Rabu, 10 November 2010

Kita 'kan Selalu Bersama

“Akhirnya,” ucap seorang cewek yang baru saja turun dari angkot berwarna hijau setelah ia memandang ke sebuah rumah yang lumayan besar. Devany Klevny atau sebut saja dengan Deva ini berperawakan tinggi, agak gendut, berparas chubby dan berambut panjang. “Udah enam tahun gue ninggalin ni kota, tapi kok masih tetap aja ya?”
Deva langsung melangkahkan kakinya mendekati rumah itu. Rumah itu masih tetap sama seperti terakhir ia lihat, enam tahun lalu. Bedanya, kini cat temboknya berubah menjadi warna putih, putih salju. Deva pun langsung memencet bel rumah.
“BENTAR?!” teriak seseorang yang berada di dalam rumah. Deva sabar menunggu. “Maaf, mau cari siapa?” tanya seorang ibu-ibu yang keluar dari dalam rumah.
“Ibal nya ada?” tanya Deva menyebutkan satu nama.
“Den Dendra?” tanya ibu-ibu itu. Deva hanya mengangguk.
“Siapa, Bi?” tanya seorang cowok tinggi, berbadan proposional dan berambut cepak dari arah dalam rumah.
“Ini den, ada yang nyari aden,” kata bibi sambil menunjuk ke arah Deva dengan telunjuknya. Cowok itu pun mendekat.
“Deva?!” ucapnya terkejut.
“Ibaaaal?!” balas Deva sambil memeluk Ibal, Ibal pun melakukan hal yang sama.
“Lo kok nggak bilang-bilang kalo mau ke Bogor?” tanya Dendra Divnibal Klevy atau yang sering dipanggil Ibal, sambil melepaskan pelukannya.
“Kejutan?!” ucap Deva sambil nyengir.
“Dasar gila lo?!” ucap Ibal sambil menoyol kepala Deva. “Lo cuti?”
“Iya, gue cuti,” ucap Deva sambil duduk di ruang keluarga yang nyatu dengan ruang tamu. “Lo nggak kerja?”
“Gue Cuma ada meeting tadi, terus gue balik aja. Eh, taunya ada elo datang,” ucap Ibal sambil mengacak-acak rambut Deva.
“Rumah elo nggak berubah ya. Tetep gini-gini aja,” ucap Deva sambil memandang ke selubung rumah.
“Gue nggak mau ngapus kenangan gue sama rumah gue ini,” balas Ibal. “O iya, lo ada rangka apa ke sini?”
“Cuma mau jalan-jalan aja. Udah lama gue nggak pulkam,” ucap Deva.
“Den, kamarnya udah siap,” ucap bibi yang baru saja menuruni tangga.
“Lo istirahat aja dulu. Ntar ngobrol lagi,” ucap Ibal. Deva hanya mengangguk dan berjalan menuju lantai atas.

Deva nggak bisa memejamkan matanya. Dia terus memandangi foto yang dibuat enam tahun lalu. Ada tiga orang di foto itu. Deva dan kedua sahabatnya. Yang satu cewek dan yang cowok. Radhika Kemal dan Safni Naumal.
“Gue udah di Bogor. Apa lo udah berada di sini juga?” tanya Deva sambil mengelus foto itu. “Mungkin lo semua juga udah lupa sama janji kita,” ucap Deva pesimis.
Deva pun memandang ke arah luar. Hujan turun lagi di kota kecil ini. Deva berjalan mendekati jendela dan membuka jendela itu selebar-lebarnya. Ia biarkan air hujan membasahi dirinya. Ketenangan dan damai tiba-tiba menyelimuti dirinya.

“Hujan lagi,” ucap seorang cewek tinggi, proposional, berparas cantik dan berambut pendek sebahu. Safni Naumal atau sebut saja dengan Afni ini sedang berada di sebuah kafe dan duduk di pojokan. Matanya sayu memndangi air yang turun. Dia pun langsung membuka bukunya.
Tertempel sebuah foto. Foto dirinya dan sahabat-sahabatnya. Devany Klefny dan Radhika  Kemal. Matanya tertuju pada foto kedua sahabatnya itu.
“Enam tahun yang lalu, kita sama-sama ninggalin kota ini buat ngegapai cita-cita kita masing-masing. Dan sekarang, setelah enam tahun, gue kembali. Apa lo semua masih inget sama janji kita?” tanya Afni. Matanya terpejam. Mengenang kembali kejadian enam tahn lalu. I’ll wait you here, guys, ucap Afni dalam hati.
Afni pun beranjak keluar dari kafe itu. Hujan masih deras mengguyur. Dia berjalan diantara butir hujan yang turun. Menembus jalanan yang sepi, karena orang-orang malas untuk berpergian. Dia memegang erat tasnya yang berisi kenangan-kenangan indah yang tak pernah ia lupakan.

Lampu merah menyala di pertigaan Tugu Kujang. Macet. Banyak oerang-orang yang lalu lalang tanpa memperhatikan lampu merah. Dan angkot pun masih berjubel. Terlihat seorang cowok yang sedang menikmati hujan dari dalam mobil Strada hitamnya.
Radhika Kemal, atau panggil saja Dhika. Cowok berperawakan seperti Ibal, namun rambut Dhika dibuat spikey. Dan rambut itu pun cocok dengan parasnya yang tampan namun ugal-ugalan.
Kini, lampu hijau pun menyala. Namun perlu waktu sampai lima detik atau mungkin sampai tigapuluh detik untuk memajukan mobilnya. Kini lampu merah sudah nyala lagi. Dan Dhika menginjak remnya kembali.
Dia pun memandangi bingkai foto yang memang sengaja ia pasang di mobilnya itu. Terlihat sebuah foto dengan tiga orang di dalamnya. Fotonya dan sahabat-sahabatnya. Devany Klevy dan Safni Naumal. Dhika pun tersenyum.
“Gue kembali hari ini, tepat pada saat hujan mengguyur kota ini,” uacp Dhika sambil memandangi foto sahabatnya itu. “Apa lo semua udah pada kembali?” tanyanya ragu. Dhika melemparkan pandangannya ke arah luar. Melihat orang-orang dengan payungnya menyebrang dan berburu angkot. Senyuman tipis mengulas bibirnya. Pikirannya melayang, mengenang masa-masa yang pernah ia lewati.
“Dari sini kita mulai, dari sini kita berpisah dan dari sini kita kembali,” ucapan Dhika, Deva dan Afni pada sewaktu mereka berpisah terdengar jelas di kuping Dhika.
“Dan gue kembali.”

Bogor, enam tahun lalu.

Tiga bocah SMA kelas satu sedang berkumpul di bawah pohon mahoni di tengah padang ilalang. Deva, Dhika dan Afni. Tiga sahabat yang sudah lama mengenal sejak TK. Kini, mereka kembali pada kebiasaan mereka. Berkumpul di bawah pohon mahoni di atas bukit sambil melihat arakan awan di layar biru ciptaan-Nya.
“Gue udah diterima di sekolah lain di Bandung,” ucap Afni sambil tidur terlentang menikmati tontonannya diteduhi pohon mahoni yang rindang.
“Gue juga udah diterima di sekolah lain di Jokja,” balas Deva yang berada di sebelah Afni. “Lo Dhik?”
“Gue juga. Gue udah di terima di sekolah lain di Surabaya,” ucap Dhika yang duduk di atas akar pohon yang muncul dari tanah.
“Jadi?” tanya Afni bangkit dari tidurnya.
“Ini saatnya untuk kita buat jalan sendiri,” balas Deva mengikuti langkah Afni.
“Kita berpisah?” ucap Afni hampir tak terdengar.
“Untuk sementara,” ucap Dhika mendekati dua sahabatnya itu. “Setelah kita menggapai apa yang kita cari dan apa yang kita inginkan.”
“Harus ya kita mengambi langkah ini?” tanya Deva ragu.
“Kita harus melakukan itu Dev. Kita harus berjalan di atas kaki kita sendiri. Tanpa orang-orang yang kita sebut sebagai sahabat. Kita harus berani keluar dari zona aman kita,” balas Dhika.
“Dan menggapai apa yang kita cari?!” ucap Afni bersemangat, namun nadanya sedih.
“Dan setelah kita mendapatkn apa yang kita cari, kita kan berkumpul di sini kembali,” ucap Deva dengan senyuman sedih.
“Karena dari sini kita mulai, dari sini kita berpisah dan dari sini kita kembali,” ucap Dhika, Deva dan Afni berbarengan. Dan senyum menghiasi bibir mereka.
“Inget, kita akan selalu bersama,” ucap Afni sambil merangkul kedua sahabatnya.
“Dan senyum elo semua bakal gue simpen, di sini,” ucap Dhika sambil menunjuk dadanya. “Di hati gue.”
“Gue juga,” ucap Deva. “Senyum elo semua bakal gue simpen. Di hati gue.”
It’s time to go,” ucap Afni mengeratkan rangkulannya.
Mereka pun melepaskan rangkulannya. Deva dan Afni menghapus air mata yang menghiasi pipinya. Menarik nafas, menenangkan emosinya. Mereka langsung berpegangan tangan, membuat lingkarang atau segitiga?
“Kita harus bisa dan pasti bisa,” ucap Dhika menyemangati. Deva dan Afni langsung mengangguk, setuju.
Akhirnya mereka membalikan badan mereka. Saling membelakangi. Menatap padang ilalang yang sepi dan luas. Gejolak emosi kembali beriak. Berharap, hal ini tidak akan terjadi dan tidak akan pernah. Namun sayang, hal ini akan terjadi dan pasti terjadi.
“Kita mulai?” tanya Dhika. Meragukan akan keinginannya.
Dhika melangkahkan kakinya. Langkah pertama. Emosinya semakin meyeruak. Tangannya yang dikepal, gemetar. Ia menarik nafas, menenangkan emosinya. Deva pun langsung mengikuti langkah Dhika. Deva pun langsung melangkahkan kakinya. Berat. Sangat berat. Tubuhnya bergetar. Dan terakhir, Afni melangkahkan kakinya dengan berat. Langkahnya yang pertama. Isak tangis mulai meyeruak. Deva yang tak tega, ingin rasanya menenangkan Afni.
“Jangan ada yang membalikan badan?!” ucap Dhika tegas namun suaranya bergetar.
Deva pun langsung mengurungkan niatnya. Dan menatap ke padang ilalang yang terhampar luas di kaki bukit. Dhika melangkakan kakinya lagi. Kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai kaki bukit. Begitupun Deva dan Afni.
Kini mereka bertiga berada di kaki bukit di arah yang berbeda. Mereka membalikan badannya, menatap bukit berujung pohon mahoni. Pandangan mereka tertuju pada pohon itu. Pohon yanh telah menmani mereka selama ini.
“Gue bakal nyimpen senyuman elo semua, di hati gue,” ucap mereka bertiga di tempat mereka masing-masing. “Buat nemanin gue di saat matahari nggak bersinar buat gue. Buat nemenin gue tersenyum kembali.”
“DAN KITA AKAN SELALU BERSAMA?!” teriak mereka bertiga.

Bogor, kini.

Bogor kini tak hujan. Matahari menyinari hangat. Sehangat apa yang Deva inginkan. Kini dirinya berada di padang ilalang. Padang ilalang yang tak pernah ia lupakan sampai saat ini. Dia melangkahkan kakinya menyusuri padang itu. Menuju tempat ia datang, berpisah dan kembali. Satu tempat yang pasti selalu ia ingat. Bukit mahoni, begitu ia dan teman-temannya biasa memanggil tempat itu. Langkahnya pasti. Tenang.

Dhika memarkirkan mobilnya tepat di jalan raya di pinggir padang ilalang. Pandangannya kini tertuju pada satu bukit. Sepertinya masih sama, namun keadaannya lah yang berubah. Padang ilalang masih sama seperti dulu, hanya saja, ilalangnya semakin tinggi. Dhika melangkah masuk ke dalam padang. Menuju satu tempat.

“Untung nggak hujan, jadi gue bisa sampe tempat ini,” ucap Afni sambil berjalan di tengah padang ilalang dan tak lupa. Sebuah notebook yang selalu ia bawa kemana-mana. Dia berjalan menuju satu tempat. Tempat yang selalu ia kunjungi, namun ia tak berani. Karena takut akan bertemu salah satu diantara mereka. Namun sekarang, ia sudah belajar, belajar untuk berani.

Kini mereka bertiga berada di kaki bukit. Langkah mereka terhenti sejenak. Pandangannya tertuju pada satu, pohon mahoni yang berada di puncak bukit.
“Dari sini kita mulai, dari sini kita berpisah dan dari sini kita kembali,” ucapan itu terngiang terus di kuping mereka bertiga.
Merekapun melangkah pasti, menaiki bukit kecil itu. Berharp, semua kenangan itu kembali datang, kembali nyata dan orang-orang yang mereka harap, akan datang bersamaan dengan kehdiran mereka.
Akhirnya, Dhika sampai duluan di atas bukit. Dia langsung berjalan menuju ke bawah pohon mahoni yang sekarang sudah nampak sangat tua, namun masih sangat gagah. Dia pun langsung duduk di atas akar yang muncul.
“DHIKA?!” teriak seorang cewek dari pingiran puncak bukit. Dhika pun langsung mencari asal suara. Terlihat seorang cewek sedang berjalan menuju pohon mahoni. Dhika tersenyum. Senyum bahagia yang seakan baru mendapatkan dua milyar.
“DEVA?!” teriaknya balik. Dhika pun langsung berlari menghampiri Deva. Deva hanya tersenyum. “Elo berubah,” ucap Dhika terpana.
“Makasih,” ucap Deva tersipu malu. Dan langsung memeluk Dhika. “Gue kangen sama elo.”
“Gue juga,” ucap Dhika sambil membalas pelukan Deva dengan erat. Erat banget.
“Dan elo juga nampak berbeda,” ucap Deva sambil melepaskan pelukannya. Dhika hanya menatap mata Deva. “Lebih terlihat bengal,” ucap Deva sambil menoyol kepala Dhika.
“Sial lo?!” ucap Dhika sambil mengacak-ngacak rambut Deva yang panjang. “Lo juga terlihat lebih...” Dhika terpana sesaat. “Cantik.”
Deva tertawa sambil menonjok lengan Dhika. “Sejak kapan lo bisa ngegombalin sahabat lo sendiri?” tanyanya. Dhika hanya tersenyum, senyum yang sangat tipis.
“DHIKA, DEVA?!” teriak seorang cewek dari sisi lain di puncak bukit, Afni.
“Afni?” ucap mereka berdua kaget.
Afni pun langsung berlari ke arah mereka berdua. Namun,
“BRRRAAAAAKKKK?!” suara Afni terjatuh.
“AFNI?!” teriak Dhika dan Deva berbarengan. Mereka pun langsung berlari ke arah Afni.
“Lo nggak apa-apa, Ni?” tanya Deva sambil membantu Afni bangun.
“Nggak apa-apa kok, Dev?!” balas Afni sambil membersihkan celananya dari debu. “Gue cuma kesandung.”
“Ni, ceroboh lo nggak ilang-ilang ya sejak kecil?” tanya Dhika bingung.
“Enak aja lo,” ucap Afni nggak terima. “Gue kan tadi buru-buru, mau nyamperin lo berdua. Terus gue nggak liat ada batu segede itu, ya udah, gue jatuh.”
“Lemot lo juga nggak kurang, Ni?!” ucap Dhika. “Apa bener ya, ceroboh ma lemot itu bisa kebawa sampai gede?”
“Sial lo. Ya nggak lah?!” ucap Afni nggak terima. Dhika dan Deva langsung tertawa.
“Ini notebook lo?” tanya Dhika sambil membuka halaman pertama. Pandangannya tertuju pada foto yang terpampang. Foto mereka bertiga. “Foto ini...” Dhika tidak meneruskan perkataanya dan langsung mengarahkan notebook itu ke arah Deva dan Afni.
“Itu foto kita yang kita ambil waktu ulang tahun Deva, gue selalu masang itu foto di notebook gue. Karena gue nggak bisa inget senyum elo semua, jadi gue tempel di notebook gue, di kamar gue dan di segala tempat kalo gue lagi sedih,” ucap Afni polos. “Karena dengan kayak gitu, gue bisa lihat senyum elo semua. Dan senyum itu gue anggap matahari ‘lain’ yang menyinari gue, di saat matahari nggak bersinar buat gue.”
Deva dan Dhika langsung refleks memeluk Afni. Afni langsung terisak.
“Gue kangen elo semua,” ucapnya sambil membalas pelukan dari kedua sahabatnya.
“Gue juga kangen sama elo kok, Af?!” balas Dhika dan Deva berbarengan.
“Kita akan selalu bersama?” tanya Afni melepaskan pelukannya. Deva dan Dhika pun langsung mengangguk. Dan merekapun tersenyum. Senyum yang sangat mereka ingin lakukan bersama.


Di saat engkau tak tersenyum... Dan saat engkau tak bersinar... Pastikan aku ada di hatimu... Dan ingatlah akan senyumku... Rasakan hangatnya sinarku... Sahabat, kita kan selalu bersama...
                                                                     [Kita kan selalu bersama (sahabat) – Rio Febrian]
  
Created on : July, 26th 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar