Sabtu, 08 Januari 2011

Sebuah Penerimaan


Ia terbaring di atas dipan rumah sakit. Ia nampak begitu lemah. Tak ada asupan gizi kecuali infus yang terpasang melalui belalai plastik.  Dan cairan itu, setets demi setetes mengalir ke dalam tubuhnya.
Ia, Aurora. Seorang gadis berumur sekitar sembilan belas tahun. Ia tidak cantik, namun ia mempunyai aura agar setiap orang melirik, bahkan menoleh ke arahnya. Ia tidak seksi, namun ia mempunyai sesuatu yang bisa menggetarkan hati. bukan hawa nafsu, melainkan kekaguman.
Dan kini, kecantikannya masih tetap terjaga. Utuh tersimpan. Walau kini ia terbaring. Ia masih mampu menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya, walau dengan keadaan menyedihkan.
Dan di luar sana. Ribuan bibir sedang bergumam. Mengagugkan asma-Mu ya Allah. Berdzikir. Berlafadz. Memohon. Agar ia terbangun dari tidur lelapnya. Tersenyum menyambut dunia kembali. Ribuan bibir itu tak berhenti mengucapkan lafadz-Mu. Sejak tiga hari yang lalu. Sejak ia tergeletak lemah tak berdaya di kamarnya.
Dan sungguh ya Allah. Siapakah ia?

Bagaimana perasaan kalian jika kalian sudah tau kontrak umur kalian di dunia? Sedih atau malah senang? Atau mungkin akan datar-datar saja? Seperti air yang sudah berada di hilir sungai. Dan jika kalian menanyakan itu padaku, aku akan menjawab, entahlah. Jalani saja. Toh memang umur manusia tak akan lebih panjang, malah akan bertambah pendek setiap detiknya.
Dan itu yang aku alami. Aku percaya, hanya Tuhan yang menentukan seberapa lama aku hidup. Dan seberapa lama kehidupan itu berjalan.

Usianya baru delapan tahun saat ia terkena vonis itu. Dan pada usia semuda itu. Ia tak mengerti apa-apa. Sungguh, ia masih bisa tertawa. Masih bisa tersenyum bahagia. Dan sungguh, ia tumbuh seperti seorang anak yang sama dengan yang lain. Senang bermain. Senang bercanda. Dan ia hanya tau, kalo ia harus mengikuti sebuah terapi dan juga meminum obat setiap pagi dan sore. Selebihnya, ia hanya bermain, belajar dan juga bercanda.
Sungguh indah masa anak-anak. Sungguh membahagiakan jika kita melihat dari sisi dewasa saat kita memandang anak-anak kecil bermain. Dan sungguh, dunia terasa sangat sederhana bagi mereka. Sesedehana mereka mengungkapkan cita-cita.

Semuanya terulang kembali di ingatanku. Seperti bioskop kecil dan aku menonton diriku sendiri. Tertawa. Menangis. Manja dan bertengkar. Aku melihatnya semua. Sungguh, betapa sederhana pemikiranku waktu itu. Hanya terapi dan minum sebuah pil setiap pagi dan sore. Jika ditanya pil apa itu, aku hanya menjawab, ‘hanya sebuah pil multivitamin’, sudah hanya itu. Dan ‘penerimaan’-ku hanya sesederhana itu Tuhan. Sesederhana itu.

Usianya bertambah lima tahun kini. Sungguh ia tumbuh sebagai gadis yang sangat periang. Selalu tertawa. Pembawa kebahagiaan. Senyumnya sungguh, membuat mulut orang lain tergerak untuk membalas senyumannya.
Ia masih tetap dengan kegembiraannya. Masih tetap dengan canda riangnya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kurun waktu manusia. Dan ‘penerimaan’ itu ternyata tak sesederhana yang ia pikirkan.
Semakin bertambahnya usia, ia semakin mengerti. Semakin bertambahnya usia, ia semakin banyak tau. Dan ‘penerimaan’ itu terkikis kesederhanaannya. Ia mulai galau. Ia mulai menolak penerimaan itu. Ia mulai membantah apa yang seharusnya ia tak boleh ia bantah.
Dan sungguh ya Allah, apakah segampang itu manusia meninggalkan penerimaan yang sederhana? Penerimaan yang seharusnya tak perlu diubah. Penerimaan yang seharusnya dijalani. Sungguh ya Allah, manusia lah yang selalu gampang menyalahkan-Mu atas cobaan yang Engkau berikan. Dan sesungguhnya, Engkau tidak akan memberikan cobaan yang lebih dari kemampuan hamba-Mu.

“Bukannya kamu sakit, Rora?” tanya Bu Indri. Kepala sekolahnya. Ia hanya terdiam. Membisu. Tak ada niatan untuk menjawab. “Oiya, kamu bukannya selalu minum obat ya? Kenapa sekarang jarang minum obat?”
Ia masih saja terdiam. Enggan untuk mejawab. Ia mulai menggoyangkan kakinya. Bertanda ia sudah tak nyaman.
“Kalo kamu mau sembuh, kamu harus minum obat dan mengikuti terapi, sayang.”
Ia mulai bereaksi. Senyuman sinis mulai terkembang di bibir mungilnya. Senyuman yang mulai muncul ketika ia tumbuh dan mengerti.
“Bukannya, ibu sudah mengerti?” tanyanya balik. Matanya yang tajam mulai berkilat. Bu Indri hanya memandang anak muridnya itu. Tersenyum. “Bukannya ibu mengerti kalo saya tidak akan sembuh dan tidak AKAN PERNAH sembuh?”
Bu Indri hanya tersenyum. Mencoba menenangkan anak didik yang paling disayanginya itu. Mengelus rambut panjangnya yang lurus. Menghela nafas sejenak untuk menenangkannya.
“Bukannya seharusnya ibu takut pada saya karena saya berpenyakit? Bukannya ibu harusnya menjauhi saya sama seperti orang-orang?”
“Apa kamu berpikiran seperti itu?” tanya Bu Indri. Ia hanya tertunduk. “Seharusnya ibu menjauh dari kamu. Seharusnya ibu taku karena penyakit kamu. Seharusnya,” ucap Bu Indri tenang. “Tapi sayang, ibu bukan tipe orang yang selalu menuruti kata seharusnya,” ucap Bu Indri. Ia terdiam beberapa lama. “Mereka tak mengerti bagaimana kamu bisa terkena vonis itu. Mereka semua tak mau mencari tau apa kebenarannya dari vonis itu.”
“Tapi itu bukan hanya sekedar vonis, Bu!”
“Memang,” ucap Bu Indri membenarkan. “Itu bukan hanya sekedar vonis. Tapi kita sebagai manusia tidak bisa menghindar dari kehendak-Nya. Jika vonis itu bisa memilih, ia tidak akan pernah mau untuk menjadi vonis yang mematikan. Begitu juga kamu,” ucap Bu Indri. Tenang. “Jika kamu bisa memilih, pasti kamu nggak akan pernah mau terkena vonis itu. Tapi, Tuhan berbicara lain. Kamu terkena vonis itu dan mau nggak mau, kamu harus menjalaninya.”
“Tuhan nggak adil, Bu. TUHAN NGGAK ADIL!” ucapnya marah. Nafasnya memburu. Penolakan itu sungguh bekerja cepat. Menghapus segala penerimaan yang telah tertanam.
“Tuhan adil kok, Rora. Tuhan sangat adil!” ucap Bu Indri. Nadanya tenang namun tegas. Ia hanya terdiam. “Tuhan itu maha Adil. Seadil-adilnya!”
“Tapi kenapa Rora yang terkena vonis itu, Bu? KENAPA?”
“Karena Tuhan tau, kamu bukanlah orang yang lemah. Bukan orang yang mudah berputus asa. Sesungguhnya di balik kesusahan ada sebuah kemudahan, Rora.”
Ia terdiam. Kepalanya kembali tertunduk. Bahunya bergetar. Hebat. Dn tangan halus itu masih mengelus kepalanya.
“Rora, hidup itu bukan diukur dari seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa berhargakah hidup itu untuk kita jalani.”

Entah apa yang harus katakan. Tertawa? Menangis? Atau melakukan keduanya secara bersamaan? Aku tak tau. Semuanya sungguh nyata dalam hadapanku. Aku melihat filmku sendiri. Kehidupan yang aku belum mengerti benar apa hakikatnya.
Dan penolakan itu terjadi begitu saja. Hampir mencabut segala penerimaan sederhana yang telah aku tanam. Sungguh ya Tuhan. Sebegitu gampangkah manusia berubah pikirannya? segampang itukah iman seseorang yang tertanam? Aku hanya terdiam. Air mata ini kalo bisa terjatuh, pasti suadh terjatuh. Tawa ini kalo bisa bersuara pasti sudah membahana. Tapi sayang, tak ada satupun tindkan yang bisa aku lakukan. Hanya terdiam. Terpaku menatap layar kehidupan.

“Awaaaas! Ada orang sakit mau lewaaat. Ntar kalian bisa ketularan lho?!” ejek seorang gadis yang usianya sebaya dengannya. Ia menghentikan sejenak langkahnya. Memandang gadis itu. Gadis yang sering sekali mengejeknya. “Kenapa lihat-lihat? Mau ngelihat wajahku untuk yang terakhir kalinya ya karena besok sudah mau mati?”
Ia terdiam. Penolakan itu bekerja cepat sekali. Air matanya mulai menetes. Penolakan itu berhasil bekerja. Membawa pembangkangan yang luar biasa. Menyalahkan atas segala sesuatu. Membantah terhadap sebuah kenyataan.

Tiga tahun berlalu. Ia masih hidup dalam sebuah penolakan yang luar biasa. Pembangkangan yang membawanya terpuruk. Penyalahan atas segala sesuatu yang telah terjadi. Penerimaan itu sudah terkikis, walau belum habis.
Tubuhnya mulai menyusut drastis. Senyuman sinis selalu menghiasi bibir mungilnya. Amarah hanya ada di pijar matanya. Sungguh ya Allah. Ia nampak begitu beda. Nampak begitu sakit. Nampak begitu pembangkang. Senyuman riangnya lenyap untuk saat ini. Candanya hanya berupa tangis atas penyalahan dan penolakan yang terjadi. Dan sungguh ya Allah. Begitu mudahnya manusia terpuruk dalam keputus asaan yang tak perlu.
“Kamu lebih kurus sekarang Rora?” tanya Bu Indri yang kini tidak lagi menjadi kepala sekolahnya. Ia hanya terdiam. Sama seperti dulu, enggan menjawab. “Kamu harus banyak makan, sayang. Nanti kamu sakit.”
“Bukannya Rora udah sakit, Bu? Dan akan selamanya sakit?” ucapnya sinis dan sarkatis.
“Kata siapa?” tanya Bu Indri. Berusaha pura-pura kaget. Ia enggan menjawab lagi. “Apa ini gara-gara ucapannya, Rora?” tanya Bu Indri. Membuka inti persoalaan. Ia terdiam. “Gadis itu kan? Gadis itu yang selalu mengejek kamu, sayang?”
“Dia bukan mengejek, itu kenyataan kok, Bu. Saya sakit dan selamanya akan sakit. Umur saya nggak akan panjang.”
“Rora, bukannya ibu udah bilang sama kamu, hidup itu bukan diukur dari seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa berhargakah hidup itu untuk kita jalani,” jelas Bu Indri. “Jika kita punya umur panjang, tapi kita tak bisa menghargai hidup itu sebagaimana hidup seharusnya, itu akan menjadi sia-sia belaka. Tapi kalo kita bisa menghargai hidup sebagaimana mestinya, sependek apapun umur kita, itu akan selalu menjadi sangat berharga, sampai kapanpun, Rora. Sampai kapanpun!”
Ia tertunduk. Ada sesal dalam hatinya yang terdapat luka menganga. Pemahaman yang sempat hilang kini datang kembali. Perlahan memang. Namun sangat menancap.
“Rora, hidup harus berlanjut sebagaimana mestinya. Penolakan dan pembangkangan hanya membuatmu semakin terpuruk. Kamu menyalahkan sesuatu yang seharusnya nggak boleh kamu persalahkan, sayang,” ucap Bu Indri. “Ingat, seberapa pendek umur yang telah digariskan Tuhan padamu, jangan pernah menjadi senjata untuk membuatmu semakin terpuruk dan terpuruk, tapi jadikanlah tamparan untuk membuatmu bangun dan menatap ke depan, Rora.”

Bagai tanaman yang tersiram air. Penerimaan itu muncul kembali. Penerimaan yang sebenarnya sangat, sangat sederhana. Walau tidak sesederhana di waktu lalu. Namun kesederhanaan ini tumbuh dengan sebuah pemahaman baru. Pemahaman kedewasaan.
Ya Tuhan, kini pemahaman itu kembali datang. Kembali tertanam dan berkembang dalam diri ini. Diri yang telah membangkang atas segala kuasa-Mu. Diri yang telah menyalahkan-Mu secara sepihak. Diri yang tak tau terimakasih telah diberikan sebuah kehidupan yang sebenarnya anugrah terindah-Mu.

Setahun telah berlalu. Kini ia selalu meyambut pagi dengan senyuman. Selalu menyapa orang dengan kehangatan. Sungguh, senyum sinis itu sudah hilang ya Allah. Dan tatapannya, sungguh bukan lagi memijarkan sebuah amarah yang luar biasa, melainkan sebuah keteduhan yang luar biasa sejuknya. Dan muka itu, kini sudah tak lagi penuh dengan gurat-gurat pembangkangan, melainkan gurat-gurat ketulusan atas penerimaan yang ada.
Dan hidup bergulir di babak baru baginya. Penerimaan itu membawanya pada satu lembar yang bernama sebuah kebahagiaan. Kebahagiaannya dan juga kebahagiaan orang lain. Semua orang mulai melupakan penyakit yang ia derita. Tidak mengutuknya sebagaimana dulu mereka lakukan. Tidak mencemoohnya seperti gadis itu mencemoohnya. Tapi, dimana gadis itu?

“Aku nggak peduli lagi dengan cemoohan kamu lagi! memang hidupku tidak selama yang aku harapkan, tapi setidaknya aku mempunya kehidupan yang bisa aku hargai tanpa mencemooh orang lain,” ucapnya mantap. “Dan sebenarnya, umur itu tak bisa kita prediksi. Bisa saja aku yang sakit, tapi kamu yang mati duluan. Life’s like a box of chocolate, kita nggak tau apa yang ada di dalamnya.”

Dan sungguh ya Tuhan. Semua penerimaan itu kembali dalam diri ini yang dulu mengingkarinya. Dan walaupun penerimaan itu tidak segampang di waktu yang lampau, namun penerimaan itu memberi pemahaman yang berbeda. Pemahaman kedewasaan. Dan babak baru dimulai. Terima kasih ya Allah.

Dan ia masih terbaring saja dengan belalai plastik yang tertempel dalam tubuhnya. Nafas itu masih terjaga dalam ketenangannya. Jantung itu masih berdetak. Dan ia masih tertidur pulas. Entah apa yang ia mimpikan. Entah apa yang ia pikirkan.
Dan ribuan mulut di luar ruangan ini masih bertasbih menyerukan asma-Mu ya Allah. Berharap ia akan kembali tersadar. Dan ia pun sebenarnya bertasbih menggemakan nama-Mu ya Allah. Ia, Aurora, bertasbih memohon kepada-Mu untuk memberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah ia perbuat ya Allah. Sungguh, hanya kepada-Mu, hamba-Mu meminta, hanya kepada-Mu, hamba-Mu memohon.

Dan ia terbangun di kamarnya. Memandang seorang wanita yang kini sudah tua, tertidur lelap memegangi tangannya. Ia hanya tersenyum. Mengelus tangan yang sudah mulai keriput itu. Ya Allah, berikanlah ia tempat terbaik di istana-Mu ya Allah, ucapnya dalam hati.
Ia mengambil kerudung yang berada di pinggiran tempat tidur, mengenakannya. Ia mulai bertayamum. Membersihkan najis kecil sebelum melakukan sholat.
“Allahuakbar!” takbirnya yang pertama.
Terdengar sangat syahdu dan juga khusyuk. Ia membaca surat Al-Fatihah.
اهد ناالصّراط اْلْمسْتقىم (Tunjukan kami jalan yang benar)”
Ya Allah, di setiap kami sholat, menunaikan kewajiban. Sungguh sebenarnya kami hanya segerombolan manusia yang rapuh. Kami selalu memohon, meminta. Namun ketika cobaan datang, kami hanya bisa memaki, tanpa bisa bersyukur. Bersyukur karena Engkau telah menguji kami, mengasihi kami. Hamba-hamba-Mu yang sering lupa akan nikmat-Mu.
Ia sudah sampai ke rokaat terakhir. Ia telah membaca Al-Fatihah. Kini ia membaca surat Asy Syarh.
فانّ مع الْعسْريسرا  (sungguh, bersama kesukaran itu pasti ada kemudahan).
Dan begitu dangkalnya setiap hati manusia yang selalu mencerca kesukaran tanpa berfikir tentang kemudahannya. Dan sesungguhnya Engkau ya Allah, selalu adil. Memberikan kesedihan namun juga memberikan bahagia. Memberikan tangis, namun juga memberikan tawa. Memberikan kesukaran dan juga kemudahan. Sungguh, hamba hanya seonggok daging yang hidup tanpa berakal.
Dan ia sampailah pada sujud terakhir. Sujud yang selalu ia lamakan waktunya. Menundukan kepala setunduk-tunduknya dihadapan-Mu ya Allah. Menunjukan bahwa setiap mahluk hidup ciptaan-Mu hanyalah kecil dibandingkan Engkau. Tuhan semesta alam.
Dan sujud itu. Sujud terlama dan terakhir baginya. Sujud terakhir yang ia persembahkan hanya kepada sang pencipta.
Lailaha’ilallah muhammadarasulullah.
Maha suci Engkau atas segala firman-Nya.


Duapuluh satu desember : sebelas empatpuluh dua malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar