Rabu, 10 November 2010

Kaulah Yang Terindah

Terlihat seorang cewek melintas lorong kelas yang ramai dengan anak-anak memakai baju putih abu-abu. Cewek itu berambut panjang sebahu dan dikuncir kuda, pakaiannya agak berantakan dan di pergelangan tangannya ada satu gelang etnik.
Tamara atau yang sering dipanggil Mara sama teman-temannya ini, seorang cewek tomboi yang supel, gila, briliant brain dan easy going. Hampir satu sekolah kenal sama dia.
Mara berjalan pelan ke arah kelasnya yang nggak jauh lagi. Pada jam sekarang, lagi nggak ada guru di kelas. Sebenarnya, di kasih tugas sama guru piket. Tapi, biasalah, mereka pada malas, termasuk Mara.
Di kelas penuh dengan keributan. Ada yang ngobrol, ada yang nyanyi nggak karuan, ada yang ngegossip, ada juga yang lagi main game di handphonenya.
Mara berjalan menuju bangkunya yang terletak di pojok belakang. Tempat ini strategis banget buat anak-anak sekolah. Udah di belakang, pojok lagi, siapa sih yang nggak mau duduk disini? Kalo nyontek nggak ketahuan(Oops! Sory...), kalo lagi ngemil apalagi! Now, come back to Mara. Sesampainya di bangku, Mara langsung mengeluarkan sebuah novel yang baru dipinjamnya di perpus. Dan dengan sekejap, Mara langsung serius dengan novelnya.
“Mara!” teriak seorang cewek dari depan. Cewek itu berambut panjan bak Tiara sunsilk. Rambutnya yang tergerai semakin indah saat dia berlari. Yanka atau yang dipanggil Anka adalah namanya. “Mara! Honeyboney sweetie, cantik, manis, pintar dan sagala! Pinjemin gue PR Matematik donk!” teriaknya lagi dengan tampang memohon.
“Elo sih pertamanya muji! Akhirnya....”
“Mar! Please, gue lupa ngerjain PR nya. Ayolah! My Honey!”
“Ini! Tapi kalo salah, jangan salahin gue!” ucap Mara sambil menyodorkan buku yang bersampul cokelat dengan tulisan MATEMATIKA.
“Makasih, Honey! You are my best friend! Ngomong-ngomong, nanti ada waktu nggak?” tanya Anka.
“Emang kenapa?”
“Gue ada sesuatu yang berurusan dan ada kaitannya dengan elo!”
“Sama gue? Emang kenapa?”
“Ada deh!” ucap Anka sambil ngeloyor pergi.
Mara hendak mengejar Anka. Tapi, guru pelajaran selanjutnya udah keburu datang. Terpaksa, Mara duduk kembali di kursinya.

Usai pelajaran Mara langsung keluar kelas. “BBRRUUKK...” nggak sengaja Mara menabrak seorang cowok tinggi, berambut cepak dan ada Handband di pergelangan tangannya. Renaldo atau yang sering di panggil Aldo adalah nama cowok itu.
“Hai, Mar!” sapa Aldo.
“Hai, Al!” balas Mara. “Elo liat Anka nggak?”
“Emang kenapa? Kok gelisah gitu?”
“Gimana nggak gelisah? Katanya nanti ada yang mau di omongin sama gue! Trus katanya ada sangkut pautnya sama gue! Kan bisa gawat tuh!”
“Sangkut paut sama elo?” tanya Aldo bingung, tapi ada senyum di bibirnya.
“Yoa! Gue takut banget nih!”
“Elo nggak usah takut gitu! Elo pasti baik-baik aja kok! “ ucap Aldo menenangkan Mara.
Mara memincingkan matanya, “Elo yakin banget!”
“Udahlah! Yuk ke kantin, gue udah laper nih!” ajak Aldo. Mara hanya mengikutinya dari belakang.

Waktu istirahat udah abis dari setengah jam yang lalu. Mara udah ada lagi di bangkunya. Semenjak istirahat, dia tidak bertemu sama Anka. Padahal dia penasaran banget sama berita yang dibawa Anka.
Sekarang pelajaran FISIKA. Setidaknya nggak ada ulangan hari ini. Ya... bisa santai lah. Tapi, banyak banget tugasnya. Mulai dari LKS, tugas praktek dan macam sebagainya.
Mara masih sibuk dengan itung-itunganya saat Anka melewati kelasnya. Mara masih harus ngerjain tiga lembar lagi sebelum pulang. Ya... setidaknya, otaknya nggak bego-bego amat. Jadi, bisa dikerjain beberapa menit aja.
“KRRIINNGG....” suara yang sangat diidamkan oleh banyak murid. Mara langsung ngibrit lari keluar kelas. Dia menaiki tangga ke lantai dua dan langsung menuju kekelas Anka. Tapi, sayang Anka udah cabut duluan. Mara melirik ke arah papan tulis.
Dan di Blackboard tertulis,
Dear, Mara Honey.
Mara,, sory gue duluan. Tapi, kalo elo masih penasaran sama gue! Elo kekelas  elo aja! Disana ada clue kok. Tapi, kalo nggak, juga nggak apa-apa kok! Lagi pula yang rugi juga bukan gue!
Anka nu cAnTik Tea....
“SSSIIAALLAANN!” teriak Mara. Dia langsung menuruni tangga lagi untuk menuju kelasnya. Kenapa sih si Anka? Make kayak ginian segala! Ucapnya dalam hati.
Akhirnya dia sampai juga di kelasnya. Tapi nggak ada siapa-siapa disana. Tapi, ada sesuatu yang janggal disana. Di bangkunya ada serangkaian mawar putih dan sebuah surat. Buru-buru Mara menghampiri. Dia langsung mencium mawar dan langsung membuka surat.
Dear, Mara
Kalo elo masih penasaran, elo ke lantai paling atas gedung ini. Elo akan menerima sesuatu yang sangat mengejutkan. Kalo elo udah nggak penasaran lagi, ya.. udah. Bye...
Mara membolak-balik amplop surat itu. Tapi, nggak ada nama pengirimnya. Apalagi di tambah kiriman mawar putih. Siapa ya kira-kira?
Dengan langkah yang agak malas, Mara menuju lantai empat. Lantai ini nggak ada satu ruang kelas. Hanya hamparan beton sebagai atap. Kalo Mara lagi BT atau kesel. Dia seneng banget kesini.
Mara udah sampai di lantai paling atas itu. Di sana ada meja penuh makanan dan minuman. Dan satu lagi, ada mawar putih. Mara mendekati meja itu.
“KKEEJJUUTTAANN!” teriak beberapa anak dari belakang Mara. “SELAMAT ULANG TAHUN MARA!”
Mara kaget bukan main. Dia sampai terbengong-bengong melihat beberapa anak yang dikenalnya mengucapkan selamat ulang tahun.
“Mara honey! Selamat ulang tahun ya!” ucap Anka. Mara hanya bisa tersenyum.
“Selamat ulang tahun ya!” ucap Aldo sambil tersenyum.
“Makasih ya, Do!” balas Mara. “Do! Emang sekarang ulang tahun gue?” tanyanya ragu.
“Ya iyalah!”
“Emang sekarang tanggal berapa?”
“18 Maret o’on!”
“Hah! Yang bener!”
“Emang elo nggak nyatet tanggal?” tanya Aldo. Mara menggelengkan kepalanya. “Makannya neng! Kalo sekolah ingat tanngal!”
“Ya... maap! Gue kan anaknya pelupa!”
“O... iya! Ini kado dari gue!” ucap Anka sambil menyerahkan kado berbertuk kubus.
“Makasih ya, Ka!” ucap Mara sambil tersenyum tulus.
“Sama-sama!” ucap Anka.
Aldo menggenggam tangan Mara dan menariknya mendekat ke arah kue yang bertuliskan nama TAMARA. Dan Aldo mengeluarlan korek dan langsung menyalakan lilin.
“Sekarang elo tiup lilin ini!” ucap Aldo.
Mara memejamkan matanya, Tuhan, jadikan tahun ini sebagai tahun terindah yang pernah Mara lalui, ucap Mara dalam hati. Sehabis itu, Mara langsung meniup lilin yang berangka tujuh belas.

Pesta telah usai, langit kini mendung berawan. Untung aja semuanya udah di beresin sebelum awan mulai mendung. Mara masih berada di lantai atas. Menikmati angin yang bertiup pelan. Sedangkan yang lainnya udah pada cabut.
“Lagi ngapain?” tanya Aldo yang diam-diam naik ke lantai atas.
“Lagi nikmatin angin! Loe sendiri, kenapa belom balik?”
“Gue lagi males balik!” ucap Aldo sambil tersenyum. “Mar! Gue boleh nanya nggak?” tanya Aldo ragu-ragu.
“Boleh! Nanya apa?”
“Kenapa elo suka angin?”
“Karena gue ingin seperti angin. Nggak bisa dilihat, nggak bisa dipegang tapi bisa dirasakan. Kadang bisa membawa kebahagiaan, kadang juga bisa membawa bencana!” jawab Mara sambil tersenyum. Senyum yang sangat aneh.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Mara dan Aldo langsung berlari menuju tangga. Mereka menuruni tangga bersama. Mara melepaskan kunciran kudanya dan memgusap-usap bajunya yang basah. Tanpa Mara sadari, Aldo menatapnya dengan sorotan kekaguman.
Tiba-tiba ada sebuah jaket mampir di tubuh Mara.
“Pakai ini!” ucap Aldo lembut. Mara menatap Aldo heran. “Nanti elo sakit!” ucap Aldo sambil ngeloyor pergi. Mara hanya tersenyum lembut.
Mereka berdua menunggu di kelas dekat parkiran. Mara masih membaca novel yang di pinjamnya. Sedangkan Aldo menatap Mara dari kejauhan. Hujan di luar belun kunjung berhenti, malah semakin deras. Mara melirik ke arah jam tangannya. Udah jam empat.
“Do! Balik yuk!” ajak Mara menyadarkan lamunan Aldo.
“Kenapa?”
“Balik yuk! Udah jam empat! Bisa-bisa gue dimarahin nyokap gue!”
“Tapi, masih ujan! Nanti elo sakit!”
“Nggak apa-apa deh!”
“Gue anter ya!” tawar Aldo.
“Nggak usah! Gue bisa sendiri kok!”
“Nggak apa-apa kok!”
Belum sempat Mara menolak tangannya sudah di tarik sama Aldo. Aldo masih menunggu, di depan TU. Mara memainkan air hujan yang turun.
“Elo bawa payung nggak?” tanya Aldo.
“Bawa! Tapi, cuma satu!” ucap Mara sambil mengeluarkan payungnya.
Aldo langsung mengambil payung dari tangan Mara dan langsung membukanya.
“Yuk!” ajak Aldo yang mengulurkan tangannya.
“Kemana?” tanya Mara ragu.
“Ya ke mobil gue lah!” ucap Aldo.
Mara masih ragu. Tapi, Aldo udah keburu merangkulnya. Mereka berjalan menyusuri jalanan yang becek. Tubuh Aldo yang hangat, melindungi tubuh Mara.
Aldo langsung membuka pintu mobilnya untuk Mara. Mara segera masuk ke dalam. Tak lama, Aldo pun menyusul masuk. Dan menstarter mobilnya. Kemudian, mobilnya pun melaju membelah derasnya air hujan.
Di mobil, mereka berdua hanya diam. Hanya suara radio yang terdengar.

Mobil Aldo membelok ke sebuah rumah yang besar. Rumahnya bertingkat dan tamannya yang sangat indah terawat.
“Do! Nggak masuk dulu!” tawar Mara.
“Makasih! Lain kali aja!” ucap Aldo lembut.
“Harusnya gue yang berterima kasih!” ucap Mara sambil tersenyum. Mara langsung membuka pintu mobil Aldo dan turun. Sebelum masuk, Mara melambaikan tangannya dan menatap mobil Aldo pergi menjauh.
Mara membuka pintu rumahnya. Terlihat di meja makan sudah ada makanan kesukaan Mara. Tanpa pikir panjang. Mara langsung menyantapnya.
“Aduh! Anak bunda kok pulang nggak salam dulu!” ucap bunda Mara.
“Maaf, Bun! Mara udah laper nih!” ucap Mara dengan mulut penuh.
“Kalo pingin ngomong, abisin dulu makanannya!” nasehat bunda. Mara langsung menelan makanan yang ada dimulutnya. “Sekarang baru ngomong!”
“Bun! Mara udah laper, jadi Mara langsung makan!” ucap Mara.
“Tapi kamu kan bisa ganti baju dulu!”
“Ya... bunda! Perut Mara udah keroncongan nih!” ucap Mara sambil meneruskan makannya.
“Tadi yang nganterin kamu siapa?” tanya bunda penasaran.
“Aldo, Bun!” jawab Mara enteng.
“Aldo?”
“Iya! Emang kenapa, Bun?”
“Anaknya baik kan?” tanya bunda cemas.
“Ya iyalah, Bun! Kalo nggak baik, mana mau dia nganterin Mara!”
“Dia pacar kamu?” tanya bunda menebak. Mara hampir aja tersedak. Tapi, untung aja bunda mengambilkan minum dan langsung menyodorkannya ke Mara. “Slow aja!”
“Kok, Bunda bisa nebak gitu?” tanya Mara penasaran.
“Ya! Bisa aja. Kamu perempuan, jadi wajar aja dong!”
“Tapi, kan nggak sejauh itu!” ucap Mara dengan nada agak manja.
Who knows?” ucap bunda agak misterius. Mara hanya diam dan langsung melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

“Mara!” teriak bunda sambil menggedor-gedor pintu kamar Mara. Mara yang tiduran pun terperanjat kaget. Dia langsung menuju pintu kamar dan membuka kuncinya.
“Apa, Bun?” tanya Mara santai.
“Kamu kebawah dulu deh!” ajak bunda.
“Memang ada pa?”
“Yang penting kamu kebawah dulu!”
Mara hanya menuruti perintah bunda. Dia mulai menuruni tangga satu persatu dan di tangga terakhir dia loncat.
“Kenapa Yah?” tanya Mara kepada ayahnya yang duduk di sofa yang nyaman.
“Kamu pakai ini!” perintah ayah sambil menyerahkan kain.
“Pakai ini? Buat apa?”
“Udah! Sini bunda yang pakaiin!” ucap bunda sambil memakaikan kain itu untuk menutup mata Mara. “Kamu ikutin bunda ya!”
Mara hanya mengikuti dengan mata yang di tutup. Mara meraba-raba benda yang bisa dia pegang. Akhirnya mereka sampai di garasi. Bunda membiarkan Mara meraba-raba barang yang ada di depannya.
“Ini apaan?” tanya Mara penasaran.
“Buka kainnya!” perintah Bunda. Mara terperanjat kaget bukan main, sebuah mobil ada di depannya. Mobil yang ada dia idam-idamkan.
“Ini buat Mara?” tanya Mara tak percaya. Ayah dan bunda menangguk. “Bener? Maksih ya bun, yah!” ucapnya sambil memeluk erat Ayah dan Bundanya.
“Sama-sama!” ucap mereka berdua dengan tatapan sayu yang misterius.

Matahari bersinar terang, Mara udah duduk manis di bangkunya. Dia lagi menikmati pelajaran MATEMATIKA yang sangat amat melieurkan (apa sih?).
“KKRRIINNGG.....!” akhirnya suara yang sangat di rindukan oleh para murid, suara bel istirahat. Semua anak langsung berseru riang. Dan berhamburan keluar kelas.
Mara langsung menuju kantin. Seperti biasa, kantin terisi penuh dengan murid-murid yang berdesakan. Akhirnya, Mara mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia melihat Aldo yang sedang duduk nyantai. Mara memutuskan untuk menghampiri.
“Hai, Do!” sapa Mara.
“Hai, Mar!” balas Aldo. “Keliatannya enak nih!”
“Mau?” tanya Mara sambil menyodorkan makanannya. Aldo mengangguk. “Nih!” ucap Mara sambil menyodorkan makanannya. Tanpa pikir panjang, Aldo langsung mengambilnya.
“Mar! Hari ini elo ada acara nggak?” tanya Aldo tiba-tiba.
“Nggak emang kenapa?”
“Keluar yuk!” ajak Aldo.
“Kemana?” tanya Mara penasaran.
“Pokoknya elo ikut aja!”
“Emang ada apaan sih?”
“Pokoknya kejutan!” ucap Aldo sambil menyeruput minum Mara.

Terlihat seorang ibu-ibu tergesa-gesa memasuki ruangan seorang dokter. Ibu itu sudah lama menunggu di luar, wajahnya sudah pucat dari tadi, tangannya dingin dan tubuhnya gemetar, bunda.
“Gi...gimana, Dok?” tanya bunda cemas.
“Maaf, Bu! Kami sudah mengecek berkali-kali dan hasilnya positif!” ucap dokter dengan suara lirih.
“Apa dokter yakin?” tanya bunda dengan wajah yang semakin cemas.
“Saya yakin, Bu!”
“Berapa lama lagi dia akan bertahan?” tanya bunda dengan air mata berlinang.
“Saya kurang tau. Tapi, kalo dia minum obat terus, mungkin dia akan bertahan!”
“Tapi ada kemungkinan untuk sembuh kan, Dok?” tanya Bunda. Dokter tidak menjawab. Terlihat kepasrahan di muka bunda. Dia berjalan lunglai membelakangi dokter. Air matanya mengalir deras. Sesampainya di luar, dia segera mengeluarkan HP nya. Dan memencet serangkaian nomor.

Udah jam tujuh teng. Aldo sudah berada di rumah Mara. Khusus hari ini, dia berpakaian rapi, kemeja biru dan celana jeans. Serta sepatu Converse-nya. Udah lima belas menit dia nungguin Mara.
Akhirnya Mara keluar juga. Mara mengenakan kaos oblong yang ditutupin blazer jeansnya dan juga celana skate.
“Mau kemana, Do?” tanya Mara sambil menghampiri Aldo.
“Pokoknya kejutan!” ucap Aldo misterius.
“Ya! Tapi kemana?”
Aldo tidak menjawab, dia langsung menggandeng tangan Mara dan menariknya ke mobilnya. Mara hanya menurut. Aldo membukakan pintu untuk Mara, dan segera menyusul Aldo yang duduk di belakang stir. Mereka berdua berangkat meninggalkan rumah Mara. Empat pasang mata menatap pasrah kepergian mobil itu, dan menghembuskan nafas yang berat, ayah dan bunda.

Mobil Aldo berhenti di sebuah danau. Danau yang indah dikala malam (Puitis amat!) dan di airnya, terpancar bintang yang gemerlapan. Mara hanya menatap kagum. Di sisi lain, ada cahaya lilin yang menyala.
“Bagus banget, Do!” puji Mara. Muka Aldo langsung memerah. “Ngapain kita kesini?” lanjut Mara polos. Pemandangan yang tadi romntis pun buyar. Aldo tetap bersikap cool. Aldo mengajak Mara mendekat ke danau. Di danau terdapat serangkaian bunga yang bertuliskan I LOVE YOU.
I LOVE YOU?” ucap Mara polos. Kemudian Mara melihat ke arah Aldo.
“Gue sayang sama elo, Ra!” ucap Aldo tiba-tiba. Aldo mengeluarkan sepasang cincin emas putih, disitu terukir nama Aldo dan Mara. “Elo mau nggak jadi cewek gue? Kalo loe mau, ambil cincin yang ada nama gue. Kalo nggak ambil cincin yang ada nama elo!”
Mara hanya bisa terpaku lama. Dia bener-bener nggak nyangka, kalo Aldo bakal kayak gini. Memang dia selama ini baik sama Mara. Sebenarnya Mara juga suka. Tapi, dia bener-bener nggak nyangka bakal secepat ini.
“Mara! Elo masih disana kan?” ucap Aldo menyadarkan lamunan Mara. Mara hanya menangguk. “Jawab donk!”
Mara berfikir sebentar, hatinya gelisah. Tanpa pikir panjang, Mara mengambil cincin yang ada nama Aldonya. “Iya, gue mau jadi cewek elo!” ucap Mara mantap. Aldo langsung memeluk Mara.
“Makasih, Mar!” ucap Aldo lirih.

TIGA BULAN KEMUDIAN,
Aldo mengikuti test basket untuk mewakili daerah. Sedangkan Mara masih duduk di bangku kelasnya. Di temani buku novelnya. Suasana kelas memang lagi sepi. Jadi, Mara bisa konsen dengan novelnya.
“Mara!” teriak seorang cewek berambut panjang, Anka.
“Elo bisa nggak, kalo nggak teriak-teriak?” tanya Mara agak kesel.
“Tenang dong, honey! Gue kan cuma teriak!” ucap Anka tanpa dosa.
“Teriak sih teriak. Tapi, jangan bikin budek orang!”
“Ya... maap!” ucap Anka agak menyesal.
“Kenapa lo kesini?” tanya Mara curiga.
“Biasa! Pinjem buku PR elo donk!” ucap Anka sambil nyengir.
“Kenapa? Elo lupa atau males?”
“Tanpa dijawab, elo juga udah tau!” ucap Anka sambil mengambil buku PR Mara. “Eh, Mar! Muka elo kok pucet?” tanya Anka yang baru menyadari kalo wajah Mara pucat.
“Gue nggak apa-apa!” elak Mara enteng.
“Nggak apa-apa gimana? Muka elo tuh pucat banget!” ucap Anka agak cemas.
“Elo tenang aja! Gue bawa obat kok!”
“Sekarang elo minum obat dulu!” usul Anka. Mara menurut ucapan Anka. “Emang elo sakit apa?”
“Gue juga nggak tau!” ucap Mara berusaha bohong.
“Kok nggak tau?” Anka bingung.
“Nyokap bokap gue nggak ngasih tau gue!” ucap Mara sambil membaca novel lagi. “KKRRIINNGG....” suara bel masuk. Berdenting.
“Gue pinjem dulu ya!” ucap Anka sambil ngeloyor pergi. Mara hanya mengangguk pelan.

Mara berjalan lunglai saat menuju mobilnya. Enggak tau kenapa, hari ini dia ngerasa nggak enak badan melulu. Nggak disangka, ada seorang cowok berbadan tegap atletis, berambut cepak dan tinggi udah nunggu di depan mobil Mara.
“Gimana, Do?” tanya Mara.
“Besok gue berangkat!” ucap Aldo bangga.
“Selamat ya! Traktir-traktir donk!”
“Gimana kalo nati malam gue jemput?”
“Jam berapa?”
“Jam tujuh. Elo nggak ada acara kan?”
“Yap! Gue tunggu ya!” ucap Mara agak manja dan langsung naik ke mobilnya. Mara langsung menstarter mobilnya dan langsung cabut. Aldo masih saja berdiri dengan senyum di bibirnya.

Jam tujuh teng! Aldo udah datang. Bunda dan Ayah sempet mengintrogasi Aldo dengan pertanyaan-pertanyaan kecil. Kelas berapalah? Sekolah dimanalah? Apa prestasinya? Dan laen-laen. Mara sempet protes, waktu bunda ngambilin minum buat Aldo.
Mara udah siap dengan kaos oblong putih jungkis yang di tutupi dengan blazer jeans dan celana sket. Juga sepatu Converse berwarna hitam. Setelah pamit, mobil Aldo melaju.
“Kita mau kemana?” tanya Mara udah nggak sabar.
“Makan?” tanya Aldo. Mara menggeleng. “Shoping?” tanya Aldo lagi. Mara menggeleng lagi. “Trus mau kemana?”
“Gimana kalo ke danau?” tanya Mara dengan muka yang setengah memohon.
“Kesana? Ngapain?”
“Gue lagi pengen aja! Please ya, Do!” ucap Mara yang bener-bener memohon. Aldo hanya mengangguk setuju, walaupun dia sangat curiga dengan sikap Mara.

“HHUUAAHH! Udaranya dingin banget ya, Do!” ucap Mara senang. Aldo hanya mengikuti dari belakang. Mara terus berlari layaknya anak kecil. Udara malam yang dingin, bintang-bintang memancarkan sinarnya dan air danau yang tenang. Mara duduk diatas kursi taman yang disusul oleh Aldo.
“Do! Elo punya bintang tersendiri nggak?” tanya Mara tiba-tiba. Terlihat wajah Aldo yang kebingungan. “Gue punya!” ucap Mara sambil menunjuk satu bintang yang bersinar terang di arah utara. “Itu  bintang gue!”
Aldo hanya tersenyum tipis, “Kalo gue yang itu!” ucap Aldo sambil menunjukan satu bintang yang bersinar di arah selatan. “Ra! Gue boleh nanya nggak?” tanya Aldo tiba-tiba. Mara hanya tersenyum sambil mengangguk. “Kalo elo di suruh milih, elo milih hidup elo atau hidup gue?”
“Hidup gue!” ucap Mara.
“Terus, kalo elo harus milih, milih cinta elo atau cinta gue?”
“Cinta gue!”
“Diri elo atau diri gue?”
“Diri gue!” ucap Mara sambil tersenyum.
“Kenapa?”
“Nanti juga elo tau!” jawab Mara misterius. Aldo langsung cemberut. “Kenapa, Do? Marah ya?” tanya Mara dengan nada menggoda.
“Nggak, gue nggak marah!” ucap Aldo dengan senyum yang di paksakan.
“Kalo nggak mau senyum jangan di paksain senyum!”
“Gue senyumnya ikhlas kok!” jawab Aldo sambil mamerin senyumnya. Mara hanya tersenyum kecil tapi tulus. Aldo pun terpana, baru kali ini Aldo melihat Mara tersenyum tulus.
“Kenapa, Do?” tanya Mara yang dari tadi ngeliat Aldo yang terus mandangin dia dengan tatapan yang dalem.
“Ng..nggak kok!” ucap Aldo gagap.
Malam itu dihabiskan mereka berdua dengan penuh canda tawa.

Hari ini Aldo berangkat ke Bandung. Mara udah ngebolos demi nganter Aldo. Aldo udah rapi dengan celana jeans dan kaos oblong yang ditutupin jaket. Mara hanya tersenyum saat Aldo melihat ke arahnya. Aldo langsung menghampiri Mara.
“Gimana?” tanya Aldo tiba-tiba.
“Apanya?” tanya Mara bingung.
“Penampilan gue?”
“Biasa aja!” ucap Mara seadanya.
“Elo nggak muji gue?” tanya Aldo sedikit kecewa.
“Apa yang harus di puji?” ucap Mara. Aldo langsung cemberut. Mara langsung tersenyum manis. “Aldo marah ya? Iya deh elo keren, elo cakep dan elo segala-galanya!” ucap Mara dengan mata berbinar.
“Gitu dong! Eh gue berangkat dulu ya!” pamit Aldo. Mara hanya mengangguk. “Tunggu gue untuk bawa kemenangan buat elo!” ucap Aldo yakin. Mara hanya tersenyum simpul.
Mara melihat Aldo melambaikan tangan ke arah nya. Mara membalasnya dengan lambaian juga. Mara membalikan badannya dengan wajah sedih. Do, maafin gue ya! Gue akan coba nunggu elo, sebelum waktu gue abis, ucap Mara dalam hati.

Seminggu sudah Aldo berjuang di Bandung dan akhirnya team dari daerahnya menjadi pemenangnya. Aldo kini sudah sangat bangga. Dia akan memberikan mendalinya untuk Mara.
Aldo menunggu di kelas Mara. Baru beberapa anak yang datang. Dia terus-terusan senyum-senyum sendiri. Hampir semua yang lewat nganggap Aldo itu udah gila. Lima belas menit lagi bel berbunyi. Tapi, Mara belum muncul-muncul juga. Aldo mulai gelisah.
“Anka!” teriak Aldo ke Anka. Anka noleh kanan-kiri, terlihat Aldo menghampirinya.
“Elo udah balik?” tanya Anka polos.
“Ya.. udahlah! Kalo belom balik, gue nggak akan ada disini!” ucap Aldo rada sewot. “Mara mana?”
Anka hanya diam dan melangkah lagi tanpa memperduliin Aldo. Aldo ngikutin aja.
“Ka! Mara mana?” tanya Aldo nggak sabar.
“Nanti dia datang!” ucap Anka lemas.
“Bener ya!” ucap Aldo sambil keluar dari kelas Anka. Anka langsung menarik nafas berat.

Anka berjalan menembus laorong-lorong rumah sakit. Dia melangkah cepat menuju suatu kamar. Kamar yang sangat amat khusus. Terlihat suster-suster berlalu lalang. Aldo yang dari tadi diam aja, jadi penasaran.
“Elo ngapain ngajak gue kesini?” tanya Aldo nggak ngerti.
“Nanti elo juga tau! Udah ikutin aja!” jawab Anka seperlunya. Anka kembali berjalan.
Anka memasuki sebuah kamar, kamarnya berada di ujung lorong. Anka masuk dengan yakin, sedangkan Aldo melangkah dengan ragu-ragu. Aldo menebarkan sapuan pandangannya ke seluruh kamar. Di sebuah ranjang, tergeletak tubuh seorang cewek yang kemah, Mara.
“Mara!” ucap Aldo bingung sambil melihat ke arah Anka.
“Dia menderita penyakit Leukimia!” jelas Anka tanpa diminta. “Dia udah tiga hari kayak gitu!”
Aldo berjalan mendekati Mara yang terkulai lemas dengan mata terpejam. Dia membelai rambut Mara yang terurai. Dia langsung teringat akan mendalinya. Dikeluarkannya mendali dari dalam tasnya.
“Mar! Ini buat elo. Elo cepet buka mata ya!” ucap Aldo lirih.
“Dia masih bisa bangun. Elo tunggu aja!”
“Kenapa elo nggak telfon gue?” tanya Aldo agak sinis.
“Karena dia ngelarang gue! Dia nggak mau konsentrasi elo terganggu karena dia.”
Aldo langsung memegang tangan Mara dan menciumnya. Kenapa Mara? Kenapa? Elo lebih berharga dari apapun. Buat gue, elo yang terpenting, ucap Aldo dalam hati.
“Elo tunggu aja disini. Lagi pula om dan tante nggak bisa ngejagain!”
“Kenapa?”
“Karena elo yang di tunggu dia!” ucap Anka sambil meninggalkan Aldo sendirian.
Aldo memandang Mara dengan tatapan sayu. Tatapan yang sangat teramat dalam sekali. Dia terus membelai rambut Mara. Sampai dia pun tertidur lelap.

Mara tersadar dari tidurnya. Tangannya seperti menyentuh sesuatu. Rambut dari seoarng cowok, rambut Aldo. Aldo yang merasa ada sesuatu langsung tersadar.
“Aldo?” tanya Mara dengan suara agak parau.
“Iya! Ini gue!” jawab Aldo mendekatkan diri ke Mara.
“Elo menang?” tanya Mara. Aldo langsung cemberut. “Menang kalah?”
“Kenapa elo nggak telfon, kalo elo sakit?” Aldo langsung bertanya tajam. Mara hanya terdiam. “Elo nggak ingin kalo konsentrasi gue buyar?” tanya Aldo dengan suara lebih tajam. Mara mengangguk lemah. “Mara! Elo itu lebih penting dari kemenangan gue bahkan lebih dari segalanya,” ucapnya dengan nada lirih.
“Misi, anda dari keluarga pasien?” tanya suster tiba-tiba dari belakang. Aldo terperanjat kaget dan kemudian mengangguk. “Anda diminta ke ruangan dokter!” perintah suster itu soapan. Tanpa fikir panjang Aldo langsung pergi ke ruangan dokter.
“TTOOKK....TTOOKK....TTOOKK....” Aldo mengetuk pintu ruangan dokter. Dan dokterpun mempersilahkan masuk.
“Anda keluarga pasien?” tanya Dokter itu.
“Iya dok! Ada apa?” tanya Aldo.
“Hidup pasien tidak bisa lama lagi. Sebelum waktu menjemputnya, ajaklah dia ke tempat kesenangannya untuk yang terakhir kalinya,” ucap Dokter itu dengan suara lirih. Aldo nggak percaya dengan apa yang dia dengarkan.
Hidup pasien tidak bisa lama lagi. Sebelum waktu menjemputnya, ajaklah dia ke tempat kesenangannya untuk yang terakhir kalinya.
Ucapan dokter terngiang terus di telinganya. Dia berjalan lunglai ke arah kamar Mara.
Sesampainya di kamar Mara, Mara udah bersiap pergi. Aldo yang melihatnya, hanya tersenyum kecut.
“Kita mau kemana?” tanya Mara semangat.
“Terserah elo!” jawab Aldo pasrah.
“Gimana kalau ke danau?” usul Mara. Aldo hanya menagguk.
Mara menaiki mobil Aldo yang terparkir di basement. Dan mobil itu melaju seiring waktu.

Mara duduk di atas batu dan sedang memandangi bintang-bintang di langit. Senyumnya masih terkembang di bibirnya. Tiba-tiba sepasang tangan memeluk tubuh Mara, tangan Aldo. Angin berhembus pelan. Menyibak rambut Mara yang terurai.
“Elo kedinginan?” tanya Aldo tiba-tiba.
“Gue nggak apa-apa! Biarin aja, angin menembus kulit gue!” ucap Mara tenang. “Lagipula, gue pingin ngerasain angin sebelum gue menjadi angin!” tambah Mara lagi. Tanpa sadar, perkataan Mara telah merubah raut wajah Aldo. “Do! Elo tau nggak kalo gue sayang sama elo! Kalo gue harus milih, gue ingin terus sama elo selamanya!” ucap Mara sambil tersenyum.
“Gue juga! Gue pingin bersama elo selamanya!” ucap Aldo terbata. Tak sadar, air matanya keluar.
“Do, elo ingat pertanyaan elo waktu itu?” tanya Mara kembali bersemangat. Aldo hanya mengangguk. “Do, apa elo tau? Kenapa gue milih hidup gue?” tanya Mara lagi. Aldo hanya menggeleng. “Karena dalam hidup gue ada elo. Dan elo tau kenapa gue milih cinta gue?”. Lagi-lagi Aldo hanya menggeleng. “Karena dalam cinta gue ada cinta elo, dan kenapa gue milih diri gue? Karena setiap darah gue selalu ada elo!” ucap Mara tenang. Aldo sangat tersipu dengan perkataan Mara barusan. “Do! Kalo gue pergi, apa elo ikhlas?” tanya Mara sambil melirik ke arah Aldo.
Aldo langsung terperanjat kaget. Dia bener-bener nggak nyangka, kalo Mara akan ngomong seperti itu. “Kalo elo ikhlas gue juga ikhlas!” ucapnya dengan suara yang berat. Akhirnya Mara bisa tersenyum lega. “Mar! Gue sayang sama elo! Walaupun elo pergi, gue tetep sayang elo!” ucap Aldo di telinga Mara. Setelah mendengar perkataan Aldo, Mara pun memejamkan matanya untuk selamanya.

Hujan deras menyelimuti pemakaman Mara. Bunda Mara, tak kuasa menahan air mata, begitu juga dengan Anka. Rintik hujan yang turun seolah memancarkan kesedihan yang dalam. Aldo berdiri tepat di sebelah makam Mara. Dia sangat tidak menyangka, malam yang dipenuhi bintang-bintang, air danau yang tenang serta angin yang sangat tenang adalah malam terakhir Mara di dunia.
Seusai pemakaman, Aldo masih bertahan disamping makam Mara. Tertulis di batu nisan,
Tamara Fransiska
Lahir : 180388
Wafat : 130904
Tak disadari oleh Aldo, dibelakangnya sudah berdiri Anka. Mata Anka membesar seperti bola pingpong. Dia terus menerus menangis sejak Aldo membawa pulang Mara dalam keadaan tidur untuk selamanya.
“Do!” sapa Anka berusaha tegar. Aldo membalikan badannya. “Ini ada titipan dari Mara! Katanya, gue harus nyerahin ini saat pemakamannya!” tambah Anka sambil menyerahkan sebuah surat.
“Apaan ni?” tanya Aldo balik.
“Yang jelas ini surat. Kalo isinya, gue nggak tau apaan!” ucap Anka sambil berlalu.
Aldo memandangi surat yang di tangannya. Surat beramplop putih, disana ada nama Aldo yang di tulis oleh Mara. Aldo teringat dengan danau kenangan yang pernah dilewati Mara bersama Aldo. Aldo langsung menuju mobilnya dan pergi.

Aldo duduk di batu yang menyerupai kursi. Dia memandangi pemandangan sekitarnya. Kenangan-kenangan indah yang telah dia lalui bersama Mara. Ah Mara! ucap Aldo dalam hati. Dia langsung teringat surat yang Anka berikan kepadanya. Aldo langsung membuka amplop dan membacanya,
Dear, Aldo
Do, mungkin waktu kamu baca, aku udah pergi. Aku bahagia bisa kenal dengan kamu. Dan aku bersyukur, bisa masuk dalam kehidupan kamu. Aku sangat bertrima kasih, karena disaat terakhir, aku bisa bersamamu. Saat-saat bahagia. Kini, aku bisa pergi dengan tenang. Do, aku akan selalu sayang sama kamu. Selamanya....
Dari yang mencintaimu...
Tamara
Aldo bersandar di salah satu batang pohon. Matanya terpejam menatap alam. Angin berhembus, terbayang wajah Mara yang sedang tersenyum bahagia. Mara! gue juga akan selalu sayang sama elo selamanya Karena elo yang terindah di hidup gue untuk selamanya...

 Created on : October 3rd 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar