Rabu, 10 November 2010

Lirih

Entah mengapa semuanya terjadi begitu cepat. Pertemuan. Perkenalan. Canda. Tawa. Tangis. Perpisahan. Seakan menjadi sebuah ritme yang entah bagaimana selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Semuanya begitu dinamik. Pergerakannya lamban, namun pasti.

Sebuah pagi yang indah di tepian laut selatan Indonesia yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah pagi dengan matahari menyongsong cerah di ufuk timur, serta angin yang nampak begitu senang menyambut pagi. Pasir putih nampak kemilau di terpa cahaya matahri yang masih condong.
Pagi ini sebenarnya biasa, namun bagi Karenina, pagi ini sangat luar biasa. Tidak biasanya ia bangun di tempat seperti ini. Bebas di alam luas. Mensyukuri ciptaan-Nya sejak ia membuka mata. Melihat keindahan luar biasa yang tak bisa ia lihat setiap harinya.
Nina, begitulah panggilannya. Seorang cewek yang berusia sekitaran dua puluhan. Seorang mahasiswa sekaligus aktifis di kampusnya. Entah bagaimana ia bisa berada di tepian pantai pagi ini. Ia hanya ingat, ia berangkat dari kosannya jam dua belas malam. Sampai di bukit bintang jam satu pagi dan sampai sini jam setengah empat pagi. Dan itu semuanya, ia lakukan sendiri. Ditemani dengan si roda empat tentunya.
Sepagi ini, baru ada beberapa orang yang berada di pantai itu. Sebagian nelayan yang baru pulang, langsung membawa ikannya. Entah kemana. Dan beberapa anak kecil sudah mencari ikan kecil di pinggiran pantai. Sepi. Namun itu yang Nina sukai.
Ia berjalan menyusuri pantai pasir putih. Indah. indah sekali. Di sekelilingnya terdapat tebing-tebing yang terkena erosi karena hembusan ombak laut selatan. Pantai ini termasuk kecil, namun indah. sangat indah malah. Nina hanya tersenyum. Ia baru sekali ke sini. Dan ini kedua kalinya, tanpa siapa-siapa.
Ia duduk beralaskan pasir putih yang cepat kering. Memandang laut biru dengan ombak yang menggulung. Ia memejamkan matanya sejenak. andai tiap hari ia bisa merasakan hal yang sama seperti ini, ia tak akan pernah merasa bosan.

“Tapi, katanya hanya sebentar, Den,” ucap seorang pria yang berumur sekitaran empat puluh tahun. Nadanya memohon. Malah bisa terdengar seperti takut.
“Dibilangin, saya masih ingin di sini!” ucap seorang cowok yang kelihatannya berumur masih belasan menghardik pria itu. Nina yang lagi hening-heningnya langsung menoleh ke arah suara. Memperhatikan. “Saya nggak mau pulang, Pak!”
“Tapi ibu sama bapak khawatir sama, Aden. Nanti bapak yang dimarahin,” ucap pria itu memelas.
“Pokoknya saya tetap mau di sini. Kalo bapak mau pulang, pulang saja sendiri!”
Nina yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Anak manja, hanya itu yang difikirkan Nina. Nina meneruskan kegiatannya itu. Mencoba untuk tidak menghiraukan.
“Tapi, Den,” ucap pria itu. Sangat, sangat, sangat memohon.
Nina menoleh ke arah kedua orang itu. Dan bertatapan dengan si anak manja. Nina tersenyum. Berusaha seolah itu adalah ketidaksengajaannya. Tiba-tiba si anak manja menghampiri Nina yang sudah mengerutkan keningnya.
“Hei, saya Leo. Bisa minta tolong?” tanya anak manja itu kepada Nina. Nina mengerutkan dahinya semakin dalam. “Bisa berpura-pura menjadi teman saya yang janjian ketemu di sini nggak? Please,” ucap si anak manja memohon.
“Tapi... kenapa?”
“Alasannya nanti, saya jelasin. Sekarang, kamu mau bantu saya kan?”
Entah bagaimana bisa terjadi, Nina hanya menganggukan kepalanya. mengiyakan permintaan orang yang baru dikenalnya itu.
“Oke, kamu ikut saya menemui Pak Darul. Kamu usahain yakinin dia supaya bisa mempercayakan saya ke kamu?”
“Tapi apa alasan saya buat menyakinkan Pak Darul. Ketemu kamu aja baru lima menit yang lalu,” ucap Nina minta kejelasan.
“Nanti saya jelaskan,” ucap anak manja itu, langsung menggeret Nina ke hadapan Pak Darul. “Ini teman saya, Pak. Saya kan sudah bilang kan? Kao saya memang janjian sama teman saya,” ucap anak manja itu beralasan. Pak Darul mengerenyitkan dahinya, tak percaya. “Dia teman SMA saya.”
“Apa non ini temannya Den Leo?” tanya Pak Darul. Meyakinkan diri.
Nina mengangguk. Ah... kenapa sih ia harus mengangguk? Bakal ada kebohongan selanjutnya kalo ia sampai berbohong di awal. “Nama saya Karenina. Saya teman SMA nya Leo. Tapi, saya nggak begitu dekat dengan dia karena selalu beda kelas,” ucap Nina. Berbohong.
“Pak Darul masih nggak percaya?” tanya Leo sinis. “Nin, pinjam KTP kamu. Biar Pak Darul percaya.”
Nina langsung sergap mengambil dompetnya di kantung celananya. Mengambil KTP nya dan memperlihatkannya kepada Pak Darul.
“Oh... maaf non, ternyata memang benar, non adalah temannya Den Leo.”
“Sekarang, bisa tinggalin saya dan teman saya di sini?” pinta Leo. Nadanya tak lagi galak.
“Maaf, Den. Kalo begitu, saya permisi dulu.”

Pak Darul sudah pergi. Mobil yang ia bawa sudah menghilang diantara perbukitan. Leo hanya tersenyum. Senang rasanya terbebas. Namun ketika Leo tersenyum, Nina cemberut. Mukanya terlipat.
“Kamu harus jelasin alasannya!” tuntut Nina. Leo hanya tersenyum. Dia langsung melangkah, membelakangi Nina. Berjalan dengan santainya. “Hei! Aku bilang, jelasin alasannya!”
“Kan saya bilang nanti. Nanti pasti saya jelasin,” ucap Leo seenaknya.
“Sialan!”

“Kamu ngapain sih ngikutin saya? Saya kan nggak minta kamu buat ngikutin saya?!” ucap Leo yang baru sadar kalo Nina mengikuti kemana ia melangkah.
“Heh! Denger ya ANAK MANJA! Gara-gara kamu meminta saya berbohong ke Pak Darul. Dan Pak Darul sudah mempercayakan kamu ke saya. Jadi SAYA harus bertaggung jawab atas KAMU!”
Leo hanya terdiam. Mengangguk-angguk. Mengelus-elus dagunya yang berambut tipis. “Saya kan nggak minta pertanggungjawaban dari kamu. Emangnya saya ini hamil apa?” ucap Leo seenak jidatnya dan langsung ngeloyor. Melanjutkan jalannya.
“DASAAAR ANAK MANJAAA!” teriak Nina. Kesel berubun-ubun. Leo menghentikan langkahnya. Diam sejenak. “Eh?” ucap Nina. Lirih. Keselnya yang berubun-ubun langsung menghilang. Digantikan dengan rasa nggak enak hati. Leo berjalan menghampiri Nina yang nggak enak hati. “Ma..”
“Bisa minjem KTP kamu?” tanya Leo. Nina langsung mengangguk. Kaget dengan reaksi Leo yang tak sama dengan bayangannya. “Oh... anak Jakarta? Kuliah di sini?”
“Saya orang Bandung, tapi tinggal di Jakarta,” jelas Nina.
“Pantes,” ucap Leo sambil mengembalikan KTP Nina. Nina mengerutkan dahinya. “Pantes Pak Darul percaya saya temenan sama kamu. Dikiranya kita beneran satu SMA.”
“Memang kamu dari Jakarta?” tanya Nina nggak percaya.
“Saya dari Indonesia,” ucap Leo. Agak nggak nyambung. Nina mengerutkan dahinya. “Saya lebih suka di sebut orang Indonesia daripada orang Jakarta,” jelasnya. Nina bersiap melontarkan pertanyaannya, namun Leo sudah buka suara. “Karena orang Jakarta juga orang Indonesia. Orang Bandung juga Orang Indonesia. Orang Surabaya juga orang Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke adalah orang Indonesia. Lebih baik menggunakan kata jamak daripada tunggal.”
Nina terdiam. Termenung sejenak. nggak menyangka, orang yang dikiranya anak manja ternyata bisa berkata seperti itu.
“Hey! Melamun aja!” ucap Leo menyadarkan Nina dari kekagumannya. “Mau ikut nggak?”
“Ke mana?”
“Ke tebing.”

Nina dan Leo berlomba supaya bisa sampai ke ujung tebing terlebih dahulu. Ternyata menuju ke atas tebing tidaklah mudah. Walaupun jalannya adalah jalan paling landai, tetep aja capek.
“Capek juga,” keluh Nina sesampainya di atas tebing. Leo hanya tersenyum. Namun langkahnya terus berjalan menuju ujung tebing yang dibawahnya sudah curam. “Le, jangan pinggir-pinggir.”
Leo hanya tersenyum. Akhirnya ia sampai juga di ujung. Dia langsung duduk. Menghadap laut. “Duduk, Re.”
“Re?” tanya Nina bingung. Nggak ada satu orangpun, seingatnya, yang memanggilnya seperti itu.
“Nama kamu Karenina kan? Bisa di panggil Rere? Kan sama saja. Masih mengandung nama ‘Re’-nya kok.”
“Boleh-boleh aja kok. Tapi, saya nggak biasa aja dipanggil seperti itu.”
“Mulai sekarang, tolong biasakan,” ucap Leo. Masih menatap laut. Nina hanya mengangguk. Entah mengapa, hari ini ia sangat penurut sekali dengan manusia satu ini yang baru dikenalnya tadi pagi. Nina mulai berjalan. Angin kencang mulai berhembus. Hampir saja ia jatuh karena tertiup angin. “Makanya, saya bilang duduk, ya duduk. Susah amat sih!”
Nina hanya merengut. Ia pun langsung duduk di sebelah Leo. Memandangi laut yang sama. Menikmati angin yang berhembus lumayan kencang. Membelai rambut Nina yang terurai. “Le, sebenarnya kamu mau ngapain sih ke sini?”
“Sama seperti kamu. Mau refreshing. Memangnya nggak boleh?” tanya Leo. Nina hanya mengangguk pelan. “Kamu nggak capek sendirian nyetir? Pantai ini termasuk hitungan lumayan jauh.”
“Kalo mau refreshing, tempatnya nggak usah nanggung. Jauh aja sekalian. Biar lupa sama masalah-masalah yang ada.”
“Jadi kamu lari dari masalah?” tanya Leo menyelidik. Nina hanya menepok dahinya. Kebiasaan. Kelepasan ngomong. “Jangan pernah lari dari masalah lho, Re. Nggak baik.”
“Siapa juga yang lari dari masalah, tapi hanya melupakan sejenak,” ucap Nina. Sewot. Nggak terima. Leo hanya tertawa. “O iya, kapan kamu ngejelasin alasan, kenapa saya harus ikut campur dengan masalah beginian?”
“Nanti,” jawab Leo enteng.
“Nantinya kapan?” ucap Nina gemas.
“Kapan-kapan!” balas Leo. Tertawa renyah.

Sudah sekitaran enam jam Leo dan Nina berada di atas tebing. Memandangi laut selatan yang membiru. Ditemani dengan angin yang berhembus kencang serta suara deburan ombak yang menabrak tebing-tebing dari batu karang. Orang-orang pun silih berganti berada di atas tebing yang kalo melihat ke bawah, bisa membbuat ngeri.
Selama enam jam, tak ada obrolan. Mereka berdua hanya terdiam. Memandangi laut dan langit. Mendengarkan suara ombak. Merasakan getaran angin. Hanya itu. Namun mereka tidak bosan. Mereka berdua menikmati itu semua. Semua itu seolah seperti suara nyanyian alam yang jarang diperdengarkan.
“Mau turun?” ajak Leo. Dia menoleh ke arah Nina yang sepertinya sudah kedinginan. Nina hanya mengangguk. Ia pun langsung berdiri. Terlihat, walau agak samar, bahu Nina nampak gemetar. “Pakai ini.”
“Buat?”
“Biar kamu nggak kencing pas turun,” ucap Leo yang udah ngeloyor pergi menuju dasar tebing. Nina hanya bisa cemberut. Namun ada sebesit kekaguman. Nggak nyangka, Leo yang awalnya anak manja, ternyata asalah sosok yang dewasa.

“Tungguin dong,” ucap Nina. Memohon. Nafasnya terengah. Ternyata lebih susah turun daripada naiknya.
“Gitu aja capek. Dasar anak manja!” celetuk Leo yang sudah mengatur nafas dari tadi.
“Jadi balas dendam nih?” tanya Nina. Leo hanya menoleh ke arah Nina tak mengerti. “Ngebalas perkataan saya tadi pagi.”
“Yang ngatain saya anak manja?” tanya Leo. Mengingat-ingat.
“Yang mana lagi?”
“Kamu merasa saya balas dendam?” tanya Leo lagi. Nina hanya mengangguk. Cemberut. “Tapi kok saya merasa tidak ya?”
“Maksud kamu?” tanya Nina tak mengerti.
“Saya tidak berniat untuk membalas perkataan kamu tadi pagi. Yang barusan itu hanya celetukan doang. Nggak ada maksud apa-apa. Jadi jangan difikirkan,” jelas Leo. Memandang laut. “Lagipula, buat apa balas dendam, jika itu membuat dendam yang baru untuk dibalaskan kembali.”
An eye for an eye only made up the whole world blind,” ucap Nina tanpa sadar. Leo menatap Nina. Tersenyum. “Saya hanya mengucapkan apa yang Gandhi ucapkan,” jelas Nina salah tingkah karena dilihatin seperti itu.
“Kamu mengambil jurusan filsafat?” tanya Leo. Nina menggelengkan kepalanya. “Psikologi?” tanya Leo. Nina mengangguk. “Pantes,” ucap Leo, memalingkan mukanya ke arah Nina. “Pasti suka baca!”
“Bangeeet!” ucap Nina. Mengakui. Sambil tersenyum. Ia melihat laut kembali.
“Re?” tanya Leo. Nina hanya menolehkan kepalanya. “Apa benar baru saya yang memanggil kamu dengan sebutan ‘Rere’?”
“Iya, sepertinya. Memang kenapa?”
“Hanya bertanya.”

Jam setengah lima sore. Nina berdiri dari duduknya. Sudah cukup baginya untuk melupakan sejenak semua masalahnya. Saatnya untuk kembali. Kembali menghadapi masalah.
“Saya mau pulang, kamu mau ikut?” tanya Nina. Leo mengerenyitkan dahinya. “Kamu tinggal kasih alamat kamu tinggal dan saya akan mengantarkan kamu,” jelas Nina. Leo pun tersenyum. Mengangguk.
Leo berdiri. Berjalan menyamakan langkah dengan Nina. Namun baru beberapa langkah, Leo limbung. Tak sadarkan diri.

Sudah enam jam Leo tak sadarkan diri. Nina langsung melarikan Leo ke Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. Walau mesti menemouh waktu dua jam terlebih dahulu, namun Leo masih bertahan.
“Le?” sapa Nina yang selalu menunggui Leo sejak enam jam lalu. Leo hanya tersenyum. “Orang tua kamu dalam perjalanan ke sini. Kamu jangan khawatir.”
Leo hanya tersenyum. Lemah. Sangat lemah. Nina termenung. Baru hari ini, ia kenal Leo yang super nyebelin. Baru hari ini, ia kenal Leo yang dewasa dan baru hari ini juga, ia kenal Leo yang sangat lemah.
“Re?” ucap Leo. Terdengar lemah. Nina memandang Leo. “Kamu nggak usah seperti ini sama saya. Yang bertanggung jawab atas diri saya adalah saya sendiri.”
“Tapi Pak Darsul mempercayakan kamu ke saya. Jadi kamu dalam tanggungjawab saya, Le.”
Leo hanya tertawa. Menertawakan sikap Nina yang selalu serius. “Kamu akan menjadi seorang pemimpin yang baik, Re,” puji Leo. Nina hanya termenung. Entah harus tersenyum atau malah menangis. “Re, tau nggak? Besok saya ulang tahun.”
“Oya?” ucap Nina. Kaget. “Yang ke berapa?”
“Dua puluh.”
“Masih sangat muda,” ucap Nina. Tersenyum. “Tapi pemikiran kamu udah sangat dewasa.”
“Saya anggap itu adalah pujian, Re,” ucap Leo. Tersanjung. Nina hanya ketawa.
Jam dua belas kurang lima belas.
Hening. Hanya hening yang menghiasi mereka berdua. Tak ada percakapan.
“Re, apa hanya aku yang baru memanggilmu seperti itu?” tanya Leo. Memecahkan keheningan.
“Seingat saya sih hanya kamu, Le. Perasaan teman-teman saya memanggil saya dengan Nina,” jelas Nina. Leo tersenyum. Nina melihat ada perbedaan pada senyumannya. “O iya, kamu mau kado apa, Le?”
Leo hanya terdiam. Waktu terus berjalan. Ia tidak sedang memikirkan ingin kado apa. Tetapi memikirkan yang lain. “Re, kado yang sangat saya inginkan adalah mengucapkan terima kasih saya sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya sama kamu dan kamu harus menerimanya.”
“Pemaksaan nih?”
“Kalo kamu melihat ini sebuah pemaksaan, ya sudah. Kan tadi kamu yang nanya saya minta kado apa. Iya kan?”
“Oke. Tapi terima kasih buat apa?” tanya Nina tak mengerti.
“Terima kasih untuk hari ini. Hari ini adalha kado terindah buat saya,” ucap Leo. Entah mengapa, nada suaranya terdengar berbeda. “Kamu tau, Re. Ketika saya jatuh pingsan di pinggir pantai, saya kira saya nggak akan bertahan. Tapi ternyata, Tuhan masih memberikan saya waktu. Walau hanya sangat sedikit,” jelas Leo. Nina hanya terdiam. Ada getaran halus menyelimuti hatinya. “Saya juga nggak percaya, ternyata saya bisa ketemu kamu lagi, setelah tiga belas tahun.”
“Bentar. Bertemu saya lagi? kapan kita pernah bertemu?” tanya Nina bingung.
“Pasti kamu lupa. Memang, sudah saya duga,” balas Leo. Memaklumi. “Waktu itu, kita sama-sama berumur tujuh tahun,” jelas Leo. Nina semakin mengerutkan keningnya. “Kamu ingat seorang pemuda cilik yang sok nahan sakit karena dia terjatuh?” pancing Leo. Nina terdiam. Mengingat-ingat kembali apa yang terjadi di masa lalunya. “Terus kamu tolong dia. Kamu tutup luka pemuda kecil itu dengan saputangan kamu.”
“Leonardio?” ucap Nina mengingat satu nama yang baru saja terlintas di benaknya. “Itu kamu,” ucap Nina. Leo hanya tersenyum. Mengangguk. Pelan. “Yo...”
“Saya dulu berjanji buat ngembaliin, tapi ternyata itu adalah hari terakhir kamu bersekolah. Jadi saya belum sempat,” jelas Leo. Nina terdiam. “Nanti kamu bisa ambil di kantung jaket saya. Sekalian saja bawa jaketnya, biar jadi kenang-kenangan.”
“Jangan ngomong kayak gitu, anak manja!” ucap Nina ketus.
“Kamu tau, sebenarnya hari ini saya nggak mau melewatkan hari ini dengan siapapun. Tapi entah mengapa saya melihat kamu dan membuat alasan. Sebenarnya alasan itu juga tidak seratus persen berbohong. Kita memang berteman kan? Tapi waktu SD, bukan SMA,” ucap Leo. Panjang lebar. Ada tawa yang sedang menahan sakit dari dirinya.
“Semuanya itu memang sebuah kebetulan, Le. Kebetulan yang sudah direncanakan oleh-Nya.”
“Kamu tau, Re. Saya baru sadar kalo Tuhan itu sangat adil dan sangat baik. Ketika umur saya masih panjang, saya selalu mengeluhkan apa yang terjadi pada diri saya. Namun saya diberikan kado terindah di akhir penghujung hidup saya.”
“Kado terindah?”
“Kamu adalah kado terindahnya, Re. Saya sadar ketika saya melihat KTP kamu. Tanggal lahir kamu sama seperti Rere. Dan kamu juga bilang kalo asal kamu dari Bandung.”
“Saya orang Indonesia, Le. Lebih baik jamak daripada tunggal,” ucap Nina. Mengutip perkataan Leo. Leo hanya tertawa. Suara tawanya semakin parau. Nina tak tega mendengarnya. “Tinggal tiga menit menjelang hari kelahiranmu, Le.”
Leo hanya tersenyum. Dia mengambil korek api gas dari saku jaketnya. “Nyalakan untuk saya!”
Nina langsung menyambar korek api itu. Mengetest apakah korek api itu masih nyala apa nggak. “Tinggal semenit lagi, Le,” Nina memberi tahu. Leo masih saja tersenyum. Nina fokus pada jam tangannya. Pada saat detik ke tiga sebelum jam dua belas, Nina menyalakan korek api. Tepat jam dua belas. Lilin menyala. “Le.. ayo ti....up.”

“Sakit?”
“Nggak perlu! Saya bisa jalan kok. Saya kan anak laki-laki!”
Namun gadis mungil itu tidak menghiraukan perkataan anal laki-laki itu. Ia mengambil saputangan dari saku bajunya kemudian mengikatkannya ke luka anak laki-laki.
“Kalo begitu, kamu nggak akan infeksi.”
“Terima kasih. Saya janji bakalan ngembaliin sapu tangan kamu.”

When loving you is my finest hour. Leaving you, the hardest day of my life.
Mencintaimu hanya butuh waktu sehari, tapi melupakanmu, seribu tahun tak kan pernah mampu.

Sebulan kemudian.
Kini telah kusadari, dirimu telah jauh dari sisi. Ku tau tak mungkin kembali ku raih, semua hanya mimpi.
Nina kembali ke tempat yang sama. Ke tempat dimana ia sebulan yang lalu ia berada. Menikmati deburan ombak dengan pasir putih yang kemilau tertimpa sinar mentari. Ia memandang laut. Membiarkan rambut panjangnya terbelai oleh angin.
Ingin kucoba lagi, mengulang yang telah terjadi. Tetapi, semua sudah tak berarti. Kau telah pergi.
Nina berjalan menyusuri bibir pantai yang putih. Di tengah, ia merentangkan tangannya. Menikmati sesuatu yang jarang ia rasakan. Andai waktu bisa terulang. Saya sangat ingin mengulang waktu menjadi sebulan yang lalu. Dan mengehentikannya sehingga saya tak pernah merasakan apa itu rasa kehilangan.
Adakah kau mengerti kasih, rindu hati ini, tanpa kau di sisi. Mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini, ingin memiliki lagi.
“Memang kamu dari Jakarta?” tanya Nina nggak percaya.
“Saya dari Indonesia,” ucap Leo. Agak nggak nyambung. Nina mengerutkan dahinya. “Saya lebih suka di sebut orang Indonesia daripada orang Jakarta,” jelasnya. Nina bersiap melontarkan pertanyaannya, namun Leo sudah buka suara. “Karena orang Jakarta juga orang Indonesia. Orang Bandung juga Orang Indonesia. Orang Surabaya juga orang Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke adalah orang Indonesia. Lebih baik menggunakan kata jamak daripada tunggal.”
Sebuah percakapan yang terdengar jelas di telinga Nina. Menyadarkannya, bahwa jangan menilai seseorang dari penampilannya.
Kusadari kembali, ternyata semua hanya lirih. Kini kutahu, tak mungkin ada waktu, untuk mencintaimu lagi.
Nina sudah berada di atas tebing. Memandang sejauh laut yang membiru dan seluas langit yang mencakra. Semuanya mirip sekali dengan sebulan. Hanya ada satu perbedaan. Perbedaan yang sangat, sangat berpengaruh. Kehadiran Leo.
Adakah kau mengerti kasih, rindu hati ini tanpa kau di sisi. Mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi.
“Saya tidak berniat untuk membalas perkataan kamu tadi pagi. Yang barusan itu hanya celetukan doang. Nggak ada maksud apa-apa. Jadi jangan difikirkan,” jelas Leo. Memandang laut. “Lagipula, buat apa balas dendam, jika itu membuat dendam yang baru untuk dibalaskan kembali.”
An eye for an eye only made up the whole world blind,” ucap Nina tanpa sadar. Leo menatap Nina. Tersenyum. “Saya hanya mengucapkan apa yang Gandhi ucapkan,” jelas Nina salah tingkah karena dilihatin seperti itu.
Dia mengajarkan banyak hal untuk saya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Tuhan, apa memang semua itu adalah jalan-Mu yang tak terduga yang sudah Engaku siapkan untuk hamba-hambamu yang merasa kebimbangan?
“Kamu tau, Re. Saya baru sadar kalo Tuhan itu sangat adil dan sangat baik. Ketika umur saya masih panjang, saya selalu mengeluhkan apa yang terjadi pada diri saya. Namun saya diberikan kado terindah di akhir penghujung hidup saya.”
“Kado terindah?”
“Kamu adalah kado terindahnya, Re. Saya sadar ketika saya melihat KTP kamu. Tanggal lahir kamu sama seperti Rere. Dan kamu juga bilang kalo asal kamu dari Bandung.”
Mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi. mungkinkah kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi.
Chrisye – Lirih




Sepuluh november duaribu sepuluh : 11.23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar