Selasa, 18 Januari 2011

Past of My Life

“Jia makannya harus banyak ya, biar cepat besar!” ucap seorang wanita yang berumur sekitaran tiga puluhan kepada seorang anak yang berada di depannya. Menyuapi anak itu dengan kasih sayang yang selayaknya. Dan sang anak hanya mengangguk, entah ia mengerti apa tidak. Ia hanya mengangguk. Mengangguk agar ibunya tersenyum.
Ia memakan makanannya dengan lahap. Sesendok demi sesendok. Sesuap demi sesuap. Ia hanya menuruti apa yang ibunya bilang. Ia mengangguk dan tersenyum. Mengiyakan sesuatu yang entah ia mengerti apa tidak.
Dan di sana. Duduk di pojokan. Ada seorang wanita yang berumur dua puluhan, melihat ke arah pasangan ibu dan anak yang sedang makan itu. Seorang wanita dengan laptop di hadapannya. Berdiam diri memikirkan sesuatu di kepalanya. sesuatu yang membuat memorinya terbuka. Sesuatu tentang masa lalunya.
Senyuman miris. Hanya itu yang terukir di bibirnya. Dan ia kembali berkonsentrasi dengan laptopnya. Menekan tuts keyboard yang sudah diakrabi oleh jemarinya. Pikirannya kembali terurai. Terjemahkan kata perkata. Kalimat demi kalimat tercipta.
Dan ia langsung sibuk dengan pengetikannya.

Ia begitu bahagia dalam sebuah perhatian. Ia begitu bersemangat dalam sebuah kasih sayang. Ia begitu penurut dalam setiap anggukan kecilnya. Sungguh, aku tak mengerti mengapa aku iri dengannya. Bukannya masa-masa lalu itu harusnya sudah berlalu dan terkubur dalam-dalam? Harusnya! Namun terkadang, sebuah memori terkadang terbuka begitu saja, tanpa filter dan waktu yang pas.
Sebuah memori. Menyakitkan! Sangat!
Di saat anak seusiaku dulu masih duduk manis bercanda dengan orang tuanya. Tertawa bahagia. Bisa bermanja-manja. Berkumpul dengan keluarganya. Dituntun agar aku tumbuh sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Ya... seharusnya aku mendapatkan itu. SEHARUSNYA!
Namun nyatanya aku tidak. Aku hidup dengan kesendirian. Kesendirian tanpa siapapun. Aku punya dua kakak. Satu kakak laki-laki dan perempuan. Dan mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya aku dan duniaku. Duniaku yang abstrak.
Orang tuaku?
Mereka hanya sibuk bekerja. Mereka berangkat pagi dan pulang sangat larut malam. Hanya bertegur sapa di pagi hari dan aku hanya tersenyum. Bukan senyuman termanisku atau tercantikku. Senyumku hanya sebuah bibir yang ditarik ke atas sedikt. Hanya sedikit. Dan aku rasa itu sudah cukup, dan memang sepertinya sudah cukup.
Cafetaria, 12 Oktober

Hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang sudah kering kerontang sebelumnya. Tetse demi tetes dengan intensitas yang banyak. Setai detik, ada ribuan titik yang menyentuh tanah bumi ini. Menyegarkan dan juga menyenangkan.
Sebuah mobil sedan perak melintas dengan kecepatan rendah. Mata si pengemudi begitu tajam mengawasi jalanan. Dengan jarak pandang hanya beberapa kilometer, membuatnya agar berekstra hati-hati. ia menghentikan kendaraannya. Berhenti tepat di belakang garis marka. Mematuhi lalu lintas yang ada. Dalam keadaan hujan, ia masih mampu melihat sebuah lapangan. Lapangan sepakbola yang penuh dengan anak-anak yang bermain.
Ia hanya tersenyum. Bukan senyuman yang hanya segaris, melainkan sebuah senyuman penuh. Ia memarkirkan mobilnya di pinggir lapangan. Memperhatikan setiap mimik-mimik bahagia walau tertimpa air hujan yang lebat. Ia mengeluarkan kamera DSLR nya. Memfoto setiap mimik yang bahagia itu.
Dan ia pun mengeluarkan notebook nya. Memindahkan file yang ada ke dalam notebooknya. Dan jarinya langsung mengetik. Ada sebuah jalan pemikiran yang harus ia tumpahkan. Harus. Segera!

Mereka sangat bahagia. Bahagia yang tak terbiaskan dengan kata-kata maupun cerita. Mimik-mimik itu adalah mimik-mimik yang sangat akrab dengan kebahagiaan masa kecil mereka. Sungguh, seharusnya aku turut bahagia atas mimik-mimik bahagia itu.
Dan hujanpun tak mampu menyamarkan pancar bahagia dalam usia mereka. Hujan lebat ini mampu membawa kesenangan bagi mereka. Dan juga bagiku. Kesendirian dan hujan adalah sesuatu yang tak terpisahkan bagiku.
Kesendirian. Dengan mimik yang biasa saja. Tak ada mimik-mimik seperti mereka yang asik dengan bola tanpa memperdulikan hujan. Tidak ada. Aku hanya bisa diam. Mengalah dan disalahkan tanpa ada pembelaan.
Lampu Merah, 15 Oktober

Hujan sepertinya urung untuk berhenti. Ia terus menerus secara fluktuaktif membasahi bumi yang sudah penuh dengan air. Dan ia masih saja memandangi hujan dari balik kaca jendela mobil sedan peraknya. Menatap sebuah rumah yang kosong, namun masih terawat.
Lama sudah ia berada di sana. Entah apa yang ia pikirkan. Ia memandangi rumah itu. Rumah yang masih terawat, namun kosong. Ada setitik pancaran aneh yang berkilat di matanya. Pancaran yang hanya beberapa orang saja yang mengerti.
Akhirnya ia memutuskan untuk turun ditemani dengan payung dan juga tas kecil yang berisi benda-benda kesayangannya. Ada keraguan saat ia sampai berada di depan teras rumah itu. Keraguan yang entah mengapa ia harus takutkan.
Ia berjalan mendekat perlahan. membuka pintu dengan sebuah kunci yang telah lama ia simpan. Ia menghirup udara lembab. Udara yang sudah lama ia tak menghirupnya selama ini. Udara yang hanya ia hirup pada malam hari, ketika ia pulang untuk tidur.
Ia menarik nafasnya dalam. Membiarkan apa yang ada di memorinya terputar kembali dalam ingatannya. Layaknya sebuah bioskop kehidupan.
Ia berjalan ke sebuah meja yang berada di ruang tengah. Sebuah meja dengan sofa dan televisi di depannya. Ruang keluarga. Ada seukir senyuman miris yang terukir. Ia langsung duduk dan membuka notebooknya. Membiarkan segala sesuatu mengalir dalam kata dan kalimat.

Dan aku kembali melihat ini semua. Dalam sebuah bayang masa lalu yang tak tau sampai kapan. Semuanya masih nampak sama. Sampai kini. Sampai aku dewasa. Dan memori itu kini terputar dalam sebuah ingatan yang tak akan pernah lekang oleh waktu.

“Malam, ma. Mama tau nggak, Hera...”
“Jangan sekarang Hera, mama capek!”
Aku hanya ingin menjadi seorang anak yang memang mempunyai masa kecil yang seharusnya. Aku ingin menjadi seorang anak normal yang bisa bercengkrama dengan ibu dan bapaknya. Belajar dari mereka melalui obrolan. Mendengarkan prestasi apa yang telah aku capai dalam setiap jengkal waktu hidupku.
Tapi sungguh, ketika mulut ini ingin berucap untuk menyampaikan sebuah berita. Mereka nampak tak ingin mengetahuinya. Mereka hanya bilang kalo mereka capek. Dan aku hanya diam mengalah, memakluminya.
Setiap hari aku bertambah dewasa dengan suatu pemahaman yang sudah tertanam dalam benakku. Entah itu datang dari mana. Aku hanya melihat dan memperhatikan. Menjalani dalam sebuah pikiran.
“POKOKNYA ALIN MAU BARANG ITU ADA BESOK!”
“Tapi, Lin...”
BRAK! Suara pintu dibanting.
Aku melihatnya. Mendengarkanya. Merasakannya.
Begitu gampang kalimat itu keluar. Begitu mudah amarah itu meluap. Dan esoknya ia mendapatkan apa yang ia harapkan. Dan aku hanya tersenyum. Terdiam. Mengalah. Kembali pada kamarku dan mengerjakan semua soal pekerjaan rumahku. Tak ada protes. Hanya diam.
Dan ia senang. Memuji keduanya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Sungguh. Aku melihatnya. Mendengarkannya. Merasakannya. Seketika ada sakit di dada ini. Keirian. Tapi aku tidak diajarkan untuk itu. Aku tak pernah diajarkan untuk beriri hati. kata guru di sekolah, itu tidak baik. jadi aku mengangguk dan menurutinya.
Dan aku semakin mengerti di setiap waktu yang terlewati. Mengerti bahwa aku memang berbeda dan dibedakan. Dan semua orang mulai menertawakanku. Dalam sebuah wacana yang merekapun tak pernah tau kebenarannya. Dan aku hanya diam. Mengalah.
“Mama, Hera mau sepatu baru.”
“Memang kenapa dengan sepatu lama kamu?”
“Nggak kenapa-kenapa, tapi...”
“Kalo masih bisa dipakai, pakai yang lama aja dulu.”
Bahkan tidak ada alasan yang diberikan. Dan sungguh, aku hanya mengangguk. Mengerti. Mengerti dan memang itu yang akan terjadi. Aku hanya terdiam. Dan kembali ke kamar. Melihat hujan dari balik jendela. tak ada air mata. Karena memang itu sudah tak mampu keluar lagi. aku sudah terbiasa dengan ini.
Keirian itu memang ada, tapi aku harus membunuhnya. Aku tidak diajarkan itu. Guruku melarangnya dan agamaku juga. Aku tak boleh iri. Aku harus ikhlas. Hanya itu yang aku bisa aku terapkan. Hanya itu. Sebuah ajaran yang tertanam dalam diri. Hanya itu yang aku lakukan. Dan memang, Tuhan itu maha adil.

Ia menarik nafasnya dalam. Ada buliran halus yang terjatuh dari mata beningnya. Memori itu sungguh menguras segala sesuatu yang ada dalam dirinya. Memori yang telah lama ia simpan dan urung ia buka. Tapi sekarang, entah mengapa ia kembali mencari sesuatu dari masa lalunya. Dan ia membiarkan itu semua mengalir.
Ia kembali fokus di depan notebook mungilnya. Jemarinya yang biasa lincah mendadak kaku. Pikiran itu masih mengalir deras. Mendesaknya agar ia mau melincahkan jemarinya untuk mengetik.

“GOBLOK KAMU! GIMANA BISA DIA LARI DENGAN BEBASNYA MASUKIN BOLA KE RING!”
Suara omelan itu sering sekali menyambangi telingaku dan teman-temanku. Tak ada kata menang dan kata kalah. Omelan itu selalu datang untuk kami. Dan kami harus tetap berdiri. Dan berdiri kembali. Mental kami diuji. Tak ada pujian.
Namun di balik itu, aku bangga. Aku mampu mengahsilkan uang sendiri. Dengan bermain dan aku dibayar. Dan selembar demi selembar aku kumpulkan dari bermain permainan ini. Permainan yang telah menjadi sesuatu bagiku. Entah itu dalam bentuk pelarian apa bukan.
“Makasih, Ma, Pa, HP barunya!”
Ia berkata dengan senangnya sambil melihat HP barunya. Aku hanya terdiam. Menyelinap masuk ke dalam kamarku. menaruh semua barang-barangku dan langsung terbaring di atas dipanku. Aku merogoh saku celanaku. Menghitung uang yang aku dapatkan. Empat ratus ribu. Lumayan untuk nambahin uang beli HP.
Aku terdiam sejenak. merenungi apa yang baru saja terjadi. Tuhan, apa ini memang nyata? Jika ya, mengapa? Setiap malam, hanya itu yang tersirat dalam pikiranku. Aku tak bisa lagi mengharap, bukannya tidak bisa, aku tak mau mengharap. Harapan itu memang ada, tapi aku tak mau menggantungkan seratus persen pada harapan yang belum pasti. Tuhan, maafkan aku.

Ia menarik nafas dalam untuk kesekian kalinya. Ia menahan setiap buncahan perasaan yang ada. Ia tak boleh lemah dalam mengingat setiap memori masa lalunya. Ia harus kuat. Sekuat dulu sewaktu ia menghadapi masa lalu.
Angin di luar bertiup kencang. Menggetarkan jendela di rumah itu. Kenangan dalam memorinya semakin nyata. Ia masih terpaku di depan notebooknya. Jemarinya semakin kaku untuk menekan tuts-tuts yang ada.

“Kamu udah buat mama dan papa kecewa! Mau jadi apa kamu? Berantem kayak anak cowok!”
“Tapi, Ma...”
“Jangan ngeles kamu!”
Aku diam. Tak menunduk. Aku tak takut. Bukannya aku durhaka, tapi memang bukan aku yang salah. Mungkin memang, menurut mereka aku lah yang salah, tapi apakah mereka pernah menanyakan apa alasannya? Tanpa aku menjawab, pasti sudah jelas jawabannya.
Aku kembali ke kamar. Menaruh semua peralatanku. Aku langsung membuka jendela. hari ini tidak hujan, namun udara dingin. Aku terdiam menatap langit. Sesekali luka yang ada di bibir berkedut nyeri.
“Lu tuh bisa nggak sih nggak ganggu orang?!”
“Lu mau jadi jagoan?”
“Menurut lu?”
BUG!
Bayangan tadi siangpun berkelebat di dalam ingatanku. Sebenarnya aku tak mau melakukan itu, tapi tindakan satu manusia itu sudah dibatas kewajaran. Menyiksa secara perlahan namun berkala. Sungguh, aku yang melihatnya saja sudah tak tahan, apalagi orang yang di siksa.
“Lu belum tidur?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba berada di depan daun pintu kamarku. aku hanya menggeleng. “Gua denger ada yang barusan berantem?”
“Kalo lu Cuma mau marahin dan nasihatin gua, mendingan lu keluar deh!”
“Ternyata adik gua bukan lagi adik yang kalem ya?” ucapnya sambil tertawa. Aku terdiam. “Jangn lu kira gua sibuk sendiri, terus gua nggak pernah memperhatikan elu. Selama ini, tanpa lu ketahui, gua mengawasi elu semua.”
“Gua tersanjung!” ucapku. Setengah memuji, tapi tak ikhlas.
“Gua tau kok, lu udah bisa ngehasilin uang sendiri. Gua tau, selain dari main basket, lu juga dapat gaji dari salah satu koran karena lu jadi jurnalis muda kan?”
“Lu nguntit gua?”
“Terkadang. Soalnya lu balik di atas jam sembilan. Makanya gua nguntit elu,” ucapnya tertawa. Aku terdiam. “Gua sadar kok, kita memang dibedakan, Her.”
“Maksud lu?”
“Gua tau kok, lu balik di atas jam sembilan malam karena elu nyari pelarian kan? Menyibukan diri biar lu nyampe rumah hanya untuk tidur.”
“Terus, maksud lu masuk ke sini terus cerita apaan, Mas? Gua nggak ngerti.”
“Elu tuh adik gua yang berbeda, Her. Lu udah mengerti sejak elu kecil. Sejak elu SD. Mengerti tentang keadaan. Dan elu nggak pernah protes dengan semua itu. Elu mengalah. Gua bangga.”
Aku terdiam. Mengerti. Sangat mengerti. Kami adalah anak sulung dan bungsu. Anak pertama dan terakhir. Jarak kami memang jauh, tapi selama ini ia lah yang selalu berada di sebelahku. Mendampingiku.
“Gua hanya menjalani apa yang seharusnya gua jalani. Gua hanya berjalan di jalan yang udah ada. Kalo emang jalannya berkelok, ya udah gua harus hadapi.”
“Lu tau, terkadang lu nggak seperti anak bungsu pada umumnya. Lu terlalu mandiri dan dewasa untuk menjadi seorang bungsu.”
“Yah, terkadang kondisi dan situasi yang mengubah cara berpikir kita untuk mejadi sesuatu yang lebih baik,” ucapku. Menatap mata kakakku itu. “Gua belajar banyak dari elu, Mas. Lu bukan hanya kakak, tapi juga orang tua bagi gua. Lu yang ngajari semua hal yang nggak pernah mereka ajarkan pada gua.”
Hening.
Diam.
Tanpa suara.
“Terima kasih, Her!”

Dan waktu berjalan cepat bagiku. Sangat cepat. Membiarkan aku yang tadinya tak mengetahui apa-apa, kini menjadi tau. Membiarkanku tumbuh menjadi dewasa dan mandiri. Tidak ada yang dapat memprediksi tentang waktu yang akan terjadi kini dan nanti.
Dan aku mensyukuri tentang waktu yang telah aku lewati. Masa lalu memang bagian dalam hidup yang telah berlalu, tapi bukan berarti telah dilupakan. Aku tak mengenang masa lalu itu sebagai sesuatu yang harus dilupakan. Karena jika aku melupakannya, aku tak akan pernah menjadi seperti sekarang.
Aku memang mengalah, tapi bukan berarti aku kalah.
Rumahku, 15 Oktober

Ia keluar dari rumah itu. Menyimpan kembali semua kenangan yang telah ia buka sesaat itu. Menumpahkan dalam barisan kata. Ia melaju di bawah hujan deras dalam mobil sedan peraknya. Menata hidupnya di masa kini dan nanti.


Yogyakarta, tujuhbelas januari duaribusebelas, lima lewat sepuluh sore.

Sabtu, 08 Januari 2011

Sebuah Penerimaan


Ia terbaring di atas dipan rumah sakit. Ia nampak begitu lemah. Tak ada asupan gizi kecuali infus yang terpasang melalui belalai plastik.  Dan cairan itu, setets demi setetes mengalir ke dalam tubuhnya.
Ia, Aurora. Seorang gadis berumur sekitar sembilan belas tahun. Ia tidak cantik, namun ia mempunyai aura agar setiap orang melirik, bahkan menoleh ke arahnya. Ia tidak seksi, namun ia mempunyai sesuatu yang bisa menggetarkan hati. bukan hawa nafsu, melainkan kekaguman.
Dan kini, kecantikannya masih tetap terjaga. Utuh tersimpan. Walau kini ia terbaring. Ia masih mampu menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya, walau dengan keadaan menyedihkan.
Dan di luar sana. Ribuan bibir sedang bergumam. Mengagugkan asma-Mu ya Allah. Berdzikir. Berlafadz. Memohon. Agar ia terbangun dari tidur lelapnya. Tersenyum menyambut dunia kembali. Ribuan bibir itu tak berhenti mengucapkan lafadz-Mu. Sejak tiga hari yang lalu. Sejak ia tergeletak lemah tak berdaya di kamarnya.
Dan sungguh ya Allah. Siapakah ia?

Bagaimana perasaan kalian jika kalian sudah tau kontrak umur kalian di dunia? Sedih atau malah senang? Atau mungkin akan datar-datar saja? Seperti air yang sudah berada di hilir sungai. Dan jika kalian menanyakan itu padaku, aku akan menjawab, entahlah. Jalani saja. Toh memang umur manusia tak akan lebih panjang, malah akan bertambah pendek setiap detiknya.
Dan itu yang aku alami. Aku percaya, hanya Tuhan yang menentukan seberapa lama aku hidup. Dan seberapa lama kehidupan itu berjalan.

Usianya baru delapan tahun saat ia terkena vonis itu. Dan pada usia semuda itu. Ia tak mengerti apa-apa. Sungguh, ia masih bisa tertawa. Masih bisa tersenyum bahagia. Dan sungguh, ia tumbuh seperti seorang anak yang sama dengan yang lain. Senang bermain. Senang bercanda. Dan ia hanya tau, kalo ia harus mengikuti sebuah terapi dan juga meminum obat setiap pagi dan sore. Selebihnya, ia hanya bermain, belajar dan juga bercanda.
Sungguh indah masa anak-anak. Sungguh membahagiakan jika kita melihat dari sisi dewasa saat kita memandang anak-anak kecil bermain. Dan sungguh, dunia terasa sangat sederhana bagi mereka. Sesedehana mereka mengungkapkan cita-cita.

Semuanya terulang kembali di ingatanku. Seperti bioskop kecil dan aku menonton diriku sendiri. Tertawa. Menangis. Manja dan bertengkar. Aku melihatnya semua. Sungguh, betapa sederhana pemikiranku waktu itu. Hanya terapi dan minum sebuah pil setiap pagi dan sore. Jika ditanya pil apa itu, aku hanya menjawab, ‘hanya sebuah pil multivitamin’, sudah hanya itu. Dan ‘penerimaan’-ku hanya sesederhana itu Tuhan. Sesederhana itu.

Usianya bertambah lima tahun kini. Sungguh ia tumbuh sebagai gadis yang sangat periang. Selalu tertawa. Pembawa kebahagiaan. Senyumnya sungguh, membuat mulut orang lain tergerak untuk membalas senyumannya.
Ia masih tetap dengan kegembiraannya. Masih tetap dengan canda riangnya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kurun waktu manusia. Dan ‘penerimaan’ itu ternyata tak sesederhana yang ia pikirkan.
Semakin bertambahnya usia, ia semakin mengerti. Semakin bertambahnya usia, ia semakin banyak tau. Dan ‘penerimaan’ itu terkikis kesederhanaannya. Ia mulai galau. Ia mulai menolak penerimaan itu. Ia mulai membantah apa yang seharusnya ia tak boleh ia bantah.
Dan sungguh ya Allah, apakah segampang itu manusia meninggalkan penerimaan yang sederhana? Penerimaan yang seharusnya tak perlu diubah. Penerimaan yang seharusnya dijalani. Sungguh ya Allah, manusia lah yang selalu gampang menyalahkan-Mu atas cobaan yang Engkau berikan. Dan sesungguhnya, Engkau tidak akan memberikan cobaan yang lebih dari kemampuan hamba-Mu.

“Bukannya kamu sakit, Rora?” tanya Bu Indri. Kepala sekolahnya. Ia hanya terdiam. Membisu. Tak ada niatan untuk menjawab. “Oiya, kamu bukannya selalu minum obat ya? Kenapa sekarang jarang minum obat?”
Ia masih saja terdiam. Enggan untuk mejawab. Ia mulai menggoyangkan kakinya. Bertanda ia sudah tak nyaman.
“Kalo kamu mau sembuh, kamu harus minum obat dan mengikuti terapi, sayang.”
Ia mulai bereaksi. Senyuman sinis mulai terkembang di bibir mungilnya. Senyuman yang mulai muncul ketika ia tumbuh dan mengerti.
“Bukannya, ibu sudah mengerti?” tanyanya balik. Matanya yang tajam mulai berkilat. Bu Indri hanya memandang anak muridnya itu. Tersenyum. “Bukannya ibu mengerti kalo saya tidak akan sembuh dan tidak AKAN PERNAH sembuh?”
Bu Indri hanya tersenyum. Mencoba menenangkan anak didik yang paling disayanginya itu. Mengelus rambut panjangnya yang lurus. Menghela nafas sejenak untuk menenangkannya.
“Bukannya seharusnya ibu takut pada saya karena saya berpenyakit? Bukannya ibu harusnya menjauhi saya sama seperti orang-orang?”
“Apa kamu berpikiran seperti itu?” tanya Bu Indri. Ia hanya tertunduk. “Seharusnya ibu menjauh dari kamu. Seharusnya ibu taku karena penyakit kamu. Seharusnya,” ucap Bu Indri tenang. “Tapi sayang, ibu bukan tipe orang yang selalu menuruti kata seharusnya,” ucap Bu Indri. Ia terdiam beberapa lama. “Mereka tak mengerti bagaimana kamu bisa terkena vonis itu. Mereka semua tak mau mencari tau apa kebenarannya dari vonis itu.”
“Tapi itu bukan hanya sekedar vonis, Bu!”
“Memang,” ucap Bu Indri membenarkan. “Itu bukan hanya sekedar vonis. Tapi kita sebagai manusia tidak bisa menghindar dari kehendak-Nya. Jika vonis itu bisa memilih, ia tidak akan pernah mau untuk menjadi vonis yang mematikan. Begitu juga kamu,” ucap Bu Indri. Tenang. “Jika kamu bisa memilih, pasti kamu nggak akan pernah mau terkena vonis itu. Tapi, Tuhan berbicara lain. Kamu terkena vonis itu dan mau nggak mau, kamu harus menjalaninya.”
“Tuhan nggak adil, Bu. TUHAN NGGAK ADIL!” ucapnya marah. Nafasnya memburu. Penolakan itu sungguh bekerja cepat. Menghapus segala penerimaan yang telah tertanam.
“Tuhan adil kok, Rora. Tuhan sangat adil!” ucap Bu Indri. Nadanya tenang namun tegas. Ia hanya terdiam. “Tuhan itu maha Adil. Seadil-adilnya!”
“Tapi kenapa Rora yang terkena vonis itu, Bu? KENAPA?”
“Karena Tuhan tau, kamu bukanlah orang yang lemah. Bukan orang yang mudah berputus asa. Sesungguhnya di balik kesusahan ada sebuah kemudahan, Rora.”
Ia terdiam. Kepalanya kembali tertunduk. Bahunya bergetar. Hebat. Dn tangan halus itu masih mengelus kepalanya.
“Rora, hidup itu bukan diukur dari seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa berhargakah hidup itu untuk kita jalani.”

Entah apa yang harus katakan. Tertawa? Menangis? Atau melakukan keduanya secara bersamaan? Aku tak tau. Semuanya sungguh nyata dalam hadapanku. Aku melihat filmku sendiri. Kehidupan yang aku belum mengerti benar apa hakikatnya.
Dan penolakan itu terjadi begitu saja. Hampir mencabut segala penerimaan sederhana yang telah aku tanam. Sungguh ya Tuhan. Sebegitu gampangkah manusia berubah pikirannya? segampang itukah iman seseorang yang tertanam? Aku hanya terdiam. Air mata ini kalo bisa terjatuh, pasti suadh terjatuh. Tawa ini kalo bisa bersuara pasti sudah membahana. Tapi sayang, tak ada satupun tindkan yang bisa aku lakukan. Hanya terdiam. Terpaku menatap layar kehidupan.

“Awaaaas! Ada orang sakit mau lewaaat. Ntar kalian bisa ketularan lho?!” ejek seorang gadis yang usianya sebaya dengannya. Ia menghentikan sejenak langkahnya. Memandang gadis itu. Gadis yang sering sekali mengejeknya. “Kenapa lihat-lihat? Mau ngelihat wajahku untuk yang terakhir kalinya ya karena besok sudah mau mati?”
Ia terdiam. Penolakan itu bekerja cepat sekali. Air matanya mulai menetes. Penolakan itu berhasil bekerja. Membawa pembangkangan yang luar biasa. Menyalahkan atas segala sesuatu. Membantah terhadap sebuah kenyataan.

Tiga tahun berlalu. Ia masih hidup dalam sebuah penolakan yang luar biasa. Pembangkangan yang membawanya terpuruk. Penyalahan atas segala sesuatu yang telah terjadi. Penerimaan itu sudah terkikis, walau belum habis.
Tubuhnya mulai menyusut drastis. Senyuman sinis selalu menghiasi bibir mungilnya. Amarah hanya ada di pijar matanya. Sungguh ya Allah. Ia nampak begitu beda. Nampak begitu sakit. Nampak begitu pembangkang. Senyuman riangnya lenyap untuk saat ini. Candanya hanya berupa tangis atas penyalahan dan penolakan yang terjadi. Dan sungguh ya Allah. Begitu mudahnya manusia terpuruk dalam keputus asaan yang tak perlu.
“Kamu lebih kurus sekarang Rora?” tanya Bu Indri yang kini tidak lagi menjadi kepala sekolahnya. Ia hanya terdiam. Sama seperti dulu, enggan menjawab. “Kamu harus banyak makan, sayang. Nanti kamu sakit.”
“Bukannya Rora udah sakit, Bu? Dan akan selamanya sakit?” ucapnya sinis dan sarkatis.
“Kata siapa?” tanya Bu Indri. Berusaha pura-pura kaget. Ia enggan menjawab lagi. “Apa ini gara-gara ucapannya, Rora?” tanya Bu Indri. Membuka inti persoalaan. Ia terdiam. “Gadis itu kan? Gadis itu yang selalu mengejek kamu, sayang?”
“Dia bukan mengejek, itu kenyataan kok, Bu. Saya sakit dan selamanya akan sakit. Umur saya nggak akan panjang.”
“Rora, bukannya ibu udah bilang sama kamu, hidup itu bukan diukur dari seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa berhargakah hidup itu untuk kita jalani,” jelas Bu Indri. “Jika kita punya umur panjang, tapi kita tak bisa menghargai hidup itu sebagaimana hidup seharusnya, itu akan menjadi sia-sia belaka. Tapi kalo kita bisa menghargai hidup sebagaimana mestinya, sependek apapun umur kita, itu akan selalu menjadi sangat berharga, sampai kapanpun, Rora. Sampai kapanpun!”
Ia tertunduk. Ada sesal dalam hatinya yang terdapat luka menganga. Pemahaman yang sempat hilang kini datang kembali. Perlahan memang. Namun sangat menancap.
“Rora, hidup harus berlanjut sebagaimana mestinya. Penolakan dan pembangkangan hanya membuatmu semakin terpuruk. Kamu menyalahkan sesuatu yang seharusnya nggak boleh kamu persalahkan, sayang,” ucap Bu Indri. “Ingat, seberapa pendek umur yang telah digariskan Tuhan padamu, jangan pernah menjadi senjata untuk membuatmu semakin terpuruk dan terpuruk, tapi jadikanlah tamparan untuk membuatmu bangun dan menatap ke depan, Rora.”

Bagai tanaman yang tersiram air. Penerimaan itu muncul kembali. Penerimaan yang sebenarnya sangat, sangat sederhana. Walau tidak sesederhana di waktu lalu. Namun kesederhanaan ini tumbuh dengan sebuah pemahaman baru. Pemahaman kedewasaan.
Ya Tuhan, kini pemahaman itu kembali datang. Kembali tertanam dan berkembang dalam diri ini. Diri yang telah membangkang atas segala kuasa-Mu. Diri yang telah menyalahkan-Mu secara sepihak. Diri yang tak tau terimakasih telah diberikan sebuah kehidupan yang sebenarnya anugrah terindah-Mu.

Setahun telah berlalu. Kini ia selalu meyambut pagi dengan senyuman. Selalu menyapa orang dengan kehangatan. Sungguh, senyum sinis itu sudah hilang ya Allah. Dan tatapannya, sungguh bukan lagi memijarkan sebuah amarah yang luar biasa, melainkan sebuah keteduhan yang luar biasa sejuknya. Dan muka itu, kini sudah tak lagi penuh dengan gurat-gurat pembangkangan, melainkan gurat-gurat ketulusan atas penerimaan yang ada.
Dan hidup bergulir di babak baru baginya. Penerimaan itu membawanya pada satu lembar yang bernama sebuah kebahagiaan. Kebahagiaannya dan juga kebahagiaan orang lain. Semua orang mulai melupakan penyakit yang ia derita. Tidak mengutuknya sebagaimana dulu mereka lakukan. Tidak mencemoohnya seperti gadis itu mencemoohnya. Tapi, dimana gadis itu?

“Aku nggak peduli lagi dengan cemoohan kamu lagi! memang hidupku tidak selama yang aku harapkan, tapi setidaknya aku mempunya kehidupan yang bisa aku hargai tanpa mencemooh orang lain,” ucapnya mantap. “Dan sebenarnya, umur itu tak bisa kita prediksi. Bisa saja aku yang sakit, tapi kamu yang mati duluan. Life’s like a box of chocolate, kita nggak tau apa yang ada di dalamnya.”

Dan sungguh ya Tuhan. Semua penerimaan itu kembali dalam diri ini yang dulu mengingkarinya. Dan walaupun penerimaan itu tidak segampang di waktu yang lampau, namun penerimaan itu memberi pemahaman yang berbeda. Pemahaman kedewasaan. Dan babak baru dimulai. Terima kasih ya Allah.

Dan ia masih terbaring saja dengan belalai plastik yang tertempel dalam tubuhnya. Nafas itu masih terjaga dalam ketenangannya. Jantung itu masih berdetak. Dan ia masih tertidur pulas. Entah apa yang ia mimpikan. Entah apa yang ia pikirkan.
Dan ribuan mulut di luar ruangan ini masih bertasbih menyerukan asma-Mu ya Allah. Berharap ia akan kembali tersadar. Dan ia pun sebenarnya bertasbih menggemakan nama-Mu ya Allah. Ia, Aurora, bertasbih memohon kepada-Mu untuk memberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah ia perbuat ya Allah. Sungguh, hanya kepada-Mu, hamba-Mu meminta, hanya kepada-Mu, hamba-Mu memohon.

Dan ia terbangun di kamarnya. Memandang seorang wanita yang kini sudah tua, tertidur lelap memegangi tangannya. Ia hanya tersenyum. Mengelus tangan yang sudah mulai keriput itu. Ya Allah, berikanlah ia tempat terbaik di istana-Mu ya Allah, ucapnya dalam hati.
Ia mengambil kerudung yang berada di pinggiran tempat tidur, mengenakannya. Ia mulai bertayamum. Membersihkan najis kecil sebelum melakukan sholat.
“Allahuakbar!” takbirnya yang pertama.
Terdengar sangat syahdu dan juga khusyuk. Ia membaca surat Al-Fatihah.
اهد ناالصّراط اْلْمسْتقىم (Tunjukan kami jalan yang benar)”
Ya Allah, di setiap kami sholat, menunaikan kewajiban. Sungguh sebenarnya kami hanya segerombolan manusia yang rapuh. Kami selalu memohon, meminta. Namun ketika cobaan datang, kami hanya bisa memaki, tanpa bisa bersyukur. Bersyukur karena Engkau telah menguji kami, mengasihi kami. Hamba-hamba-Mu yang sering lupa akan nikmat-Mu.
Ia sudah sampai ke rokaat terakhir. Ia telah membaca Al-Fatihah. Kini ia membaca surat Asy Syarh.
فانّ مع الْعسْريسرا  (sungguh, bersama kesukaran itu pasti ada kemudahan).
Dan begitu dangkalnya setiap hati manusia yang selalu mencerca kesukaran tanpa berfikir tentang kemudahannya. Dan sesungguhnya Engkau ya Allah, selalu adil. Memberikan kesedihan namun juga memberikan bahagia. Memberikan tangis, namun juga memberikan tawa. Memberikan kesukaran dan juga kemudahan. Sungguh, hamba hanya seonggok daging yang hidup tanpa berakal.
Dan ia sampailah pada sujud terakhir. Sujud yang selalu ia lamakan waktunya. Menundukan kepala setunduk-tunduknya dihadapan-Mu ya Allah. Menunjukan bahwa setiap mahluk hidup ciptaan-Mu hanyalah kecil dibandingkan Engkau. Tuhan semesta alam.
Dan sujud itu. Sujud terlama dan terakhir baginya. Sujud terakhir yang ia persembahkan hanya kepada sang pencipta.
Lailaha’ilallah muhammadarasulullah.
Maha suci Engkau atas segala firman-Nya.


Duapuluh satu desember : sebelas empatpuluh dua malam