Rabu, 10 November 2010

Rencana Tuhan Selalu Indah

            Pada suatu pagi, terlihat seorang cewek berkaos oblong dan bercelana jeans belel. Tak luput topi menyelimuti kepalanya. Stevi atau yang namanya Stevani ini berjalan dengan santainya.
            Akhirnya, dia sampai juga di sebuah rumah yang bisa dibilang besar. Dia langsung memencet bel. “TREET”. Tak lama Bi Ijah datang membukakan pintu.
            “Eh.. non! Di cariin tuan!” ucap Bi Ijah sopan.
            “Sekarang ada dimana Bi?” tanya Stevi ketus.
            “Ada dikamarnya non!”
            Stevi langsung pergi kekamarnya. Disana dia langsung memandang foto ibunya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Stevi terus memandang dengan tatapan sayu.
            “Mah, apa kabarnya hari ini? Stevi kangen sama mama. Mama kangen nggak sama Stevi? Mah, kenapa mama cepet banget perginya? Kenapa mama meninggalkan Stevi sendiri? Mah, sekarang papa berbeda dengan dulu. Setelah kepergian mama, papa menjadi seorang workholic. Stevi dianggap bukan anaknya lagi. Stevi...” dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Air matanya mengalir seperti anak sungai di kedua pipinya.
            Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk, “TTOOKK...TTOOKK...”. Stevi langsung menghapus air matanya dan segera berlari membuka pintu.
            “Kenapa, Bi?” tanya Stevi.
            “Maaf non! Non di panggil sama tuan. Katanya di suruh sarapan bareng!”
            “Nanti Stevi nyusul!” ucap Stevi sambil menutup pintu kamarnya.
            Dia langsung memasukan beberapa barang yang dibutuhkannya kedalam tasnya dan langsung menuju ruang makan.
            “Kamu mau kemana, Stev?” tanya ayah Stevi.
            “Pergi,” ucap Stevi datar.
            “Pergi kemana?”
            “Keluar!”
            “Mau keluar kemana? Kamu itu baru nyampe Stev, sebaiknya kamu istirahat aja,” usul ayah Stevi dengan suara lembut.
            Tanpa memperdulikan kata-kata ayahnya, Stevi langsung pergi keluar rumah. Dengan tampang datar.

Mungkin hari ini Stevi nggak berniat untuk kemana-mana. Buktinya dia nggak jelas pergi kemana arah tujuannya. Dia masih mengenang sang ibu. Sosok yang sangat dia sayangi melebihi apapun. Bahkan dirinya sendiri. Sebenarnya kalo dia bisa memilih, dia ingin pergi menggantikan ibunya.
Akhirnya dia sampai juga di sebuah taman. Taman yang rindang dengan pepohonan. Dia bersandar di sebuah bangku. Memejamkan mata, merenungi apa yang akan dia perbuat. dia mencari sesuatu di tasnya. Bungkusan putih berisi serbuk. Dia memakannya. Alamak jam, Stevi pecandu narkoba!!! Semenjak kepergian ibunya, Stevi merasa DOWN. Entah kenapa dia langsung melarikan diri ke narkoba.
Setelah puas menikmati, Stevi langsung pergi. Entah kemana. Dimana angin berhembus, disitulah Stevi berjalan.

Vira berkali-kali memencet nomer handphone Stevi. Tapi, nggak diangkat-angkat. Sudah ratusan kali dia mondar-mandir mengelilingi kamarnya. Tapi sayang, itu tidak membuat telfonnya menyambung dengan telfon Stevi, malahan bikin capek sendiri.
“Halo...” suara Stevi mengangkat HP-nya dengan suara agak parau.
“Stev, lo ada dimana?” sambar Vira.
“Ada di jalan emang kenapa?”
“Lo abis make ya?”
“Emang kenapa?”
“Loe nggak nyadar apa? Narkoba itu.....”
“Gue tau! Lo nggak usah ceramahin gue gitu!” potong Stevi cepat.
“Stev.... gue cuma pingin lo nggak make lagi!” ucap Vira lembut.
“Udahlah Vir, lagi pula bukan elo yang rugi ini!” ucap Stevi sinis. “Lo nelpon gue kenapa?”
“Nggak! Cuma pingin mastiin, kalo lo baik-baik aja!”
“O....”
“Kok cuma o...?” tanya Vira agak marah.
“Trus mau lo gimana? Bilang makasih? Kebagusan amat!”
“Ya... setidaknya!”
“Trus?” tanya Stevi lagi.
“Trus apaan?”
“Trus, kenapa elo nelfon gue?”
“Ya.... cuma pingin nanya itu aja!”
“Ngabisin pulsa lo!”
“Biarin aja! E... udah dulu ya! Gue mau belajar dulu!”
“Tumben amat lo belajar!”
“Kewajiban, Oncom!”
“Bye...”
Akhirnya pembicaraan lewat teleponpun berakhir. Stevi melanjutkan berjalannya. Pandangannya lurus, tajam dan kosong. Angin yang menerpanya, bukan lagi hambatan. Kadang, tangannya mengusap hidungnya. Ya... sehabis memakai narkoba, kebanyakan orang menjadi beler.

Stevi berjalan menyusuri trotoar. Tak sengaja dia menabrak seorang cewek. Cewek itu berjilbab, pakainnya tertutup dan membawa buku seabrek.
“Maaf...!” ucap cewek berjilbab itu dan tak lupa seutas senyum.
Stevi hanya terdiam. Dia membantu membereskan buku yang berserakan.
“Maaf ya...! kamu nggak apa-apakan?’ tanyanya lagi.
“Ng...nggak kok!” ucap Stevi tergagap.
“Kalo nggak apa-apa! Aku duluan ya!” pamit cewek itu dan tak luput seutas senyum.
Stevi hanya bisa terdiam. Dia tidak tau harus berbuat apa. Sosok itu seperti sosok yang sangat dirindukannya. Sosok yang telah pergi menghadap kehadiran-Nya terlebih dahulu. Ya.... itu persis seperti ibunya. Stevi langsung berjalan. Menyusuri jalanan yang ramai.

Di sebuah panti rehabilitasi. Nadia (cewek berjilbab itu) berjalan menyusuri pepohonan yang rindang. Nadia adalah sukarelawati. Banyak anak pecandu narkoba disini. Hampir semua anak, memang sudah parah. Maksudnya, sudah berlebihan tapi, nggak OD (over dosis). Ada juga yang masih tahap menengah. Bagi Nadia, inilah dunianya. Walaupun dia bukan seorang Junckie(Orang yang ngegunain narkoba) ataupun ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Tapi, hatinya tergerak untuk memasuki dunia ini. Dunia yang mungkin banyak ditakuti oleh banyak orang. Tapi, inilah Nadia.
Di kursi taman yang di penuhi oleh pepohonan, Nadia duduk. Angin semilir, menghiasi taman itu. Nggak banyak orang yang berlalu lalang. Hanya segelintir orang. Itu pun, para sukarelawan atau sukarelawati yang berada di panti. Ada juga para penghuni panti yang lain dan tak bukan adalah Junkie.
“Nad, kamu nggak pulang?” tanya seorang cewek berkacamata.
“Nggak, aku masih mau disini! Kamu kenapa nggak pulang, Dris?” tanya Nadia balik.
“Nggak ada orang di rumah!” jawab Indris.
“Giamana anak panti? Katanya, banyak yang suka sama kamu ya?” Nadia menggoda.
“Biasa aja. Alhamdulilah, mereka udah banyak yang nyadar dan udah insaf. Kamu sendiri?”
“Aku sih biasa aja! Nggak ada yang istimewa. Ya... menghadapi mereka pada saat sakaw. Mendengarkan curhatan mereka dan banyak lagi!” ucap Nadia bersemangat.
“Nad, kenapa kamu mau menjadi sukarelawati?” tanya Indris tiba-tiba. Nadia nampak terkejut. Tak menyangka akan di tanya seperti itu. “Halo.. kamu masih disana?” tanya Indris sambil melambaikan tangannya.
“O... maaf! Tadi kamu nanya apa?” tanya Nadia yang kayak baru sadar dari alam bawah sadarnya.
“Kenapa kamu mau jadi sukarelawati?” tanya Indris sambil setengah berteriak.
“Ya... karena....” Nadia sibuk berfikir.
“Karena apa?” Indris tak sabar.
“Ya.... karena Allah!” ucap Nadia akhirnya.
“Allah?” ucap Indris tak percaya.
“Ya... karena Allah. Aku tercipta disini, karena Allah menciptakan ibu dan ayahku. Aku berada disini juga karena, Allah memberi jalan kesini padaku. Aku menjadi sukarelawan, karena Allah memberikan jalan itu padaku, karena Allah menghendakiku,” ucap Nadia panjang lebar.
“Itu jawaban kamu?” Indris tak percaya.
Nadia mengangguk pasti. “Emang kamu mau jawaban apa dariku?”
“Kirain, karena saudara kamu ada yang meninggal karena OD. Trus kamu ingin menyelamatkan para Junkie yang sudah terlibat untuk insyaf. Atau, karena ada kecengan kamu yang ada disini.”
Nadia hanya tersenyum. “Mereka semua adalah saudaraku!” ucap Nadia sambil tersenyum. Indris mengerutkan keningnya. “Sesama manusia apalagi muslim adalah saudara. Jadi, kalo kamu ngira jawaban kamu gitu, emang aku ingin menolong mereka, karena mereka semua adalah saudara ku. Saudara satu tuhan,” jelas Nadia panjang lebar.
“Kamu tuh bakatnya diceramah deh!” ucap Indris asal.
“Emang kenapa?” tanya Nadia bingung.
“Abis kalo ngasih jawaban kayak berdakwah aja!”
“Itulah aku!” ucap Nadia sambil meneruskan membaca.

“HHUUAAHH” pagi yang cerah untuk mengawali hari yang baru. Pagi hari ini Stevi tidak merencanakan kemana-mana. Yah... palingan juga main-main sama teman-temannya. Atau nggak jalan-jalan. Cuma itu yang bisa Stevi jalani. Kadang menikmati harumnya narkoba. Dia menikmati sebagai pengguna.
Stevi berpakaian seperti biasa. Kaos oblong gombrang dan celana sket. Tak luput, topi menghiasi kepalanya. Dia bergegas keluar rumah memakai tas hitam yang digendongnya. Dia cepat-cepat bergegas. Hidungnya yang meler pun diusap berkali-kali. Bi Ijah yang lagi nyapu halaman pun kaget.
“Pagi-pagi gini, non mau kemana?” tanya Bi Ijah santun.
“Mau keluar, Bi! Kalo papa nanya pergi kemana, bilang aja ke rumah temen!” perintah Stevi.
“Baik, Non!’ jawab Bi Ijah sambil membukakan pintu.
Stevi mulai berjalan. Dia menggigil seperti orang kedinginan, dan hidungnya berkali-kali di usap.

“TTRREETTT....TTRREETT....TTRREEET.....” getar handphone Vira. Vira yang baru mandi segera melihat ke arah handphonenya. Di LCD terlihat nama “STEVI”. Dan dia langsung mengangkatnya.
“Halo!” sapa Vira.
“Halo, Vir! Loe sekarang ada di rumahkan?” tanya Stevi.
“Iya ada! Emang kenapa?”
“Gue kerumah elo ya!”
“Boleh... boleh....! Tapi, ingat! Lo jangan bawa barang haram itu ke rumah gue!” ancam Vira.
“Tenang aja!” jawab Stevi tenang.
Pembicaraan lewat telepon berakhir. Stevi berjalan menuju rumah Vira. Tiba-tiba seorang cewek berjilbab menabraknya. Cewek itu adalah cewek yang menabrak Stevi kemarin, Nadia.
“E.... maaf ya!” ujar Nadia.
“Nggak apa-apa kok!” jawab Stevi.
“Kamu kan yang aku tabrak kemarin?” ucap Nadia sambil mengingat-ingat wajah Stevi.
“I...iya!” jawab Stevi gugup.
“Benerkan! Nama kamu siapa?”
“Stevani, panggil aja dengan Stevi”
“O... Stevani, kalo aku Nadia. Panggil aja Nad atau dipanggil dengan hai juga nengok” ucap Nadia memperkenalkan diri.
Stevi hanya tersenyum, sebenarnya sih nggak senyum, tapi, senyum (Gimana ya ngejelasinnya?).
“Kamu mau kemana?” tanya Nadia mencairkan kebekuan suasana.
“Nggak tau!” ucap Stevi datar.
“O... gitu!” ucap Nadia. Setelah mengemasi barangnya, Nadia pergi pamit. “Aku duluan ya!”
“Tunggu, lo mau kemana?” tanya Stevi yang langsung menahan tangan Nadia.
“Aku mau pergi!” ucap Nadia polos.
“Mau pergi kemana?” cecar Stevi.
“Ke panti!” ucap Nadia singkat. Kening Stevi mengerut. “Panti Rehabilitasi! Kamu mau ikut?” ajak Nadia. Stevi mengangguk.
Dan merekapun berjalan menuju panti.

Vira berkali-kali memencet nomor Stevi lewat handphonenya. Tapi, nggak diangkat-angkat. Dia sudah menelpon rumahnya, tapi kata Bi Ijah, Stevi sudah pergi pagi-pagi. Masa pergi pagi-pagi, sekarang belom sampai juga sih! Wajah Vira menyiratkan kekhawatiran yang sangat amat nian banget. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya. Keringat dingin mulai mengucur dari kulitnya, jantungnya berdegup kencang, saking kencangnya malah melebihi detak detik jam dikamarnya.
Akhirnya, dia pasrah juga. Dia nyerah, dia nggak sanggup lagi menelpon Stevi yang entah keberadaannya dimana. Vira tertunduk lesu dia atas kursi dikamarnya. Dia hanya bisa berdo’a, supaya Stevi baik-baik saja.

Stevi dan Nadia sampai di Panti Rehabilitasi. Tempatnya lumayan gede. Nadia langsung menunjukan kamar-kamar para Junckie, tempat beribadah, tempat dimana penanganan sakaw dan banyak lagi. Ternyata Nadia nggak tau, kalo Stevi itu termasuk pengguna.
“Stev, aku boleh nanya nggak?” tanya Nadia ragu-ragu.
“Apa, Nad?” tanya Stevi balik.
“Apa kamu seorang Junckie?” tanya Nadia menjurus.
Stevi hanya bisa diam. Kepalanya tertunduk lesu. Entah apa yang harus ia katakan. Tangannya semakin erat memegangi tubuhnya yang menggigil, padahal udara di sana nggak begitu dingin. Hidungnya terus dia usap.
“Helo... Stev! Jawab aku!” pinta Nadia.
“Dari mana elo tau?’ Stevi malah nanya balik.
“Dari sikap kamu. Sebenanya kamu dari tadi mau mengerang kan? Tapi kamu tahan. Dan saat di tempat penanganan orang sakaw, sebenarnya kamu mau mengkonsumsinya kan? Dan dari sikap kamu yang selalu menggigil dan hidungmu yang beler,” jelas Nadia. Ternyata nadia adalah seorang pemerhati yang baik.
“O... gitu, bagus kalo kamu cepat sadar!” suara Stevi semakin nggak jelas.
Tanpa di ketahui Stevi, Nadia memberi kode kepada Indris dan Radit untuk segera mendekat. Dan dengan tiba-tiba, Stevi mulai memberontak. Dia mengerang-ngerang menahan sakit. Dengan segera Radit dan Indris segera menahannya.
“Stev, sekarang kamu pilih. Narkoba atau Al-Qur’an?” tanya Nadia tajam sambil membawa bungkusan putaw disebelah kiri dan Al-Qur’an di sebelah kanan.
Stevi langsung menatap dua benda yang disodorkan Nadia dengan nanar. Dia semakin berontak. Tapi, Indris dan Radit semakin erat menahannya.
“Stev, ingatlah Tuhan! Ingatlah siapa yang menciptakan kamu? Ingat, Stev! Ingat!” ucap Nadia.
Stevi hanya tertunduk. Dia ingin sakit dalam tubuhnya hilang. Tapi, dirinya juga ingin mengambil Al-Qur’an. Memang keputusan yang sulit.
“Ikutilah hati nurani kamu, Stev!” ucap Nadia dengan nada melembut. “Tuhan akan memaafkanmu, selagi kamu mau bertobat!”
Tiba-tiba air matanya mengalir. Dan tangannya mengambil Al-Qur’an. Ya... Qur’an, benda yang harus dia pegang, yang harus dia baca dan yang harus lainnya. Kini, Stevi akan merubah jalannya sendiri. Dia akan berjalan dengan tujuan, tidak seperti hari-harinya yang terdahulu, berjalan tanpa tujuan.

Udah beberapa hari ini Stevi tidak pulang. Ayahnya sangat khawatir, dia telah menghubungi Vira, teman dekat Stevi. Tapi dia juga tidak tau. Dia sudah mencari kemana-mana. Tapi, tak kunjung jua berita tentang anaknya terdengar. Dia duduk di kursi tamu. Fikirannya melayang entah kemana. Dia teringat akan istrinya. Dan lama-kelamaan, matanya mulai terpejam.

Stevi mulai pulih kembali. Walaupun itu masih berjalan lamban. Nadia sudah bisa bernafas lega. Begitupun Radit dan Indris, mereka pun ikut senang. Nadia sudah menghubungi Vira kemarin. Dan mungkin sekarang orang tuanya sudah tau.
Stevi duduk di kursi taman panti. Ditemani angin yang sepoi. Dari belakang seperti ada yang memegang pundaknya. Dia pun terperanjat kaget. Tidak menyangka, itu adalah ayahnya. Stevi sempat marah, kesel dan.... pokoknya marah. Tapi, nggak dia pungkiri, kalo dia rindu sosok ayahnya.
“Stev, kamu nggak apa-apa kan?” tanya papanya lembut.
“Kalo, Stevi kenapa-napa juga papa nggak akan pernah perduli!” jawab Stevi ketus. Walaupun dia udah berangsur pulih. Tapi, dia belum bisa menerima ayahnya kembali. Rasa amarah yang terpendam sejak ibunya meninggal belum padam, malah makin membara.
“Stev, papa sayang sama kamu!” ucapnya lembut.
“Papa sayang sama Stevi?” ucapnya ragu sambil tersenyum sinis. “Apa buktinya, kalo papa sayang sama Stevi? Papa nggak pernah memperhatikan Stevi, papa nggak pernah ada waktu luang buat Stevi. Papa sudah menjadi Workholic. Papa udah di perbudak!” ucap Stevi marah.
“Tapi....”
“Tapi apa, pa? Dimana papa berada, waktu Stevi sakit? Dimana waktu papa berada, saat Stevi merindukan papa? Dan dimana papa berada, saat Stevi membutuhkan papa? Dimana, Pa? dimana?”
Amarah Stevi tidak dapat terbendung. Emosinya meluap begitu saja. Air matanya, mengalir deras dipipinya. Semua amarah, semua emosi dan semua lainnya sudah bertumpah ruah.
Stevi meninggalkan papanya yang masih mematung beku. Pergi jauh sampai hilang dari hadapan.

Sudah tiga hari berlalu dari insiden ayah dan anak itu. Stevi sudah tenang. Walaupun masih ada yang mengganjal dihatinya. Nadia yang menenangkannya.
“Stev, kenapa kamu nggak nemuin ayah kamu?” tanya Nadia pelan dan ragu. Stevi hanya terdiam. “Nggak baik loh, marah sama orang tua!” bujuk Nadia lagi.
Lagi-lagi, Stevi hanya bisa diam. Sebenarnya, dalam hatinya, ia ingin sekali meminta maaf atas sikapnya kemarin. Tapi, amarahnya belum juga reda.
“Stev, ada yang mau ketemu sama kamu!”
“Siapa?” tanya Stevi penasaran.
Nadia mempersilahkan tamu itu masuk. Dan ternyata,
“Vira....!” teriak Stevi histeris dan langsung memeluknya.
“Buset! Lo kangen ma gue ya?” goda Vira.
“Nggak! Biasa aja!” elak Stevi.
“Alllah... kagak usah ngelak gitu deh! Gue tau kok!” ejek Vira.
“Udah lah, lo mau ngapain kesini?” tanya Stevi mengalihkan pembicaraan.
“Kita jalan yuk!” ajaknya bersemangat.
“Kemana?” tanya Stevi heran.
“Udah ikut aja!”
Stevi melihat ke arah Nadia. Dan Nadia mengangguk setuju. Akhirnya, Stevi ikut Vira untuk berjalan-jalan.

Stevi dan Vira berjalan menyusuri taman yang hijau. Mereka duduk di bangku taman yang tersedia. Ditemani angin yang semilir menerpa wajah mereka.
“Stev, kemarin, asistan papa loe ke rumah gue!” ucap Vira ragu.
“Terus, dia ngapain?” tanya Stevi ketus. Sepertinya dia nggak mau ngebahas papanya sendiri.
“Lo jangan sinis gitu dulu donk!” bujuk Vira yang mengetahui gelagat Stevi yang nggak enak.
“Trus, gue harus gimana?”
“Dia nitip ini ke gue!” jawab Vira sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Apaan tuh?” tanya Stevi penasaran.
“Mana gue tau!” ucap Vira sambil mengangkat bahunya.
Akhirnya Stevi membuka bingkisan kecil tersebut. Terlihat liontin dan sepucuk surat. Stevi memandang Vira tajam. Vira hanya bisa mengangkat bahunya. Stevi membuka amplop kertas itu dan membaca sambil berdiri mondar-mandir.

Dear, Stevani sayang.
Mungkin, saat kamu terima surat ini, papa sudah pergi. Papa sengaja nggak memberitahukanmu. Karena, papa tau. Kamu masih marah sama papa. Lewat surat ini, papa minta kamu bisa menerima maaf papa. Papa akui, kalo papa salah. Papa nggak bisa menjadi orang tua yang baik. Papa nggak bisa memberi perhatian yang kamu inginkan. Papa tau, papa sudah di perbudak oleh pekerjaan papa. Tapi, cuma itu yang bisa papa lakukan buat kamu. Ingat Stev, papa akan selalu menyayangi kamu. Selalu.....
Papa

Tak terasa, air mata Stevi mengalir begitu saja. Dia menatap Vira dengan mata penuh air.
“Stev, pa...papa loe meninggal tadi malam!” ucap Vira terbata.
Stevi terlonjak kaget. Air matanya membasahi pipi. Dipegangnya surat itu dengan erat.
“Dia udah dua hari terkena serangan jantung. Dia nggak berani ngabarin elo karena...” Vira tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Takut tambah luka hatinya.
Stevi berlari dan terus berlari. Vira mengejarnya,
“Stev, tunggu!” teriak Vira keras.
Dan akhirnya, Stevi berhenti. Tapi, tangisnya tak kunjung henti. Dia terus menunduk dengan nafas yang terengah-engah.
“Stev, elo tenang dulu!” bujuk Vira. “Stev...”
“Vir, kenapa semua orang yang gue sayangin pergi. Dulu, mama gue diambil. Sekarang.......” Stevani tidak mampu meneruskan kata-katanya.
“Stev, lo harus kuat! Lo...” kalimat Vira di potong.
“Gue tau, gue emang banyak ngelakuin kesalahan. Tapi, mengapa saat gue mau berubah, semua telah pergi? Kenapa, Vir? Kenapa?” kini Stevi belutut, menangis. Dia tidak bisa menahan beban itu sendiri lagi.
“Stev, mungkin itu jalan Tuhan buat papa loe dan ibu loe. Tuhan telah menentukan jalan hidup loe yang lebih baik dari ini,” Vira membujuk.
“Walaupun gue harus kehilangan orang yang gw sayangi?” tanya Stevi ragu.
Vira hanya mengangguk yakin. “Stev, rencana Tuhan selalu indah!” ucap Vira menenangkan.
Kini wajah Stevi kembali tersenyum, walau di tengah duka yang menyelimutinya. Merekapun berjalan, menghadiri pemakaman papa Stevi. Memang rencana Tuhan akan selalu indah teruntuk umat yang beriman kepadanya. Walupun kita harus kehilangan orang yang kita sayangi dahulu.

Created on : August 23rd 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar