Selasa, 18 Januari 2011

Past of My Life

“Jia makannya harus banyak ya, biar cepat besar!” ucap seorang wanita yang berumur sekitaran tiga puluhan kepada seorang anak yang berada di depannya. Menyuapi anak itu dengan kasih sayang yang selayaknya. Dan sang anak hanya mengangguk, entah ia mengerti apa tidak. Ia hanya mengangguk. Mengangguk agar ibunya tersenyum.
Ia memakan makanannya dengan lahap. Sesendok demi sesendok. Sesuap demi sesuap. Ia hanya menuruti apa yang ibunya bilang. Ia mengangguk dan tersenyum. Mengiyakan sesuatu yang entah ia mengerti apa tidak.
Dan di sana. Duduk di pojokan. Ada seorang wanita yang berumur dua puluhan, melihat ke arah pasangan ibu dan anak yang sedang makan itu. Seorang wanita dengan laptop di hadapannya. Berdiam diri memikirkan sesuatu di kepalanya. sesuatu yang membuat memorinya terbuka. Sesuatu tentang masa lalunya.
Senyuman miris. Hanya itu yang terukir di bibirnya. Dan ia kembali berkonsentrasi dengan laptopnya. Menekan tuts keyboard yang sudah diakrabi oleh jemarinya. Pikirannya kembali terurai. Terjemahkan kata perkata. Kalimat demi kalimat tercipta.
Dan ia langsung sibuk dengan pengetikannya.

Ia begitu bahagia dalam sebuah perhatian. Ia begitu bersemangat dalam sebuah kasih sayang. Ia begitu penurut dalam setiap anggukan kecilnya. Sungguh, aku tak mengerti mengapa aku iri dengannya. Bukannya masa-masa lalu itu harusnya sudah berlalu dan terkubur dalam-dalam? Harusnya! Namun terkadang, sebuah memori terkadang terbuka begitu saja, tanpa filter dan waktu yang pas.
Sebuah memori. Menyakitkan! Sangat!
Di saat anak seusiaku dulu masih duduk manis bercanda dengan orang tuanya. Tertawa bahagia. Bisa bermanja-manja. Berkumpul dengan keluarganya. Dituntun agar aku tumbuh sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Ya... seharusnya aku mendapatkan itu. SEHARUSNYA!
Namun nyatanya aku tidak. Aku hidup dengan kesendirian. Kesendirian tanpa siapapun. Aku punya dua kakak. Satu kakak laki-laki dan perempuan. Dan mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya aku dan duniaku. Duniaku yang abstrak.
Orang tuaku?
Mereka hanya sibuk bekerja. Mereka berangkat pagi dan pulang sangat larut malam. Hanya bertegur sapa di pagi hari dan aku hanya tersenyum. Bukan senyuman termanisku atau tercantikku. Senyumku hanya sebuah bibir yang ditarik ke atas sedikt. Hanya sedikit. Dan aku rasa itu sudah cukup, dan memang sepertinya sudah cukup.
Cafetaria, 12 Oktober

Hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang sudah kering kerontang sebelumnya. Tetse demi tetes dengan intensitas yang banyak. Setai detik, ada ribuan titik yang menyentuh tanah bumi ini. Menyegarkan dan juga menyenangkan.
Sebuah mobil sedan perak melintas dengan kecepatan rendah. Mata si pengemudi begitu tajam mengawasi jalanan. Dengan jarak pandang hanya beberapa kilometer, membuatnya agar berekstra hati-hati. ia menghentikan kendaraannya. Berhenti tepat di belakang garis marka. Mematuhi lalu lintas yang ada. Dalam keadaan hujan, ia masih mampu melihat sebuah lapangan. Lapangan sepakbola yang penuh dengan anak-anak yang bermain.
Ia hanya tersenyum. Bukan senyuman yang hanya segaris, melainkan sebuah senyuman penuh. Ia memarkirkan mobilnya di pinggir lapangan. Memperhatikan setiap mimik-mimik bahagia walau tertimpa air hujan yang lebat. Ia mengeluarkan kamera DSLR nya. Memfoto setiap mimik yang bahagia itu.
Dan ia pun mengeluarkan notebook nya. Memindahkan file yang ada ke dalam notebooknya. Dan jarinya langsung mengetik. Ada sebuah jalan pemikiran yang harus ia tumpahkan. Harus. Segera!

Mereka sangat bahagia. Bahagia yang tak terbiaskan dengan kata-kata maupun cerita. Mimik-mimik itu adalah mimik-mimik yang sangat akrab dengan kebahagiaan masa kecil mereka. Sungguh, seharusnya aku turut bahagia atas mimik-mimik bahagia itu.
Dan hujanpun tak mampu menyamarkan pancar bahagia dalam usia mereka. Hujan lebat ini mampu membawa kesenangan bagi mereka. Dan juga bagiku. Kesendirian dan hujan adalah sesuatu yang tak terpisahkan bagiku.
Kesendirian. Dengan mimik yang biasa saja. Tak ada mimik-mimik seperti mereka yang asik dengan bola tanpa memperdulikan hujan. Tidak ada. Aku hanya bisa diam. Mengalah dan disalahkan tanpa ada pembelaan.
Lampu Merah, 15 Oktober

Hujan sepertinya urung untuk berhenti. Ia terus menerus secara fluktuaktif membasahi bumi yang sudah penuh dengan air. Dan ia masih saja memandangi hujan dari balik kaca jendela mobil sedan peraknya. Menatap sebuah rumah yang kosong, namun masih terawat.
Lama sudah ia berada di sana. Entah apa yang ia pikirkan. Ia memandangi rumah itu. Rumah yang masih terawat, namun kosong. Ada setitik pancaran aneh yang berkilat di matanya. Pancaran yang hanya beberapa orang saja yang mengerti.
Akhirnya ia memutuskan untuk turun ditemani dengan payung dan juga tas kecil yang berisi benda-benda kesayangannya. Ada keraguan saat ia sampai berada di depan teras rumah itu. Keraguan yang entah mengapa ia harus takutkan.
Ia berjalan mendekat perlahan. membuka pintu dengan sebuah kunci yang telah lama ia simpan. Ia menghirup udara lembab. Udara yang sudah lama ia tak menghirupnya selama ini. Udara yang hanya ia hirup pada malam hari, ketika ia pulang untuk tidur.
Ia menarik nafasnya dalam. Membiarkan apa yang ada di memorinya terputar kembali dalam ingatannya. Layaknya sebuah bioskop kehidupan.
Ia berjalan ke sebuah meja yang berada di ruang tengah. Sebuah meja dengan sofa dan televisi di depannya. Ruang keluarga. Ada seukir senyuman miris yang terukir. Ia langsung duduk dan membuka notebooknya. Membiarkan segala sesuatu mengalir dalam kata dan kalimat.

Dan aku kembali melihat ini semua. Dalam sebuah bayang masa lalu yang tak tau sampai kapan. Semuanya masih nampak sama. Sampai kini. Sampai aku dewasa. Dan memori itu kini terputar dalam sebuah ingatan yang tak akan pernah lekang oleh waktu.

“Malam, ma. Mama tau nggak, Hera...”
“Jangan sekarang Hera, mama capek!”
Aku hanya ingin menjadi seorang anak yang memang mempunyai masa kecil yang seharusnya. Aku ingin menjadi seorang anak normal yang bisa bercengkrama dengan ibu dan bapaknya. Belajar dari mereka melalui obrolan. Mendengarkan prestasi apa yang telah aku capai dalam setiap jengkal waktu hidupku.
Tapi sungguh, ketika mulut ini ingin berucap untuk menyampaikan sebuah berita. Mereka nampak tak ingin mengetahuinya. Mereka hanya bilang kalo mereka capek. Dan aku hanya diam mengalah, memakluminya.
Setiap hari aku bertambah dewasa dengan suatu pemahaman yang sudah tertanam dalam benakku. Entah itu datang dari mana. Aku hanya melihat dan memperhatikan. Menjalani dalam sebuah pikiran.
“POKOKNYA ALIN MAU BARANG ITU ADA BESOK!”
“Tapi, Lin...”
BRAK! Suara pintu dibanting.
Aku melihatnya. Mendengarkanya. Merasakannya.
Begitu gampang kalimat itu keluar. Begitu mudah amarah itu meluap. Dan esoknya ia mendapatkan apa yang ia harapkan. Dan aku hanya tersenyum. Terdiam. Mengalah. Kembali pada kamarku dan mengerjakan semua soal pekerjaan rumahku. Tak ada protes. Hanya diam.
Dan ia senang. Memuji keduanya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Sungguh. Aku melihatnya. Mendengarkannya. Merasakannya. Seketika ada sakit di dada ini. Keirian. Tapi aku tidak diajarkan untuk itu. Aku tak pernah diajarkan untuk beriri hati. kata guru di sekolah, itu tidak baik. jadi aku mengangguk dan menurutinya.
Dan aku semakin mengerti di setiap waktu yang terlewati. Mengerti bahwa aku memang berbeda dan dibedakan. Dan semua orang mulai menertawakanku. Dalam sebuah wacana yang merekapun tak pernah tau kebenarannya. Dan aku hanya diam. Mengalah.
“Mama, Hera mau sepatu baru.”
“Memang kenapa dengan sepatu lama kamu?”
“Nggak kenapa-kenapa, tapi...”
“Kalo masih bisa dipakai, pakai yang lama aja dulu.”
Bahkan tidak ada alasan yang diberikan. Dan sungguh, aku hanya mengangguk. Mengerti. Mengerti dan memang itu yang akan terjadi. Aku hanya terdiam. Dan kembali ke kamar. Melihat hujan dari balik jendela. tak ada air mata. Karena memang itu sudah tak mampu keluar lagi. aku sudah terbiasa dengan ini.
Keirian itu memang ada, tapi aku harus membunuhnya. Aku tidak diajarkan itu. Guruku melarangnya dan agamaku juga. Aku tak boleh iri. Aku harus ikhlas. Hanya itu yang aku bisa aku terapkan. Hanya itu. Sebuah ajaran yang tertanam dalam diri. Hanya itu yang aku lakukan. Dan memang, Tuhan itu maha adil.

Ia menarik nafasnya dalam. Ada buliran halus yang terjatuh dari mata beningnya. Memori itu sungguh menguras segala sesuatu yang ada dalam dirinya. Memori yang telah lama ia simpan dan urung ia buka. Tapi sekarang, entah mengapa ia kembali mencari sesuatu dari masa lalunya. Dan ia membiarkan itu semua mengalir.
Ia kembali fokus di depan notebook mungilnya. Jemarinya yang biasa lincah mendadak kaku. Pikiran itu masih mengalir deras. Mendesaknya agar ia mau melincahkan jemarinya untuk mengetik.

“GOBLOK KAMU! GIMANA BISA DIA LARI DENGAN BEBASNYA MASUKIN BOLA KE RING!”
Suara omelan itu sering sekali menyambangi telingaku dan teman-temanku. Tak ada kata menang dan kata kalah. Omelan itu selalu datang untuk kami. Dan kami harus tetap berdiri. Dan berdiri kembali. Mental kami diuji. Tak ada pujian.
Namun di balik itu, aku bangga. Aku mampu mengahsilkan uang sendiri. Dengan bermain dan aku dibayar. Dan selembar demi selembar aku kumpulkan dari bermain permainan ini. Permainan yang telah menjadi sesuatu bagiku. Entah itu dalam bentuk pelarian apa bukan.
“Makasih, Ma, Pa, HP barunya!”
Ia berkata dengan senangnya sambil melihat HP barunya. Aku hanya terdiam. Menyelinap masuk ke dalam kamarku. menaruh semua barang-barangku dan langsung terbaring di atas dipanku. Aku merogoh saku celanaku. Menghitung uang yang aku dapatkan. Empat ratus ribu. Lumayan untuk nambahin uang beli HP.
Aku terdiam sejenak. merenungi apa yang baru saja terjadi. Tuhan, apa ini memang nyata? Jika ya, mengapa? Setiap malam, hanya itu yang tersirat dalam pikiranku. Aku tak bisa lagi mengharap, bukannya tidak bisa, aku tak mau mengharap. Harapan itu memang ada, tapi aku tak mau menggantungkan seratus persen pada harapan yang belum pasti. Tuhan, maafkan aku.

Ia menarik nafas dalam untuk kesekian kalinya. Ia menahan setiap buncahan perasaan yang ada. Ia tak boleh lemah dalam mengingat setiap memori masa lalunya. Ia harus kuat. Sekuat dulu sewaktu ia menghadapi masa lalu.
Angin di luar bertiup kencang. Menggetarkan jendela di rumah itu. Kenangan dalam memorinya semakin nyata. Ia masih terpaku di depan notebooknya. Jemarinya semakin kaku untuk menekan tuts-tuts yang ada.

“Kamu udah buat mama dan papa kecewa! Mau jadi apa kamu? Berantem kayak anak cowok!”
“Tapi, Ma...”
“Jangan ngeles kamu!”
Aku diam. Tak menunduk. Aku tak takut. Bukannya aku durhaka, tapi memang bukan aku yang salah. Mungkin memang, menurut mereka aku lah yang salah, tapi apakah mereka pernah menanyakan apa alasannya? Tanpa aku menjawab, pasti sudah jelas jawabannya.
Aku kembali ke kamar. Menaruh semua peralatanku. Aku langsung membuka jendela. hari ini tidak hujan, namun udara dingin. Aku terdiam menatap langit. Sesekali luka yang ada di bibir berkedut nyeri.
“Lu tuh bisa nggak sih nggak ganggu orang?!”
“Lu mau jadi jagoan?”
“Menurut lu?”
BUG!
Bayangan tadi siangpun berkelebat di dalam ingatanku. Sebenarnya aku tak mau melakukan itu, tapi tindakan satu manusia itu sudah dibatas kewajaran. Menyiksa secara perlahan namun berkala. Sungguh, aku yang melihatnya saja sudah tak tahan, apalagi orang yang di siksa.
“Lu belum tidur?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba berada di depan daun pintu kamarku. aku hanya menggeleng. “Gua denger ada yang barusan berantem?”
“Kalo lu Cuma mau marahin dan nasihatin gua, mendingan lu keluar deh!”
“Ternyata adik gua bukan lagi adik yang kalem ya?” ucapnya sambil tertawa. Aku terdiam. “Jangn lu kira gua sibuk sendiri, terus gua nggak pernah memperhatikan elu. Selama ini, tanpa lu ketahui, gua mengawasi elu semua.”
“Gua tersanjung!” ucapku. Setengah memuji, tapi tak ikhlas.
“Gua tau kok, lu udah bisa ngehasilin uang sendiri. Gua tau, selain dari main basket, lu juga dapat gaji dari salah satu koran karena lu jadi jurnalis muda kan?”
“Lu nguntit gua?”
“Terkadang. Soalnya lu balik di atas jam sembilan. Makanya gua nguntit elu,” ucapnya tertawa. Aku terdiam. “Gua sadar kok, kita memang dibedakan, Her.”
“Maksud lu?”
“Gua tau kok, lu balik di atas jam sembilan malam karena elu nyari pelarian kan? Menyibukan diri biar lu nyampe rumah hanya untuk tidur.”
“Terus, maksud lu masuk ke sini terus cerita apaan, Mas? Gua nggak ngerti.”
“Elu tuh adik gua yang berbeda, Her. Lu udah mengerti sejak elu kecil. Sejak elu SD. Mengerti tentang keadaan. Dan elu nggak pernah protes dengan semua itu. Elu mengalah. Gua bangga.”
Aku terdiam. Mengerti. Sangat mengerti. Kami adalah anak sulung dan bungsu. Anak pertama dan terakhir. Jarak kami memang jauh, tapi selama ini ia lah yang selalu berada di sebelahku. Mendampingiku.
“Gua hanya menjalani apa yang seharusnya gua jalani. Gua hanya berjalan di jalan yang udah ada. Kalo emang jalannya berkelok, ya udah gua harus hadapi.”
“Lu tau, terkadang lu nggak seperti anak bungsu pada umumnya. Lu terlalu mandiri dan dewasa untuk menjadi seorang bungsu.”
“Yah, terkadang kondisi dan situasi yang mengubah cara berpikir kita untuk mejadi sesuatu yang lebih baik,” ucapku. Menatap mata kakakku itu. “Gua belajar banyak dari elu, Mas. Lu bukan hanya kakak, tapi juga orang tua bagi gua. Lu yang ngajari semua hal yang nggak pernah mereka ajarkan pada gua.”
Hening.
Diam.
Tanpa suara.
“Terima kasih, Her!”

Dan waktu berjalan cepat bagiku. Sangat cepat. Membiarkan aku yang tadinya tak mengetahui apa-apa, kini menjadi tau. Membiarkanku tumbuh menjadi dewasa dan mandiri. Tidak ada yang dapat memprediksi tentang waktu yang akan terjadi kini dan nanti.
Dan aku mensyukuri tentang waktu yang telah aku lewati. Masa lalu memang bagian dalam hidup yang telah berlalu, tapi bukan berarti telah dilupakan. Aku tak mengenang masa lalu itu sebagai sesuatu yang harus dilupakan. Karena jika aku melupakannya, aku tak akan pernah menjadi seperti sekarang.
Aku memang mengalah, tapi bukan berarti aku kalah.
Rumahku, 15 Oktober

Ia keluar dari rumah itu. Menyimpan kembali semua kenangan yang telah ia buka sesaat itu. Menumpahkan dalam barisan kata. Ia melaju di bawah hujan deras dalam mobil sedan peraknya. Menata hidupnya di masa kini dan nanti.


Yogyakarta, tujuhbelas januari duaribusebelas, lima lewat sepuluh sore.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar