tanpa kau di sisi. Mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini, ingin memiliki lagi.
“Memang kamu dari Jakarta?” tanya Nina nggak percaya.
“Saya dari Indonesia,” ucap Leo. Agak nggak nyambung. Nina mengerutkan dahinya. “Saya lebih suka di sebut orang Indonesia daripada orang Jakarta,” jelasnya. Nina bersiap melontarkan pertanyaannya, namun Leo sudah buka suara. “Karena orang Jakarta juga orang Indonesia. Orang Bandung juga Orang Indonesia. Orang Surabaya juga orang Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke adalah orang Indonesia. Lebih baik menggunakan kata jamak daripada tunggal.”
Sebuah percakapan yang terdengar jelas di telinga Nina. Menyadarkannya, bahwa jangan menilai seseorang dari penampilannya.
Kusadari kembali, ternyata semua hanya lirih. Kini kutahu, tak mungkin ada waktu, untuk mencintaimu lagi.
Nina sudah berada di atas tebing. Memandang sejauh laut yang membiru dan seluas langit yang mencakra. Semuanya mirip sekali dengan sebulan. Hanya ada satu perbedaan. Perbedaan yang sangat, sangat berpengaruh. Kehadiran Leo.
Adakah kau mengerti kasih, rindu hati ini tanpa kau di sisi. Mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi.
“Saya tidak berniat untuk membalas perkataan kamu tadi pagi. Yang barusan itu hanya celetukan doang. Nggak ada maksud apa-apa. Jadi jangan difikirkan,” jelas Leo. Memandang laut. “Lagipula, buat apa balas dendam, jika itu membuat dendam yang baru untuk dibalaskan kembali.”
An eye for an eye only made up the whole world blind,” ucap Nina tanpa sadar. Leo menatap Nina. Tersenyum. “Saya hanya mengucapkan apa yang Gandhi ucapkan,” jelas Nina salah tingkah karena dilihatin seperti itu.
Dia mengajarkan banyak hal untuk saya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Tuhan, apa memang semua itu adalah jalan-Mu yang tak terduga yang sudah Engaku siapkan untuk hamba-hambamu yang merasa kebimbangan?
“Kamu tau, Re. Saya baru sadar kalo Tuhan itu sangat adil dan sangat baik. Ketika umur saya masih panjang, saya selalu mengeluhkan apa yang terjadi pada diri saya. Namun saya diberikan kado terindah di akhir penghujung hidup saya.”
“Kado terindah?”
“Kamu adalah kado terindahnya, Re. Saya sadar ketika saya melihat KTP kamu. Tanggal lahir kamu sama seperti Rere. Dan kamu juga bilang kalo asal kamu dari Bandung.”
Mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi. mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi.
Chrisye – Lirih




Sepuluh november duaribu sepuluh : 11.23

Dengan Hati

TES.. TES...
Rintik hujan mulai turun membasahi bumi yang penuh dengan debu. Suasana yang tadi hanya diisi dengan petir dan desau angin, kini bertambah dengan rintik hujan. Dan orang-orang yang lalu lalang kini menambah kecepatan dalam langkah mereka.
“Kenapa sih musti hujan lagi? Nggak cukup apa tadi malam hujan terus?” gerutu seorang pemuda yang terpaksa berteduh di halte bis. Tangannya sibuk menyibak rambutnya yang agak panjang dan menghapus butir-butir air hujan yang masih menempel di baju dan celananya.
Ardio Permana ataus sebut saja cowok yang mempunyai tinggi sekitar seratus delapan puluh senti meter, berkulit kuning langsat, berwajah tampan ala Korea, berbadan agak gempal dengan rambut yang agak sedikit panjang ini dengan sebutan Dio.
DEEERT...
Suara getar HP Dio yang berada di sakunya. Dio langsung saja mengambil HP nya, memencet tombol hijau dan langsung menempelkannya di kuping.
“Halo?” sapa Dio.
“Lo dimana? Jam berapa ini mas?” ucap seseorang yang di seberang dengan nada yang agak bete.
“Sorry, gue kejebak hujan nih. Nggak bawa payung,” jelas Dio.
“Lagi?”
“Kan payung gue di pake emak gue,” ucap Dio. Beralasan.
“Basi lo! Cepetan ya ke sini. Gue nggak mau tau!” ucap yang di seberang dengan nada judes. Dio hanya meringis.
DET!
Suara hubungan yang secara singkat itu terputus. Dio langsung memasukan hape HP nya ke dalam saku kembali. Menatap hujan yang turun dari langit. Menggerutu kembali.

“Lo ngaret amat sih?!” omel seorang cowok yang udah menunggu Dio selama sejam di sebuah kafe. Cowok yang nggak kalah tinggi sama Dio dan nggak kalah cakep. Irvido Fahri.
Sorry, Do. Kan gue udah bilang. Gue kejebak hujan. Gimana sih lo?” jelas Dio.
“Alasan lo tuh kalo nggak kejebak hujan ya kejebak macet, apa nggak ada yang lain?”
“Ada sih,” ucap Dio duduk di hadapan Vido. “Lo maunya gue kejebak macan apa kejebak singa? Tinggal pilih aja.”
“Nggak lucu lo!” ucap Vido nggak minat. “Back to basic, kapan kerjaan lo selesai? Pameran tinggal beberapa hari lagi dan lo belum nyerahin hasil jepretan elo?!”
Dio terdiam sejenak. Melihat ke arah jendela kafe yang terbuat dari kaca. Di luar masih saja hujan.
“Belom ada objek yang pantas buat di foto, Do,” jelas Dio. Dengan nada datar.
“Tumben, Di?” tanya Vido heran. “Biasanya asal jepret aja juga jadi!”
Dio hanya diam. Dia hanya mengangkat kedua bahunya. “Belum dapat feel-nya, Do.”
Feel gimana? Pameran besok itu temanya bebas, Di. Masa gitu aja nggak ada feel sih?”
“Kasih waktu gue seminggu,” ucap Dio. Pasrah.
“Kelamaan,” ucap Vido nggak setuju. “Dua hari.”
“Empat hari deh,” tawar Dio sedikit memohon. “Gue musti nyari sesuatu yang ada feel nya dulu.”
“Tiga hari! Nggak ada tawar-tawaran dan lo langsung ke gue, nyerahin semua foto-foto elo. Gimana?”
“Gue coba...”

Hujan masih saja turun. Dan langitpun sepertinya enggan untuk mengganti warna menjadi biru cerah. Dan Dio masih saja berteduh di pelataran toko kosong. Menatap setiap rintik hujan yang turun. Dan dia hanya diam. Enggan menggerutu. Namun ada sesuatu yang tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Ia langsung mengeluarkan kamera DSLR nya dan mengambil beberapa foto. Foto rintik hujan.

“Bagus, Di,” ucap Vido saat Dio menyerahkan hasil jepretannya. “Fokusnya tepat dan saturasi bagus,” pujinya. Dio hanya tersenyum. Senang. “Hebat lo! Baru aja tadi pagi gue minta, eh sorenya udah ada. Kayaknya lo memang harus kerja di bawah tekanan deh.”
“Biasa aja kali, Do. Gue bakalan ngasih hasil kerja gue, kalo gue dapat feel nya. Dan kebukti kan?”
“Oke. Gue akuin itu. You got the feel!” puji Vido. Dio hanya tersenyum.
Dio langsung duduk dihadapan Dio. Dia langsung melihat lembar demi lembar hasil jepretanannya. Not bad. Namun dia terpatok pada satu foto. Foto rintik hujan di taman kota. Namun ada yang beda di sana. Ada seseorang yang berjalan di bawah rintik hujan. Bukan berjalan, dia seperti menari. Dio tertegun.

Dia tersenyum melihat hujan. Dia tersenyum melihat langit yang kelabu. Dan dia pun tersenyum karena dia sudah berada di bawah rintik hujan. Senyuman yang jenaka. Senang dan bahagia. Dia adalah Anashya Dewi. Seorang wanita muda yang berwajah tidak begitu cantik, namun manis. Wanita dengan rambut lurus sebahu.
Seshya, itulah panggilannya. Dia memang suka berhujan-hujanan. Bukan berhujan-hujanan semata, namun menari di bawah hujan. Seperti orang gila kah? Tidak. Dia bukan menari seperti MJ dengan moonwalking-nya. Bukan juga penari seperti Madonna di setiap lagu-lagunya. Namun ia menari sesuai dengan rintik hujan.
Namun Seshya tak sadar. Ada seseorang yang mengabadikan setiap gerakannya yang gemulai itu. Di bawah rintik hujan yang semakin deras. Jarak pandang yang hanya beberapa meter. Kilatan petir yang menyambar. Semuanya... terekam.

Dio menatap semua hasil jepretannya. Semuanya yang telah ia ambil. Wanita itu... hujan... petir... tarian... tarian di bawah hujan? Dancing in the rain? Entahlah. Dio tak memikirkan itu. Yang ia pikirkan adalah... tariannya sangat indah.

Seshya berhenti sejenak dari kegiatannya. Memandangi sosok cowok yang tiba-tiba berada dihadapannya. Matanya langsung memincing.
“Mau apa?” tanya Seshya galak.
“Maaf kalo udah mengganggu,” ucap cowok itu kaku. “A... aku hanya ingin kenalan,” tambahnya. Seshya semakin memasang tampang galak. “Na... nama saya Ardio,” ucapnya. “Ta... tarian kamu bagus.”
Seshya memandang Dio. Mukanya tak lagi galak. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.

“Kamu nggak kedinginan, Shya?” tanya Dio. Mereka duduk di pelatarn toko yang kosong.
“Nggak,” ucap Seshya singkat. “Memang kenapa?”
“Nggak apa-apa,” balas Dio. “Ngelihat kamu setiap hujan menari seperti itu, apa kamu nggak masuk angin?”
Seshya hanya tersenyum. Matanya memandang taman yang berada di depannya. “Kamu udah sering ngelihat aku?” tanyanya. Apa sebuah pernyataan?
“Maaf, kalo aku...”
“Kenapa kamu selalu berlindung?”
“Berlindung?”
“Ketika hujan turun?”
“Karena...”
“Kamu nggak suka sama hujan?” tanya Seshya. Dio hanya diam. “Kamu nggak pernah coba untuk hujan-hujanan?”
“Memang kenapa?”
“Karena di setiap tetes hujan yang turun itu sebenarnya membawa esensi-esensi yang berbeda ketika dia menyentuh permukaan kulit kita.”
“Esensi?”
“Tenang. Nyaman. Damai.”
“Kenapa?”
“Coba aja.”
“Coba?”
“Kita nggak akan pernah tau sebelum kita berani untuk mencobanya.”

“Karena di setiap tetes hujan yang turun itu sebenarnya membawa esensi-esensi yang berbeda ketika dia menyentuh permukaan kulit kita.”
“Esensi?”
“Tenang. Nyaman. Damai.”
Perkataan itu terngiang jelas di telinga Dio. Esensi? Apakah benar apa yang dikatakan Seshya? Tenang? Nyaman? Damai? Apa iya itu ada di setiap rintik hujan yang turun? Dio memandang rintik hujan yang turun dari balik jendela kamarnya.
“Kenapa?”
“Coba aja.”
“Coba?”
“Kita nggak akan pernah tau sebelum kita berani untuk mencobanya.”
Dio berjalan menuju pintu keluar. Biasanya ia enggan untuk berhadapan dengan hujan. Namun entah mengapa, setelah bertemu dengan Seshya. Ia begitu nampak antusias dengan hujan. Dio berjalan. Selangkah lagi ia akan berada di lain tempat. Tubuhnya akan dihujami dengan rintik hujan yang turun. Namun bukankah itu esensinya?
Akhirnya... ia berada di bawah hujan. Rintik hujan satu persatu menghujami tubuhnya yang agak kekar berisi. Dingin. Hanya itu yang ia rasakan. Diaman rasa damainya? Dimana rasa nyamannya? Dimana rasa tenangnya? Dingin. Hanya itu yang ia rasa.

“Kenapa aku tidak merasakan tenang, nyaman dan damai saat aku berada di bawah hujan?” tanya Dio. Ia berlindung di bawah payung. Menghampiri Seshya yang hujan-hujanan.
Seshya hanya tersenyum. Namun ia hanya berjalan menuju kursi taman yang basah. Duduk di atas genangan air. Memandang hujan yang turun. “Duduk kalo kamu mau.”
Dio hanya diam. Namun ia akhirnya duduk di sebelah Seshya. Dingin. Air genangan itu meresap ke dalam celananya.
“Kamu bertanya kenapa kamu tidak merasa tenang, nyaman dan damai,” ucap Seshya datar. Dio hanya diam. “Karena kamu tidak merasakan dengan hati kamu.”
“Hati?”
Seshya memegang tangan Dio yang sedang memegang payung. Dia menyingkirkan payung dari atas Dio. Membiarkan hujan mengenainya.
“Tutup mata kamu,” ucap Seshya. Dio menurut. “Sekarang kamu rasakan setiap tetes hujan itu. Rasakan bukan hanya di permukaan kulit saja. Melainkan masuk ke dalam hati kamu. Dan kamu akan merasakan sesuatu.”
Dio diam. Pertama ia gagal. Ia hanya merasakan dingin. Namun ia tak menyerah. Ia berusaha merasakan dengan cara lain. Membiarkan air itu meresap ke dalam kulit-kulitnya. Bukan hanya di permukaan saja. Dan dia merasakannya. Tenang. Nyaman. Damai.
“Bisa merasakannya?” tanya Seshya. Dio diam. Namun menjawab dalam hatinya. “Bila kamu merasakannya melalui hati kamu, kamu akan merasakannya. Sama seperti saat kamu mengambil suatu gambar,” ucap Seshya. Tersenyum. “Orang akan memuji setiap gambar yang kamu ambil karena mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat dari kasat mata mereka,” ucap Seshya. Menatap tajam Dio. “Karena mata hati mereka yang melihat. Dan merasakannya.”
Dio hanya terdiam. Menatap takjub gadis yang ada di depannya.
“Sama ketika kamu melihat tarianku di bawah hujan,” ucap Seshya. “Dan mengambilnya...”
“Ma...maaf,” ucap Dio.
“Tak apa. Aku suka,” ucap Seshya tak keberatan.  “Kamu merasakan setiap gerak tarianku walau di bawah hujan. Dan melihatnya. Indah?” tanya Seshya. Dio mengangguk. “Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu merasakannya lewat hati kamu. Dan kamu bisa.”
“Apa setiap orang bisa melakukannya?” tanya Dio. Seshya mengakat satu alisnya. Meminta penjelasan. “Marasakan lewat hati.”
“Setiap orang bisa. Jika mereka masih mempunyai hati,” ucap Seshya. “Dan jika mereka mau.”
“Kenapa?”
“Karena bila sesuatu itu datangnya dari sini,” ucap Seshya sambil menunjukan dadanya. “Itu semuanya akan terasa indah dan lebih bermakna.”
Dio tertegun. Dari hati? Merasakan? Melihat? Mendengar? Akan terasa indah? Dio terdiam. Mencerna. Dan ia mengerti. Seutas senyuman terukir di bibirnya.
“Mau lomba siapa yang lebih cepat lati di bawah hujan?”

Pameran.
“Nggak nyangka ya. Fotographer kita yang satu ini memang berbakat,” puji Vido. “Lo lebih baik kerja di bawah tekanan ya?!”
“Sialan lo!” ucap Dio. Bercanda. “Gue hanya mengabadikan sesuatu yang menurut gue bagus aja kok.”
“Tapi sumpah, bagus gila. Timing-nya pas banget,” ucap Vido. “Lo ngambil tema hujan, eh lagi musih hujan. Jangan-jangan besok lo mau ngambil tema kemarau pas musim kemarau lagi?”
“Ya nggak lah,” ucap Dio. Tertawa. “Ancidentally aja lagi.”
“Di, selamat ya?!” ucap seorang wanita muda yang tiba-tiba datang sambil membawa karangan bunga. “Gambar kamu bagus.”
“Thanks, Shya!” ucap Dio. Tersenyum.
“Yo... ini kan...” ucap Vido tergugu. Dio hanya tersenyum.
“Mau aku temenin lihat-lihat, Shya?” tanya Dio. Menawarkan diri. Seshya hanya mengangguk dengan seulas senyum di bibirnya. Mereka pun berjalan.
Vido?
Dia terdiam sesaat. Kemudian berjalan berlainan arah dengan Dio. Mencari gambar hasil jepretannya yang berada di salah satu ruang pameran. Ya... wajah wanita tadi itu adalah objek di salah satu fotonya Dio.
Seorang wanita yang sedang membuat gerakan yang diabadaikan Dio secara berkala. Gambar-gambar itu seperti membuat gerakan. Gerakan tarian. Tarian yang indah.
Vido hanya tersenyum.
Dance In The Rain With Heart.
  
Delapan Juli 2010

Cinta Pertama dan Terakhir

“Cokelat ice cream-nya satu mbak?!” ucap seorang wanita cantik, muda, tinggi dan berambut pendek, Safni Naumal atau semua orang panggil dia dengan sebutan, Afni. Namun wajah cantiknya seakan terlipat dengan kekesalannya.
“Double atau nggak, mbak?!” tanya waitres.
“Triple, mbak kalo bisa,” ucap Afni asal. Mukanya semakin cemberut. Waitres itu hanya mengangguk-angguk. Mengerti akan kestressan yang dialami oleh pelanggannya ini. dia pun kembali ke pantry.
“Sial banget sih gue?!” gerutu Afni sambil memegang kepalanya. “Kenapa gue bisa ceroboh? Padahal itu proyek penting buat perusahaan?!” tambahnya. Kepalanya tertunduk, meratapi nasib.
“Hei?!” ucap seorang cowok yang tiba-tiba datang dihadapan Afni. Seorang cowok tinggi, berbadan proposional dan berambut cepak, Dendra Divnibal Klevy, atau singkatnya, Ibal. “Kok cemberut?”
“Hah?!” ucap Afni tersadar sejenak dari kekalutannya. “Kamu…”
“Kita pernah tabrakan waktu di depan lift, ingat?” jelas Ibal mengingatkan.
“Depan lift?” ucap Afni. Berusaha mengingat. “O iya, waktu kemarin-kemarin kan?”
“Kemarin-kemarin?”
“Pokoknya kemarin lah,” ucap Afni tak mau ambil pusing. Ibal tertawa melihat reaksi wanita yang di depannya ini.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya,” ucap Ibal.
“Pertanyaan?” tanya Afni. Bingung. “Pertanyaan yang mana?”
“Kenapa kamu cemberut?”
“Oh…” ucap Afni.
“Maaf, ini pesanan anda, cokelat ice cream triple?!” ucap waitres itu mengantarkan pesanan Afni.
“Triple?” ucap Ibal takjub. Afni hanya bisa nyengir kuda.
For stoping my stress. You know lah?!” ucap Afni to the point.
“Yeah, kata orang, cokelat adalah penghilang stres?!” ucap Ibal menyetujui. Afni hanya mengangguk. SETUJU. “Jadi karena itu kamu cemberut?”
“Ya iyalah,” ucap Afni. Talkactive MODE : ON. “Gimana nggak stress kalo kamu ngancurin pyoyek perusahaan tempat kamu bekerja?” tambahnya. Ibal menyimak. “Dan itu proyek yang sangat berharga buat perusahaan. Gimana coba?”
“Biasa aja,” ucap Ibal menimpali. “Kalo saya jadi kamu?!”
“Kok bisa BIASA aja?” tanya Afni mulai sewot. Tampangnya membuat Ibal tertawa.
“Proyek itu nggak cuma satu,” ucap Ibal. “Ada pepatah yang mengatakan, mati satu, tumbuh seribu. Sama kayak proyek, satu hilang, masih ada proyek lainnya, yang harganya lebih mahal. Iya kan?” ucap Ibal memberikan semangat. Senyuman tersungging di bibirnya.
Afni terdiam. Terpana dengan senyuman yang disunggingkan di bibir pria yang belum ia kenal namanya itu.
“Ya… pasti ada banyak proyek di luar sana?!” ucap Afni yakin. Senyuman terlukis di bibirnya.

“Ni, lo nggak beranjak ke gila kan?” tanya Dika khawatir karena melihat Afni senyam-senyum sendiri nggak jelas.
“Sialan lo?!” balas Afni nggak terima.
“Habis lo senyum terus daritadi. Nggak berhenti-berhenti lagi, kirain gue lo dah mulai rada gila?!” ucap Dhika. Bercanda.
“Dhika?!” ucap Afni menjitak Dhika. Dhika masih saja tertawa. “Dhik,” panggil Afni. Nadanya serius. Dhika hanya melirik Afni. “Rasanya jatuh cinta, gimana sih?”
“Lo jatuh cinta sama buku mana lagi, Ni? Ponsultat Einstein apa hukum kekekalan energi?” ledek Dhika.
“Gue serius Dhika?!” ucap Afni menoyol kembali kepala sahabatnya itu. Dhika tertawa lepas. “Apa yang lo rasain, waktu lo jatuh cinta sama Deva?”
“Gue nggak jatuh cinta sama Deva, Ni?!” ucap Dhika serius. “Dan gue nggak pernah jatuh cinta sama dia,” tambahnya. Wajah Afni terkejut sangat. Mulutnya menganga. “Karena gue nggak pernah cinta sama dia, tapi gue sayang sama dia. sayang banget?!”
“Itu sama aja, dodol?!” ucap Afni sambil menimpuk Dhika pakai koran yang ada di dekatnya. Dhika tertawa lepas. “Maksud gue, gimana perasaan lo, waktu berada di dekat Deva dan apa yang ngebuat lo bisa yakin, kalo Deva itu bakal calon istri lo?”
“Perasaan gue kalo di deket dia, sayang, sayang, sayang banget. Gue ngerasa nyaman kalo berada di dekat dia. Dia kayak matahari ‘lain’ buat gue. Kayak yang tertulis di notebook itu,” jelas Dhika. “Kita nggak akan pernah tau siapa jodoh kita kan, Ni? Makannya, yakin nggak yakin, gue bakal usaha buat ngeyakinin diri gue,” ucap Dhika bijaksana. Afni hanya mengangguk-angguk. “Emang lo kenapa sih, Ni? Nggak biasa-biasanya lo nanyain masalah ginian.”
“Nggak kenapa-napa,” ucap Afni. Dia langsung membaca koran yang ada dihadapannya.
“Lo jatuh cinta?” tanya Dhika. Masih penasaran. Afni diam. Mukanya ia tutupi dengan koran. “Bukan sama buku kan, Ni?”
“Lo kira, di pikiran gue cuma ada buku, buku ama buku apa? Gue juga mikirin cowok kali?!” ucap Afni. Keceplosan. Dhika nyengir kuda. “Eh, barusan gue ngomong apa?”
“Barusan lo ngomong,” ucap Dhika mendekatkan mukanya ke muka Afni. “Kalo GUE GANTENG?!”

Siang. Panas. Namun di ruangan ber-AC, tak ada kata panas yang bisa terucap. Itu yang dirasakan oleh Ibal di ruangannya. Pertemuannya yang tak sengaja dengan wanita itu, membuatnya terus senyum sendiri.
“Lo kenapa, Bal?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Devany Klefny. Deva.
“Lo kapan masuknya, Dev?” tanya Ibal tersadar dari lamunannya.
“Jangan-jangan lo udah beranjak gila karena nyokap lo nyuruh lo kawin ya?” sindir Deva. Tertawa.
“Sialan lo?!” ucap Ibal bangkit dari duduknya. “Lo kira gue nggak laku-laku apa?”
“Gue nggak ngomong kayak gitu, lo yang mengakuinya?!” ucap Deva. Kembali tertawa. Ibal hanya mengulas senyum sedikit. “Ada apa, Bal?”
“Nggak ada apa-apa. Emang ada apa?” tanya Ibal balik.
“Gue nggak baru kenal lo satu atau dua hari, Bal. Gue kenal lo selama gue hidup,” ucap Deva mengingatkan. “Ada apa, Bal. Lo nggak beneran stres kan di suruh kawin sama nyokap lo?”
“Lo percaya kalo gue bakalan stres?” tanya Ibal kepada sepupunya itu. Deva menggelengkan kepalanya. “Berarti jangan percaya itu.”
“Terus kenapa?”
“Gimana perasaan lo, kalo lo berada di dekat Dhika?”
“Nyaman. Tenang. Damai.”
“Itu yang gue rasain,” ucap Ibal. Nyengir. Deva membuka mulutnya, terkejut. “Bukan sama Dhika, monyong. Lo kira gue jeruk makan jeruk apa?”
“Ye… kirain gue?!” ucap Deva membela diri. “Terus sama siapa?” tanyanya. Ibal hanya mengangkat bahunya. “Loh?”
“Gue ketemu sama dia dengan cara kebetulan. Nggak ter-planning. Flowing aja?!” jelas Ibal. “Udah dua kali gue bertemu dengan dia. Kebetulan.”
“Dan kalo lo ketemu sama dia untuk ketiga kalinya dan dengan cara yang nggak disengaja. Gimana?”
“Gue lamar dia?!” ucap Ibal yakin. Senyuman bangga terpampang jelas di bibirnya. Deva hanya menggelengkan kepalanya. Takjub dengan sepupunya.

 “Mobil lo kenapa, Bal?” tanya Dhika yang biasa nyamperin Deva buat berangkat kerja bareng.
“Nggak tau gue juga, padahal kemarin barusan dari bengkel?!” ucap Ibal sambil turun dari tangga rumahnya. “Gue nebeng ya?!”
“Iye,” ucap Dhika yang duduk di atas kap mobilnya. “Apa sih yang ngak buat bos gue?”
“Bos lo apa sepupu dari calon istri lo?” goda Ibal. Dhika hanya nyengir.
“Gue udah siap,” ucap Deva sambil menutup pagar rumah Ibal. “Berangkat sekarang, gue ada meeting?!”
“Sip, bos?!” ucap Dhika yang loncat dari kap mobilnya dan langsung masuk ke belakang stir. Begitupun Deva dan Ibal. Mereka langsung masuk ke dalam mobil.
“Ini foto siapa?” tanya Ibal sambil menunjukan sebuah foto yang berisikan tiga anak manusia.
“Itukan foto gue sama Deva, masa lo nggak kenal sih?” protes Dhika.
“Gue juga tau kalo itu foto elo sama Deva. Tapi cewek yang ada di samping lo berdua ini?!” jelas Ibal sambil menujuk wajah lainnya yang ada di foto itu.
“Itu Afni, sahabat gue, kenapa, Bal?” tanya Deva. Sebesit senyuman kepuasan mampir di bibir Ibal. Dia menagngguk-angguk. “Oh…”

Ibal mengetuk-ngetukan jemarinya dia atas meja. Senyumannya tak pernah lepas dari bibirnya. Kursinya, ia putr-putarkan, seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah yang sangat ia inginkan.
“Bos,” ucap Dhika langsung masuk ke dalam ruangan Ibal. Ibal masih saja senyum-senyum yang nggak jelas. Dhika mendekat. Melihat keanehan yang ada di tubuh bosnya itu. “IBAL?!”
“HAH?!” Ibal tersadar dari lamunannya. Dhika nyengir kuda. “Lo kan nggak harus teriak di telinga gue kan, Dhik buat manggil gue?!”
“Kayaknya untuk sekarang-sekarang perlu, Bal. Setidaknya itu yang gue lihat.”
“Emang apa yang lo lihat?” tanya Ibal penasaran.
“Gue lihat, sahabat gue lagi falling in love sama sahabat gue juga?!”
“Maksud lo?” tanya Ibal nggak ngerti.
“Deva udah cerita sama gue, dan kemarin, sahabat gue yang satunya barusan cerita sama gue, kalo dia barusan nemuin buku. Bukan buku karya ilmiah yang selalu ia baca. Tapi buku lain. Buku kehidupannya. Kehidupannya yang nggak pernah disentuh dengan sesuatu yang namanya cinta.”
“Emang dia nggak laku-laku apa?” tanya Ibal. Matanya menelisik.
“Emangnya elo, nggak laku-laku,” ledek Dhika. Tertawa.
“Sebenarnya, banyak yang mau sama gue, tapi gimana, gue nggak suka sama mereka. masa iya dipaksain?!” bela Ibal atas dirinya sendiri.
“Whatever,” ucap Dhika mengesampingkan alasan Ibal. “Yang jelas, sahabat gue yang satunya ini lagi merasakan sesuatu yang nggak pernah ia rasakan. Sesuatu yang menurutnya absurd untuk dipelajari secara ilmiah. Dan nggak tanggung-tanggung, orang yang telah menawarkan sesuatu itu adalah sahabat gue sendiri.”
“Lalu?” tanya Ibal tak menegrti.
“Kata sahabat gue, cinta itu seperti sebuah buku. Tak pernah terprediksi. Obyektif. Dan tersipnosis dengan kata-kata yang membuat penasaran bagi yang membacanya bahkan yang sedang merasakannya. Semuanya teka-teki, tak ada yang tau akan akhir ceritanya. Kecuali, penciptanya,” jelas Dhika.
Book will always be mistery,” tambah Ibal.
“Dan gue harap, sahabat gue ini bisa tercatat dalam buku kehidupan sahabat gue yang satunya.”

“Dan kalo lo ketemu sama dia untuk ketiga kalinya dan dengan cara yang nggak disengaja. Gimana?”
“Gue lamar dia?!”
Ibal teringat dengan kata-katanya di sebuah percakapan bersama saudaranya, Deva.
“Apa bener, kalo gue ketemu sama dia untuk ketiga kalinya dengan cara kebetulan, gue bakal ngelamar dia?” tanyanya pada diri sendiri. “Who knows?!”

Dua minggu berselang.
Ibal berada di rumah. Sendirian. Deva dan Dhika sedang jalan bareng. Mempersiapkan kebutuhan ernikahan mereka. Dan paling membetekan adalah karena hari ini hari Minggu. Nggak ada acara. Nggak ada agenda. Semuanya kosong.
Ibal rebahan di atas sofa di ruang keluarga. Bermalas-malasan. BT. Nggak ada kegiatan apapun. Pembantunya sedang libur. Dan terdamparlah ia.
TING… TONG… TING… TONG…
Suara bel rumah Ibal berbunyi. Ibal langsung bangkit dan berjalan ke arah pintu.
TING… TONG… TING… TONG…
“BENTAR?!” teriak Ibal, membukakan pintu. Terlihat seorang wanita muda yang sudahsangat familier dengannya, Afni. “Kamu…”
“Lho?” ucap Afni bingung. “Kamu kok ada di sini?” tanya Afni berganti. Jantungnya berdetak kencang.
“Saya yang harusnya bertanya, kenapa kamu ada di sini?”
“Ini rumahnya Deva kan?” tanya Afni meyakinkan. Ibal mengangguk. “Saya mencari Deva?!”
“Deva? Kamu disuruh Deva ke sini?” tanya Ibal meyakinkan.
“Nggak,” ucap Afni. “Saya hanya ingin ketemu Deva. Dan kemarin, Deva menulis alamat ini sebagai tempat tinggal sementaranya. Dan…”
“Kamu ke sini untuk ketemu Deva dan sekarang malah ketemu saya, gitu?” tanya Ibal. Senyuman kaku melintas di bibirnya. Afni balas tersenyum. Senyum kaku.
Well, kita selalu kebetulan bertemu?!” ucap Afni menenangkan dirinya sendiri.
“Kebetulan?!” ucap Ibal mengulang. “Ancidentally in love.”
“Maksud kamu?” tanya Afni tak mengerti.
“Jujur, I’m ancidentally in love. With you?!” ucap Ibal to the point. Afni hanya menbelokan matanya. “Lucu memang, seperti sebuah buku. Tak pernah terprediksi. Obyektif. Dan tersipnosis dengan kata-kata yang membuat penasaran bagi yang membacanya bahkan yang sedang merasakannya. Semuanya teka-teki, tak ada yang tau akan akhir ceritanya. Kecuali, penciptanya,” tambah Ibal. “Saya mendapatkan kata-kata itu dari sahabat saya.”
“Dan sepertinya, saya kenal dengan kata-kata itu?!” balas Afni. Ibal tertawa.
“Sahabat saya dapat dari sahabatnya,” ucap Ibal. Menjelaskan. “Da saya juga udah janji sama seseorang, kalo saya bertemu dengan kamu lagi, saya akan melamar… kamu.”
“APA?” teriak Afni. Tampangnya 100% lebih blo’on daripada tampang sahabatnya yang lagi cengok. “Kamu gila?!”
“Mungkin, sesuatu yang ancidentally bukannya dianggap gila?!” pendapat Ibal dengan senyuman yang pernah ia lontarkan kepada Afni beberapa waktu silam. Senyuman yang menyadarkan Afni tentang satu rasa yang tak pernah terjamah dalam hidupnya. “Safni Naumal, bolehkah aku menjadi seseorang yang tercatat dalam bukumu untuk menjadi seorang pendamping?”
“Darimana kamu tau namaku?” tanya Afni. Bingung.
“Itu urusan belakangan, yang penting jawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan?” tanya Afni. LEMOT MODE : ON.
“Jangan bilang, kamu lupa sama apa yang aku tanyain ke kamu?!” ucap Ibal gemas.
Afni hanya tersenyum. Senyum yang ia lontarkan pada saat ia pertama kali bertemu dengan pria yang ada dihadapannya ini. “Ya nggak lah,” ucap Afni di selingi tawa. Grogi.
“Nggak buat apa?” tanya Ibal tegang.
“Nggak bakal nolak buat nerima kamu menjadi pendamping aku,” ucap Afni. Senyuman itu terulas di bibir merah muda nya.
Ibal refleks langsung memeluk Afni. Senyumannya selalu tersungging di bibirnya. Sama seperti Afni.
“This love for the first and for the last?!” ucap Afni, berbisik di telinga Ibal.

Kau buat aku bertanya… Kau buat aku mencari… Tentang rasa ini, aku tak mengerti… Akankah sama jadinya, bila bukan kamu… Lalu senyummu, menyadarkanku… Kau cinta pertama dan terakhirku…
[Cinta Pertama dan Terakhir – Sherina]

Created on : September, 22nd  2009