Rabu, 10 November 2010

Friends into Lover

“Lo mulai kerja kapan, Dev?” tanya seorang cowok tinggi, berisi dengan rambut di cepak, Dendra Divnibal Klevy atau sebut saja, Ibal yang sedang menyantap sarapannya.
“Dua hari lagi, Bal. Emang kenapa?” tanya seorang cewek yang beradad di hadapan Ibal, menemaninya makan. Devany Klevny, Deva.
“Nggak apa-apa,” balas Ibal. “Kantor lo yang di deket kantor gue itu kan?”
“Yap,” ucap Deva dengan senyumannya yang khas, lesung pipi tergambar di kedua pipinya. “Emang kenapa?”
“Nggak,” ucap Ibal dengan senyum jahilnya. “Jadi, gue bisa bareng ma elo kan? Lumayan sebagai supir,” ucapnya terkekeh.
“Sial lo,” ucap Deva sambil melayangkan koran ke arah Ibal.
“Eh, lo ada acara nggak?” tanya Ibal sambil membaca koran yang dilempar Deva. Deva hanya menggelengkan kepalanya. “Temenin gue, mau nggak?”
“Kemana?” tanya Deva.
“Meeting,” ucap Ibal. Deva melongok melihat Ibal. “Meeting biasa, bidangnya juga nggak berat-berat amat.”
“Lo gila apa?!” ucap Deva keberatan. “Ntar gue cengok lagi.”
“Nggak bakalan, Dev,” ucap Ibal membujuk. “Malahan gue minta pendapat elo. Soalnya, gue juga nggak mengerti tentang bahasannya.”
“Formal?”
“Semi,” jawab Ibal yang mengerti kalo Deva kurang suka dengan acara formal, sangat formal. Deva pun mengangguk, mengiyakan.

Ibal memarkirkan mobilnya di sebuah kafe yang terletak di bilangan Kemang, Jakarta. Dia memakai setelan jas warna hitam. Di sebelahnya, terlihat Deva. Dia memakai kemeja putih dan di lapisi dengan blues berwarna hitam pula. Rambut panjangnya, ia biarkan terurai. Kakinya yang panjang, terlihat sempurna karena high heels hitam melengkapinya.
Mereka berdua pun langsung masuk ke dalam kafe itu. Menuju meeting room yang letaknya di belakang dekat dengan taman terbuka.
Akhirnya mereka sampai juga di ruang rapat. Ruang rapat yang sangat asri, karena menyatu dengan alam. Gemiricik air pun terdengar merdu. Dan nuansa hijau sangat terasa di dalam ruangan itu. Deva dan Ibal memasuki ruangan yang udah ramai dengan para undangan meeting.
“Maaf, saya terlambat,” ucap Ibal memasuki ruangan meeting. Audiens hening. Ibal dan Deva langsung menduduki kursi yang telah di sediakan. “Bisa kita mulai sekarang?” tanya Ibal sambil membuka laptop di depannya. Deva pun mengikuti langkah Ibal. Audiens mengangguk.
Terlihat seorang pria muda berjalan mendekati layar lebar. Memulai presentasinya. Deva memperhatikan pria itu sejenak lalu pandangannya melihat ke arah lain. Arah seorang pria muda lainnya yang sedari tadi memperhatikannya.
Mata Deva terbelalak kaget, melihat pria muda yang berbalut kemeja putih dan jas hitam itu. Rambutnya di spikey, walaupun acaranya formal, rambut itu masih terlihat rapi. Pria itu pun senyum ke Deva, senyum yang berbeda, sehingga membuat jantung Deva berdetak lebih cepat. Dhika.

Presentasi berjalan sekitar setengah jam. Banyak investir yang menanyakan ini dan itu, termasuk Ibal yang menjabat sebagai wakil direktur utama. Dia menanyakan sampai sedetail mungkin. Deva hanya diam. Mendengar semua pertanyaan Ibal serta jawabannya dari presentator. Di dalam tubuhnya, jantungnya berdetak kencang. Entah karena tak mengerti ataupun grogi.
“Lo nggak apa-apa kan, Dev?” tanya Ibal tiba-tiba, berbisik di telinga Deva. Deva hanya menggelengkan kepalang. “Tapi kenapa lo terlihat pucat?”
“Hehehe...” balas Deva dengan tertawa miris. Ibal hanya mengerenyitkan dahinya, mencoba mengerti, namun gagal. “Ntar gue jelasin.”
“Bagaimana, Pak?” tanya presentator itu kepada Ibal.
“Nanti kami hubungi lagi,” ucap Ibal sambil tersenyum.
“Baik,” ucap presentator itu sedikit kecewa, namun masih tersenyum. “Kami tunggu jawaban anda,” ucapnya berharap. Ibal hanya mengangguk.

“Hai, Bal?!” sapa seorang pria muda mendekati Ibal danDeva selesai rapat, Dhika.
“Hai, Dhik,” balas Ibal. Menyambut Dhika dengan senyum.
“Hai, Dev?!” sapa Dhika dengan senyum dan nada yang sangat ramah kepada cewek cantik yang berdiri di samping Ibal.
Jantung Deva berdetak semakin kencang. Bibirnya hanya bisa mengulas senyum. Senyum groginya. “Hai, Dhik,” ucap Deva pada akhirnya.
“Lo udah saling kenal?” ucap Ibal tak percaya kepada Dhika dan Deva.
“Dia sahabat gue,” sambar Deva, salah tingkah. Dhika hanya tersenyum. Aduuh... Deva, kenapa lo bisa grogi sama sahabat elo sendiri? Tanya Deva dalam hati.
“Oh... pantes,” ucap Ibal sambil menganggukak kepalanya.
“Bal,” ucap seorang pria muda lagi memanggil Ibal untuk datang ke lobby.
“Gue tinggal dulu,” ucap Ibal yang langsung menghampiri temannya itu.
“Jadi...” ucap Dhika mendekati Deva. “Lo terlihat cantik dengan busana itu, Dev,” pujinya sambil menyemburkan senyuman paling manis di bibirnya. “Gue hampir kena serangan jantung, waktu gue lihat elo pake high heels.”
“Kenapa lo nggak serangan jantung aja sekalian, Dhik?” tanya Deva canggung. Jantungnya masih berdegub kencang.
“Ntar lo nangis-nangis lagi, kalo gue kena serangan jantung,” goda Dhika. Deva hanya tertawa miris. “O iya, emang lo kerja di kantornya Ibal?”
“Nggak,” ucap Deva cepat. Dirinya mencoba menetralisir rasa yang aneh itu di hatinya. Jantungnya sudah berdegub normal. “Gue Cuma nemenin Ibal doang. Katanya, dia butuh pendapat gue. Eh taunya, gue malah nggak buka suara sama sekali,” ucapnya sedikit menyesal. Dhika hanya mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti. “Gue sama Ibal sepupuan,” ucap Deva. Entah apa yang mendorongnya untuk berkata seperti itu.
Tanpa disadari, senyuman lega tersirat di bibir Dika, tipis. “Oh...” ucapnya menyembunyikan kelegaannya.

“Jadi, Deva yang lo ceritain ma gue waktu dulu, Dhik?” tanya Ibal sambil mengaduk-aduk capuccino nya sambil tertawa. Dhika hanya mengangguk. Menerawang. “Dunia begitu sempit, Dhik.”
“Sangat sempit buat gue,” Dhika akhirnya buka suara. Ibal menganggukan kepalanya. Memandang Dhika. Serius. “Dua sahabat gue ternyata sepupuan.”
Ibal tertawa, lepas. Melihat sahabatnya itu. “Dia sahabat lo?” tanya Ibal memastikan. Dhika mengerenyitkan dahinya. “Gue kira, lo sama dia bukan hanya sekedar sahabat,” tambahnya lagi. Dhika menatap Ibal. Aneh. “Lo punya perasaan lebih kan sama Deva?”
“Gila lo?!” ucap Dhika tersenyum, malas. “Kita cuma sahabatan. Enough. Nggak lebih.”
“Dhika... Dhika...” ucap Ibal sambil menggelengkan kepalanya, heran. “Gue udah kenal lama sama lo. Kita udah sahabatan sejak kuliah, dan gue tau elo.”
“Dan lo pasti lebih tau Deva gimana kan?” tanya Dhika meyakinkan. Ibal mengangguk. “Dia menentang hubungan yang dari sahabat menjadi pacar.”
“Gue nggak bilang kalo Deva bakal jadi pacar lo kan?” ucap Ibal. Dhika mengerenyitkan dahinya lagi. “Tapi pendamping hidup lo.”
“Lo tambah gila lagi,” ucap Dhika mendekat ke Ibal. “Bisa digampar gue sama dia?!”
“Gue pernah baca, friend into lover, a true love from bestfriend will always be together forever,” ucap Ibal menasihati. “Lagi pula, nyokap lo udah nyuruh lo nikah kan?!”
“Itu beda, Bal.”
“Beda apanya? Nyokap lo kan nggak ngelarang lo buat nikah sama sahabat lo sendiri kan?” tanya Ibal, memastikan. Dhika menggeleng. “Gue rasa, nggak ada bedanya,” ucap Ibal memastikan. Dhika termenung. “Kita nggak pernah tau, kapan cinta itu datang, Dhik?!”

Siang. Sangat panas. Berdebu. Di Ibukota kita tercinta. Jakarta.
Terlihat Deva sedang melamun menghadap langit yang mulai kemerahan. Dia masih memikirkan pertemuannya dengan Dhika. Memang bukan pertemuannya yang pertama kali buat Deva setelah enam tahun berpisah. Namun, pertemuannya kemarin, terasa begitu berbeda. Ada desiran pasir halus dalam hatinya. Dan senyuman Dhika, begitu terasa sempurna di matanya.
“Eh, ngelamun aja lo?!” ucap seorang cowok yang tiba-tiba nongol di ruangannya, Ibal.
“HAH?!” ucap Deva tersadar dari lamunannya. Ibal duduk tepat di kursi depan Deva. “Kenapa, Bal?”
“Lo ngapain ngelamun aja?” tanya Ibal lagi dengan nada diperlambat.
“Siapa yang ngelamun?” sanggah Deva sambil menegakan posisi duduknya. “Gue nggak ngelamun.”
“Lo nggak usah bohong sama gue, Dev,” ucap Ibal. “Lo sering ngelamun semenjak gue ajak rapat itu. Kenapa emangnya?”
“Nggak kenapa-kenapa. Mungkin gue agak kurang fit aja,” ucapnya, masih berbohong.
“Ya iyalah kurang fit,” ucap Ibal setuju. “Kurang fit karena mikirin Dhika.”
“Gue sama Dhika cuma sahabatan nggak lebih,” ucap Deva cepat. Emosi namun ada sedikit pengharapan.
“Gue pernah baca tentang friend into love, a true love from bestfriend will always be together forever,” jelas Ibal.
“Gue menentang pacaran dengan sahabat gue sendiri,” ucap Deva tegas.
“Gue nggak bilang lo musti pacaran kan, Dev?” tanya Ibal memastikan. Deva mengerenyitkan dahinya, tak mengerti. “Tapi, jadi pendamping hidup dia.”
“Lo...”
“Dev, gue tau elo sejak kecil. Dari kecil, gue sama elo udah sama-sama, udah bareng. Gue minta ma lo. Lo singkirin ego lo. Gunain perasaan lo. Gue tau, lo sebenarnya menganggap Dhika lebih dari sekedar sahabatkan. Tapi, sayangnya, lo baru sadar kemarin. Di saat, gue ajak lo meeting. Dan gue nggak mau lo terlambat untuk sadar, kalo lo sayang dia, cinta dia.”
Deva termenung sesaat. Memikirkan kata-kata sepupunya itu.
“Pikirin itu baik-baik, Dev,” ucap Ibal sambil beranjak berdiri dan berjalan membelakangi Deva. “O iya,” ucapnya sambil menoleh ke arah Deva. “Lo bisa pulang sendiri kan? gue ada meeting,” tambahnya. Deva mengangguk, namun masih dengan perasaan aneh.

“BRAK...” suara tubrukan antar dua manusia.
“Aduuuuhhhh...” rintih seorang cewek tinggi proposional, cantik dan rambut sebahu yang tergerai, Safni Naumal, Afni.
“Sorry... sorry...” ucap Ibal sambil membantu berdiri Afni. “Saya tadi buru-buru.”
“Makannya, kalo punya janji, berangkatnya jangan mepet-mepet mas,” balas Afni dengan mimik mukanya yang polos, kesakitan.
“Kan tadi saya kan udah minta maaf,” ucap Ibal.
“Kalo maaf sih saya maafin, tapi kalo tulang saya kenapa-kenapa, emang kata maaf bisa ngobatin?” ucap Afni. Dhika yang udah keburu-buru, langsung naik emosinya. “Eh tunggu mas, emang bisa ya? Gimana caranya?” tanya Afni mulai lemot.
Ibal hanya diam. Emosinya kembali normal. “Apa...?”
“Kata maaf mengobati patah tulang,” ucap Afni sambil berfikir. Ibal diam, memandangi gadis yang ada di depannya itu. “Apa kata-kata maaf itu ditulisin di lakban atau perban terus di rekatin deh di tulang,” ucap Afni sambil menjentikan jarinya, terkekeh atas jawabannya sendiri. Ibal yang meliohat mimik Afni yang polos langsung tertawa. “Kok ketawa mas? Emang saya badut? Apa saya lucu?”
“Nggak apa-apa,” ucap Ibal sambil mencoba berhenti tertawa. “Mungkin karena kamu lucu.”
“Mungkin?” tanya Afni menyelidik. Ibal berhenti tertawa. “Mungkin itu bisa 50% jujur, 50% bohong. Bisa juga 75% jujur tapi 25% bohong ataupun sebaliknya,” jelas Afni memaparkan analisisny tentang kata-kata ‘mungkin’. “Jadi mas milih yang mana?”
“Saya tidak memilih dan tidak akan memilih,” ucap Ibal. Afni mengerenyitkan dahinya. “Saya akan mengganti kata ‘mungkin’ dengan ‘memang’,” tambah Ibal. Afni hanya tersenyum.

“Gue pernah baca tentang friend into love, a true love from bestfriend will always be together forever,” jelas Ibal.
“Gue nggak bilang lo musti pacaran kan, Dev?” tanya Ibal memastikan. Deva mengerenyitkan dahinya, tak mengerti. “Tapi, jadi pendamping hidup dia.”
Perkataan Ibal masih terngiang di telinga Deva. Pikirinnya masih terganggu tentang itu. Friend into love.
“Eh... ngelamun aja?!” ucap Afni menyadarkan Deva dari lamunannya. “Jangan ngelamun, kata nyokap gue sih nggak baik,” ucap Afni menasehati tapi masih engan tampang polos.
Deva hanya tersenyum. “Ni, lo pernah baca friend into love?”
“A true love from bestfriend will always be together, forever?” tanya Afni memastikan. Deva hanya mengangguk. “Ya ampun, Dev. Itu buku romantis banget deh.”
“Emang kenapa?”
“Jadi ada dua sahabat, saling suka, tapi mereka nggak mau mengakuinya. Terus. Tanpa disadari satu sama lain, mereka pergi ke tempat yang mereka sering kunjungi, labirin mawar, di hari yang sama,” ucap Afni bersemangat.
“Jadi mereka nggak tau, kalo mereka pergi ke tempat yang sama? Di hari yang sama?” tanya Deva. Afni megangguk. “Kok bisa?”
“Karena ikatan hati masing-masing yang tak pernah disadari oleh mereka sendiri.”
“Terus?”
“Sesampainya, di ujung-ujung pintu labirin. Mereka berjalan masuk, tapi dengan mata tertutup. Mereka terus berjalan. Dan akhirnya, mereka bertabrakan dan bertemu di tengah labirin itu.”
“Terus jadian?” tanya Deva yang udah mengerti akhir ceritanya. Afni mengangguk. Deva menghembuskan nafas panjang.
“Kenapa, Dev?” tanya Afni bingung.
“Nggak apa-apa kok, Ni.”

“Mereka pergi ke tempat yang mereka sering kunjungi,” ucap Deva megulang kata-kata Afni. “Yang sering mereka kunjungi,” ulang Deva lagi. “Bukit mahoni?!” ucapnya tiba-tiba.
Deva pun langsung bergegas pergi ke bukit mahoni. Tempat yang sering ia kunjungi bersama Dhika dan juga Afni. Tempat yang seriang ia kunjungi dan mereka kunjungi.

Dhika terdiam di mobil Strada hitamnya. Memandangi sebuah foto yang selalu ia pasang di mobilnya. Fotonya dan sahabat-sahabatnya. Namun pandangannya tertuju pada satu foto. Foto Deva yang lagi tertawa.
Tiba-tiba ia teringat dengan Ibal. Dia sering membicarakan friend into lover, a true love from bestfriend will always be together forever, sewaktu kuliah dulu. Persahabatan menjadi cinta. Ada beberapa penggalan kalimat yang Ibal sering ucapkan.
“Mereka pergi ke suatu tempat yang mereka sering kunjungi. Di hari yang sama. Tanpa sepengetahuan satu dan lainnya. Dan sesampainya di tempat itu, mereka menutup mata mereka dan berjalan. Hanya hati mereka yang melihat. Dan akhirnya, mereka bertemu di tengah. Dan mereka yakin akan satu hal. Friend into lover, a true love from bestfriend will always be together forever,” ucapan Ibal begitu nyata di telinga Dhika.
“Bukit mahoni,” ucap Dhika tiba-tiba. Dia pun langsung menancap gas ke tempat itu. Tempat yang sering mereka kunjungi.

Deva udah berada di tepian padang ilalang yang semakin tinggi karena dibiarkan. Dia melihat sekelilingnya. Kosong. Nggak ada tanda-tanda Dhika hadir. Dia menarik nafas panjang. Ragu mulai menyelimuti dirinya. Namun rasa ingin taunya yang besar, mengalahkan semuanya.
Deva mengambil sarung tangan biru dari kantongnya. Sarung tangan itu, ia ikatkan pada kepalanya, menutupi matanya. Perasaannya bercampur aduk. Langkah pertamanya, ragu. Langkah keduanya, takut. Namun dilangkah ketiga dan seterusnya, ada suatu keyakinan yang terselubung. Deva berjalan di antara ilalang. Langkahnya tenang, perasaannya damai.

Dhika memarkir mobilnya di pinggiran padang ilalang. Pandangannya ia sebarkan di seluruh pinngir padang, namun tak ada tanda kehadiran Deva. Nyalinya ciut, perasaannya kecewa. Namun perasaannya terselubung suatu keyakinan. Keyakinan yang besar.
Dhika mengeluarkan saputangan hitam dari sakunya. Menutupi matanya dengan saputangan itu. Perasaannya yang berselubung keyakinan, membawa langkah pertamanya memasuki padang ilalang itu.

Deva dan Dhika berjalan menyusuri padang ilalang dengan menutupi kedua mata mereka. Hanya hati mereka yang melihat. Langkah mereka kecil, namun yakin. Tangan mereka menjamah satu persatu ilalang yang berada di depan mereka. Mata mereka masih ditutupi oleh saputangan.
Akhirnya, mereka sampai di kaki bukit, namun mereka berada di arah saling bersebrangan. Dhika melanjutkan langkahnya. Satu persatu menaiki bukit mahoni. Angin menerpa wajahnya dan desikan ilalang mewarnai langkahnya.
Di sisi lain, Deva masih berada di kaki bukit. Lama. Memikirkan kemungkinan yang terjadi. Akhirnya, dia melangkahkan kakiknya, menaiki bukit mahoni. Angin bertiup lumayan kencang. Dan desikan ilalang mengalun, menemani langkahnya.
Akhirnya, mereka sampai di atas bukit mahoni. Masih ditutupi oleh saputangan mereka masing-masing. Angin masih bertiup kencang. Memberi irama bagi ilalang untuk bergoyang. Berdesik. Sehingga tak ada suara yang muncul, kecuali irama ilalang.
Tanpa mereka sadarai, mereka telah sampai di puncak bukit mahoni, masih dengan mata mereka yang tertutup. Mereka berhenti. Tepat dihadapan masing-masing. Desikan ilalang semakin riuh, seolah sedang menyoraki sebuah drama yang sedang berada di klimaks.
Deva dan Dhika membuka penutup mata mereka masing-masing, perlahan. Pandangan mereka yang tadinya hitam, kini mulai terang. Membentuk sebuah siluet yang semakin lama semakin jelas.
“Deva?” ucap Dhika tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Dhika?” balas Deva yang juga tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Gemuruh angin tak lama semakin reda. Desikan ilalang kini kembali sunyi. Seolah menunggu adegan selanjutnya. Dhika dan Deva hanya terdiam. Saling memandang.
“Jadi lo ngikutin apa yang ada di friend into lover?” tanya Dhika tak percaya.
“Iya,” ucap Deva singkat. “Gue coba-coba aja. Apa iya, itu bakalan terjadi, ternyata...”
“Itu terjadi?!” ucap Dhika mantap. Deva tertawa geli. “Gue juga, Dev.”
“Ini konyol tau nggak?!” ucap Deva ngotot, bahwa ini semua hanyalah kebetulan. Atau dia takut menghadapi kalo sebenarnya itu adalah takdir?
“Konyol?” tanya Dhika tak percaya. “Gue rasa nggak,” tambahnya. “Kita sama-sama di sini. Di hari yang sama. Dan kita pun nggak pernah saling memberi tau, kapan kita mau ke sini. Semuanya kayaknya udah di rancang, Dev.”
“Tapi, gue nggak mau merusak apa yang udah kita jalin, Dhik,” ucap Deva yang jelas-jelas menentang tentang sahabat jadi pacar.
“Gue nggak minta lo jadi pacar gue,” ucap Dhika menatap Deva, serius. “Gue mau lo jadi pendamping hidup gue, Dev.”
“APA?” ucap Deva yang mungkin bisa dikatakan teriak. Kaget. Dhika hanya tersenyum melihat reaksi Deva. “Lo gila?”
“Mungkin,” ucap Dhika. “Gue memang terlambat menyadari perasaan gue ke elo dan sekarang, gue nggak mau terlambat buat ngedapetin elo.”
Deva tertegun. Pikirannya melayang kembali ke percakapannya dengan sepupunya, Ibal di ruangannya waktu itu.
“Apa lo yakin, Dhik?” tanya Deva ragu.
“Friend into love, a true love from bestfriend will always be together, forever,” ucap Dhika meyakinkan. Tangannya memegang tangan Deva.
Deva tersenyum. Desiran halus yang selalu ada sejak pertemuannya dengan Dhika pas meeting itu kini kembali berbulir. Berbulir deras. Memenuhi segnap jiwa dan raganya. Anggukan anggun, mengiyakan. Dhika pun tersenyum. Senyumnya paling bahagia. Dhika langsung memeluk Deva, erat. Deva pun membalasnya. Desikan ilalang mengalun merdu lagi, menyuarakan kebahagiaan dua insan.

Friend into lover, a true love from bestfriend will always together, forever.

Apa yang kita kini tengah rasakan... Mengapa tak kita coba tuk kita satukan... Mungkin cobaan untuk persahabatan... Atau mungkin sebuah takdir tuhan...
                                                                        [Zigaz – Sahabat Jadi Cinta]

Created on : August 5th 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar