Rabu, 10 November 2010

Burlian, Menanam Masa Depan hal 29-30

"sekolah itu seperti menanam pohon, Burlian, Pukat." Bapak tersenyum.
kami diam, tidak berkomentar. belum terlalu mengerti apa maksud bapak.
bapak mendekati sebatang pohon, menebasnya dengan pisau besar. lantas memeotong-motongnya menjadi enam-tujuh bagian sama besar.
"Kalian tau ini pohon apa?" Bapak menunjukan potongan kayu yang tergeletak.
"Pohon Sengon." kami menjawab hampir bersamaan. tentu saja anak-anak kampung secara alamiahtahu banyak tentang nama tumbuhan. yang kami tidak tahu buat apa bapak memotong-motong kayu hidup, bukankah kayu bakar selalu diambil dari batang kayu mati.
"Kalian benar, ini pohon sengon." Bapak mengangguk, "Nah, sekarang kalian tancapkan kayu-kayu ini di sekitar kebun."
Aku dan Kak Pukat menurut, dengan cepat melaksanakan tugas sederhana itu."Bapak sengaja mengajak kalian, karena hari ini kita memang akan menanam pohon sengon. ini kebun milik kalian, Burlian, Pukat. dan esok lusa pohon-pohon sengon ini juga akan menjadi milik kalian.... kalian lihat, Bapak sengaja tidak mengurus kebun ini lagi, membiarkan semak belukar tumbuh, karena dua puluh tahun lagi, di sela-sela semak belukar ini, akan tumbuh menjulang tinggi puluhan sengon raksasa. dua puluh tahun lagi saat kalian sudah besar, saat kalian mungkin tertarik membangun rumah di kampung kita, pohon-pohon ini siap untuk dipergunakan."
kami menatap bapak terpesona, mulai mengerti.
"Begitu juga sekolah, Burlian, Pukat. sama seperti menanam pohon... pohon masa depan kalian. semakin banyak ditanam, semakin baik dipelihara, maka pohonnya semakin tinggi menjulang. dia akan menetukan hasil apa yang kalian petik di masa depan, menentukan seberapa baik kalian akan menghadapi kehidupan. kalian tidak mau seperti bapak, bukan? tidak sekolah, tidak berpendidikan, tidak punya pohon raksasa yang dari pucuknya kalian bisa melihat betapa luas dunia. menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang banyak. kau akan memiliki kesempatan itu, Burlian, karena kau berbeda. sejak lahir kau memang suda spesial. juga kau Pukat, karena kau anak yang pintar."
Bapak tersenyum, lembut menyentuh lengan kami. aku dan Kak Pukat menelan ludah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar