Rabu, 16 Februari 2011

Marry Me

Ia terduduk di sudut cafe ini. memandang ke arah jalan raya yang ramai akan kendaraan. Orang-orang berlalu lalang. sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ia juga sibuk. Sibuk dengan sebuah buku yang ada di hadapannya. Sibuk menulis kata demi kata yang berkecamuk dalam pikirannya.
Secangkir vanila latte hangat dan sepotong croisant menemaninya sore itu. Di tengah kesibukan aktivitas yang akan di tutup. Di penghujung hari yang sibuk. Ia masih tetap berada di sana. Memandangi kesibukan yang tiada henti. Hidup dan kehidupan. Semuanya berjalan.
Tangannya yang biasanya lincah menulis, kini entah mengapa menjadi agak malas-malasan. Padahal ide ada dalam pikirannya. mengalir dalam setiap detiknya. Namun hati tak bisa ditipu. Ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang sduah mengganggunya akhir-akhir ini.

Ia datang begitu saja. Duduk di hadapanku. Memandang ke arah jalanan. Sama sepertiku. Menyukai rintik hujan yang turun. Dan sesudah itu ia pergi. Tanpa pesan. Tanpa nama. Namun entah mengapa, aku seperti mengenalnya. Sangat mengenalnya. Aku tertegun.
Aku memandangi punggungnya yang menjauh. Membelah rintik hujan yang mulai turun. Menyebrangi jalanan. Punggung yang pergi itu, sepertinya sering aku melihatnya. Namun aku tak mampu aku mengingatnya.
Aku terdiam sejenak. melihat tulisanku yang belum aku sentuh. Masih kosong rupanya. Aku memainkan pensilku sejenak. masih memikirkan hal yang sama. Memikirkannya yang datang begitu saja dan pergi begitu saja. Tapi mampu membuat pikiranku kacau balau.
Bukan! Bukan karena wajahnya yang memang tampan namun kaku. Bukan juga karena suaranya, bahkan ia tidak mengeluarkan suara apapun di hadapanku. Ia sederhana. Sangat sederhana. Ia kalem  dalam pembawaannya, namun ada sesuatu di balik ke kaleman itu.
Sungguh tuhan, mengapa aku bisa memikirkan seseorang yang tak pernah aku kenal? Tapi kenapa juga aku merasa mengenalnya. Tuhan, bantu aku!

Dan ia masih terduduk di sini. Di sore ini. memeriksa tulisannya yang ternyata masih setengahnya kosong. Ia hanya mampu menarik nafas. Mencoba berkonsentrasi. Lima menit kemudian, konsentrasinya bukbar jalan. Hanya itu yang ia lakukan di sore itu. Sungguh, ia bukanlah tipe orang yang gampang terintimidasi dengan sesuatu. Ia adalah wanita yang kuat.
“Your next latte, Clar,” ucap seorang cowok mengantarkan secangkir latte kesukaannya.
“Thanks, Far,” balasnya.
“Kerjaan lo kagak kelar-kelar, Clar?”
“Tau nih, Far. Gua bingung. Gua pusing banget. Kenapa akhir-akhir ini gua nggak fokus ya?”
“Nggak fokus kenapa?”
“Lo tau kan cowok yang tiba-tiba datang di hadapan gua beberapa hari yang lalu?”
“Yang ia duduk di hadapan lo karena nggak ada meja yang kosong?” tanya Fardi. Ia mengangguk. “Ya. Gua ingat. Cakep lah orangnya.”
“Bukan masalah cakepnya dodol!”
“Terus?”
“Gua kok kayaknya udah familiar ya sama dia?”
“Itu kan baru kayaknya, Clar. Lu mah suka pake perasaan kan?!”
“Tapi kadang-kadang perasaan gua bener juga tau, Far.”
“Iya. tapi kebanyakan salahnya.”
“Sialan!”

Ia terduduk di sana. Menulis di sebuah buku. Ia tak pernah melepaskan kebiasaannya. Membawa buku kemana-mana untuk menulis. Seperti kebiasaannya sewaktu dulu. Membawa buku tulis kemana-mana.
Dengan secangkir latte kesukaannya. Ia menulis. Wajah itu, wajah seriusnya. Wajahnya yang selalu aku pandangi jika ia sedang melakukan sesuatu. Wajah yang tak pernah berubah sejak aku terakhir bertemu dengannya enam tahun lalu. Di saat kami sama-sama pergi untuk menggapai cita-cita kami masing-masing.
Dan kini, ia begitu dekat denganku. Sungguh, ingin aku melakukan kebiasaanku sewaktu dulu. Menjawil pinggangnya dan tersenyum tanpa dosa kepadanya. Dan ia hanya menonjok lenganku yang kurus. Dan aku hanya meringis kesakitan karena tonjokannya.
Ia masih tetap sama. Seorang Clara Anissa yang sebenarnya tidak cantik, namun ia mempunyai sesuatu yang mampu membuat orang tertarik kepadanya. Balutan kain di kepalanya membuatnya semakin memiliki daya tarik itu.
Aku hanya bisa tersenyum memandanginya. Hanya itu yang aku bisa lakukan sekarang.

Ia memeriksa proposal yang di hadapannya. Membaca satu persatu tawaran yang ada. Memikirkan prospek yang akan di terimanya kini dan nanti. Wajahnya yang teduh, selalu nampak serius. Adrian Permana.
“Masih sibuk aja, Dri?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Matheo Achmad Suradja. Adri hanya tersenyum. Memperlihatkan setumpuk berkas yang masih berserakan di atas meja kerjanya. “Memang ya, calon pemimpin itu selalu sibuk ya, Dri!”
“Apa sih, Yo?” tanya Adri. Melemparkan senyumannya. “Ada apa?”
“Kau udah temui Clara, Dri?” tanya Theo langsung pada point yang ia tuju. Adri hanya tersenyum dan mengangguk. Adri mengerti, pasti Theo akan menanyakan ini. Sudah sekian tahun ia bersahabat dengan Theo, ia mengerti apa yang akan Theo lakukan. “Tapi dia belum tahu kau?” tanya Theo lagi. kali ini Adri mengangguk dan menunduk. “Adri... Adri... kau ini cakep-cakep tapi tololnya minta ampun!”
“Yang penting aku sudah tau dia dimana, Yo,” ucap Adri tenang.
“Tapi kalo kau tau dia dimana, tanpa dia tau kau dimana, sama aja bohong kau, Dri,” balas Theo. “Dri, aku budah bilang kalo Clara bukanlah cewek sembarangan. Memang ia agak kacau sikapnya. Ia tidak seanggun wanita lainnya, namun di balik itu semua. Dia itu wanita yang berbeda dan hebat. Kau tau itu, Dri. Dan kau mengerti.”
“Iya, sampai kau saja ingin menikahinya kan?” ucap Adri. Menggoda.
“Hey, Dri. Udahlah, jangan ungkit itu lagi. nanti ketahuan istriku, bisa mampus aku!”
“Kenapa Yo? Nggak di kasih jatah?”
“Sialan kau, Dri!”

“Memang kenapa sih kamu nggak mau pacaran, Clar?”
“Kenapa ya? Mungkin karena aku nggak laku-laku ya, Ndri?” ucapnya. Tertawa.
“Serius aku, Clara!”
“Hmm... aku nggak mau pacaran sebelum aku lulus, sebelum aku kerja dan punya uang yang banyak. Dan kayaknya aku emang nggak mau punya pacar. Aku mau langsung suami aja.”
“Enak ya jadi suami kamu, di masakin tiap hari nantinya.”
“Ya dong, kan bisa ngirit,” ucapnya. Tertawa.

Aku masih tak mengerti siapa dia. Tapi aku merasa mengalnya. Sangat mengenalnya. Punggung itu, sepertinya aku sering melihatnya. Dulu. Dan entah dimana. Wajahnya yang teduh namun tegas. Aku seperti dekat dengannya. Mengerti siapa dia, tapi jujur saja, aku lupa siapa dia.
Ada sesuatu yang menyelimuti perasaanku. Ia begitu sangat familiar denganku. Dan perasaan ini mengiyakan. Tapi jika di tanya logika, otak pun tak mampu menjawabnya. Sungguh ya Allah, jangan biarkan nafsu ini membelenggu hamba-Mu ini..

“Kamu mau kemana?” tanyaku.
“Mau ke perpus bentar, Clar. Nanti janjian di depan fakultas ya,” ucapnya. Aku hanya mengangguk. Menatapnya pergi. Melihat punggung itu mejauh dari pandanganku.
Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Sebagai sahabat. Tidak lebih untuk saat ini. aku mencoba untuk tidak mencampur urusan pacaran dengan sahabatan. Mungkin aku nggak mau pacaran dengan sahabat, tapi aku nggak nolak kalo suamiku nanti adalah sahabatku sendiri.

“Kamu mau kemana?” tanyanya.
“Mau ke perpus bentar, Clar. Nanti janjian di depan fakultas ya,” ucapku pamit. Aku berjalan ke arah perpus. Meninggalkan ia sejenak.
Dia adalah wanita hebat. Setidaknya itu yang dikatakan Theo padaku. Ia mandiri bukan hanya untuk urusan wanita seusianya. Tapi ia mandiri secara finansial. Ia sederhana, walau ia mempunyai banyak sekali barang-barang yang membuat seoarng wanita ngiler jika melihatnya. Ia tidak pintar, tapi ia cerdas. Wawasannya luas karena memang ia senang dengan membaca. Ia tegas dalam setiap pengambilan keputusan dan juga prinsipnya. Itu yang membuatnya berbeda.
Ia pernah bilang, ia tak mau pacaran sebelum lulus kuliah. Ia juga punya prinsip, ia tak akan pernah pacaran dengan sahabatnya. Tapi jika sahabatnya menjadi suaminya kelak, ia tak akan menolak. Sungguh pemikiran yang hebat dan aneh. dalam usianya semuda itu, ia mampu memutuskan.

“Adri.. Adri... jangan kau berputus asa begitu, Dri,” ucapnya padaku. Aku hanya terdiam. “Mungkin memang ia mempunyai prinsip seperti itu, tapi kau ambillah positifnya.”
“Maksudmu?”
“Jika memang kau tidak bisa miliki ia sekarang sebagai pacar, itu tak apa. Tapi nanti, lima, enam sampe tujuh tahun ke depan, ia harus jadi milikmu sebagai istrimu.”

Ia masih terduduk di sana. Masih dengan buku tulisnya. Memandangi jalanan yang lengang karena hujan mengguyur dengan derasnya. Ia masih tak fokus dengan kerjaannya. Masih memikirkan seseorang itu. Kini ia mampu merabanya, tapi apa benar dugaannya? Ia tak tau.
Ia menutup buku tulisnya. Tangannya menopang dagunya. Tatapannya menerawang. Menikmati setiap butiran hujan yang turun.
“Masih suka melamun, Clar?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba menyambanginya. Clara menoleh.
“Theo?” ucapnya tak percaya. Theo hanya tersenyum. “Kamu ngapain ada di sini? Bukannya kamu masih di Qatar ya terakhir?”
“Ya... sebulan yang lalu aku pindah sini. Lebih enak tinggal di negeri sendiri ternyata.”
“Terus bagaimana istrimu?”
“Baik-baik aja. Alhamdulillah, sehat wal afiat,” ucap Theo. Clara hanya mengangguk. Bersyukur. “Kau tidak menanyakan kenapa aku di sini?”
“Perlu gitu?” tanya Clara bercanda.
“Kau tuh tetap sama ya. Nggak berubah. Masih aja ngeselin. Bener kata Adri, kau nggak berubah.”
“Adri?” tanya Clara mengerenyitkan. Heran.
“Ya. Adrian Permana. Teman kau yang cakep itu, Clar. Masa kau lupa?”
“Ya nggaklah, gimana bisa aku lupa, Yo. Dia tuh sahabat aku. Gila apa kamu!”
“Yakin dia itu Cuma sahabatmu, Clar?” tanya Theo. Menggoda.
“Yo, jangan sampai aku menghajarmu di sini,” ucap Clara bercanda.
“Aku serius, Clar. Kau tuh, masih suka aja bercanda sewaktu aku bicara serius.”
“Oke. Sekarang aku serius.”
“Aku tau, kau sayang sama Adri, Clar.”
“Aku sayang sama sahabat-sahabatku, Yo. Termasuk kamu. Kamu tau itu kan?”
“Jangan memotong dulu, Clara. Lama-lama tak tabok kamu,” ucap Theo bercanda. Clara hanya tertawa, tapi ia memasang tampang serius. “Kau juga tau Adri sayang sama kamu. Lebih dari sekedar sahabat.”
“Dan kau juga?” tanya Clara. Bercanda.
“Awalnya,” ucap Theo. Mimiknya seratus persen berubah serius. Clara berhenti tertawa, menatap sahabatnya itu tak percaya. “Awalnya, Clar. Sebelum aku tau kalo Adri menyimpan perasaan yang sama. Setelah aku tau, aku mengalah. Aku menyayangi kalian berdua. Dari awal, kau berdua adalah sahabatku,” ucapnya. Clara hanya mengangguk-angguk. “Kau tau, Clar. Adri menunggumu sampai saat ini.”
“Menungguku?”
“Mungkin dulu, ia tak bisa jadi pacarmu, tapi sekarang...”
“Aku udah bilang kan, Yo, aku nggak mau pacaran!”
“Aku nggak bilang kalo kau pacaran sama dia.”
“Lalu?”
“Kau itu lama-lama mirip sama Adri. Sama-sama tololnya!”

Ia telah memantapkan hatinya. Menuju sebuah kafe yang sering ia kunjungi akhir-akhir ini. menghampiri seseorang yang memang sering berada di dalam kafe ini. seseorang yang telah ia cari keberadaannya selama ini. setelah lima tahun tak bertemu.
Dan dia duduk di sana. Merenung. Tangannya menopang dagunya. Matanya menatap keluar. Kebiasaan lamanya tak berubah. Melihat rintik hujan yang turun dari langit. Katanya, jika ia melihat hujan turun, hatinya akan menjadi lebih tenang.
Forever could never be long anough for me. To feel like I’ve had long enough with you. Forget the world now. We won’t let them see. But there’s one thing left to do. Now that the weight had lifted. And love has surely shifted my way.
“Clar,” ucapnya memanggil. Yang dipanggil menoleh. Agak terkejut dengan siapa yang memanggilnya. Ia hanya tersenyum. Senyuman yang masih sama seperti lima tahun lalu.
“Adri?”
“Maaf, kalo aku ngeganggu,” ucapnya. Kaku. Clara hanya tersenyum. Mempersilahkan sahabatnya itu duduk. “Dan maaf, kemarin aku nyelonong aja, tanpa memberitahukan siapa aku.”
“Kamu tau nggak rasanya, Dri. Kalo aku tau, itu kamu. Rasanya pengen tak tonjok kamu!”
“Jadi kamu nggak sadar kalo itu aku?” tanyanya kecewa.
“Awalnya,” ucap Clara. Ada penyesalan di sana. “Tapi setelah aku lihat punggung kamu, aku rasanya mengenal kamu. Dan ternyata benar, itu kamu.”
“Ternyata kamu udah lupa sama aku?”
“Ya iyalah, kamu nggak ada senyum, nggak ada ngomong,  nggak ada ekspresi waktu itu. Gimana aku bisa tau itu kamu, Dri,” cerocos Clara. Adri hanya tersenyum. “Kamu kenapa nggak bilan sih kalo kamu pindah ke sini?”
Marry me. Today and everyday. Marry me. If I ever get the nerve to say hello in this cafe. Say you will. Hmmm.. Say you will. Hmmm..
“Clar...”
“Hmm...”
“Kamu ingat perkataan kamu yang kamu nggak mau pacaran sama sahabatmu sendiri?”
Clara mengangguk.
“Tapi kamu nggak nolak kalo nantinya, suami kamu adalah sahabat kamu?”
“Maksud kamu?”
“Dulu, aku udah berjanji, jika aku nggak bisa miliki kamu sebagai pacar, aku akan miliki kamu sebagai istriku. Dan ternyata lebih baik seperti itu.”
“Dri, kamu nggak sakit kan?”
Together could never be close enough for me. To feel like I am close enough to you. You wear while and I’ll wear out the words. I love you and you’re beautiful. Now that the wait is over. And love has finally showed her my way.
“Maaf kalo aku ngedadak, Clar. Aku bukannya mau merusak hubungan sebelum ini yang sudah terjalin. Tapi aku...”
“Dri, waktu dulu aku sempat menyesal dengan prinsip yang aku buat. Awalnya, sesudah aku ketemu kamu. Kamu memang sahabat yang baik yang nantinya akan menjadi suami yang hebat. Aku percaya itu. Kamu akan menjadi seorang ayah yang bisa dijadikan contoh bagi anak-anaknya,” ucap Clara. “Tapi itu udah jadi prinsipku, Dri. Dan aku harus konsukuen untuk menjalaninya.”
“Dan kamu menjalaninya dengan baik, Clar,” ucap Adri. Tersenyum. Senyuman yang selama ini Clara rindukan. “Benar kata Theo, kamu memang wanita yang hebat.”
Marry me. Today and everyday. Marry me. If I ever get the nerve to say hello in this cafe. Say you will. Hmmm.. Say you will. Hmmm..
“Dan aku nggak akan merusak apapun yang udah terjadi dan terjalin. dan kamu nggak melanggar prinsip kamu, Clar. Terkadang kita butuh waktu untuk mengerti mengapa kita menjalani kehidupan ini,” ucap Adri. Keseriusan dalam setiap penekanan nadanya membuat hati Clara ketar-ketir.
“Dri, makasih ya, udah lama nunggu,” ucap Clara. Ada getaran lembut dalam nada ucapannya. “Aku nunggu saat-saat ini.”
Promise me. You’ll always be. Happy by my side. I promise to. Sing to you. When all the music dies.
“Theo pasti seneng.”
“Pastinya!”
Marry me. Today and everyday. Marry me. If I ever get the nerve to say hello in this cafe. Say you will. Hmmm. Say you will.
Marry Me - Train

Tujuhbelas januari duaribu sebelas, sebelas limapuluh satu malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar