Rabu, 10 November 2010

Dengan Hati

TES.. TES...
Rintik hujan mulai turun membasahi bumi yang penuh dengan debu. Suasana yang tadi hanya diisi dengan petir dan desau angin, kini bertambah dengan rintik hujan. Dan orang-orang yang lalu lalang kini menambah kecepatan dalam langkah mereka.
“Kenapa sih musti hujan lagi? Nggak cukup apa tadi malam hujan terus?” gerutu seorang pemuda yang terpaksa berteduh di halte bis. Tangannya sibuk menyibak rambutnya yang agak panjang dan menghapus butir-butir air hujan yang masih menempel di baju dan celananya.
Ardio Permana ataus sebut saja cowok yang mempunyai tinggi sekitar seratus delapan puluh senti meter, berkulit kuning langsat, berwajah tampan ala Korea, berbadan agak gempal dengan rambut yang agak sedikit panjang ini dengan sebutan Dio.
DEEERT...
Suara getar HP Dio yang berada di sakunya. Dio langsung saja mengambil HP nya, memencet tombol hijau dan langsung menempelkannya di kuping.
“Halo?” sapa Dio.
“Lo dimana? Jam berapa ini mas?” ucap seseorang yang di seberang dengan nada yang agak bete.
“Sorry, gue kejebak hujan nih. Nggak bawa payung,” jelas Dio.
“Lagi?”
“Kan payung gue di pake emak gue,” ucap Dio. Beralasan.
“Basi lo! Cepetan ya ke sini. Gue nggak mau tau!” ucap yang di seberang dengan nada judes. Dio hanya meringis.
DET!
Suara hubungan yang secara singkat itu terputus. Dio langsung memasukan hape HP nya ke dalam saku kembali. Menatap hujan yang turun dari langit. Menggerutu kembali.

“Lo ngaret amat sih?!” omel seorang cowok yang udah menunggu Dio selama sejam di sebuah kafe. Cowok yang nggak kalah tinggi sama Dio dan nggak kalah cakep. Irvido Fahri.
Sorry, Do. Kan gue udah bilang. Gue kejebak hujan. Gimana sih lo?” jelas Dio.
“Alasan lo tuh kalo nggak kejebak hujan ya kejebak macet, apa nggak ada yang lain?”
“Ada sih,” ucap Dio duduk di hadapan Vido. “Lo maunya gue kejebak macan apa kejebak singa? Tinggal pilih aja.”
“Nggak lucu lo!” ucap Vido nggak minat. “Back to basic, kapan kerjaan lo selesai? Pameran tinggal beberapa hari lagi dan lo belum nyerahin hasil jepretan elo?!”
Dio terdiam sejenak. Melihat ke arah jendela kafe yang terbuat dari kaca. Di luar masih saja hujan.
“Belom ada objek yang pantas buat di foto, Do,” jelas Dio. Dengan nada datar.
“Tumben, Di?” tanya Vido heran. “Biasanya asal jepret aja juga jadi!”
Dio hanya diam. Dia hanya mengangkat kedua bahunya. “Belum dapat feel-nya, Do.”
Feel gimana? Pameran besok itu temanya bebas, Di. Masa gitu aja nggak ada feel sih?”
“Kasih waktu gue seminggu,” ucap Dio. Pasrah.
“Kelamaan,” ucap Vido nggak setuju. “Dua hari.”
“Empat hari deh,” tawar Dio sedikit memohon. “Gue musti nyari sesuatu yang ada feel nya dulu.”
“Tiga hari! Nggak ada tawar-tawaran dan lo langsung ke gue, nyerahin semua foto-foto elo. Gimana?”
“Gue coba...”

Hujan masih saja turun. Dan langitpun sepertinya enggan untuk mengganti warna menjadi biru cerah. Dan Dio masih saja berteduh di pelataran toko kosong. Menatap setiap rintik hujan yang turun. Dan dia hanya diam. Enggan menggerutu. Namun ada sesuatu yang tiba-tiba melintas dalam pikirannya. Ia langsung mengeluarkan kamera DSLR nya dan mengambil beberapa foto. Foto rintik hujan.

“Bagus, Di,” ucap Vido saat Dio menyerahkan hasil jepretannya. “Fokusnya tepat dan saturasi bagus,” pujinya. Dio hanya tersenyum. Senang. “Hebat lo! Baru aja tadi pagi gue minta, eh sorenya udah ada. Kayaknya lo memang harus kerja di bawah tekanan deh.”
“Biasa aja kali, Do. Gue bakalan ngasih hasil kerja gue, kalo gue dapat feel nya. Dan kebukti kan?”
“Oke. Gue akuin itu. You got the feel!” puji Vido. Dio hanya tersenyum.
Dio langsung duduk dihadapan Dio. Dia langsung melihat lembar demi lembar hasil jepretanannya. Not bad. Namun dia terpatok pada satu foto. Foto rintik hujan di taman kota. Namun ada yang beda di sana. Ada seseorang yang berjalan di bawah rintik hujan. Bukan berjalan, dia seperti menari. Dio tertegun.

Dia tersenyum melihat hujan. Dia tersenyum melihat langit yang kelabu. Dan dia pun tersenyum karena dia sudah berada di bawah rintik hujan. Senyuman yang jenaka. Senang dan bahagia. Dia adalah Anashya Dewi. Seorang wanita muda yang berwajah tidak begitu cantik, namun manis. Wanita dengan rambut lurus sebahu.
Seshya, itulah panggilannya. Dia memang suka berhujan-hujanan. Bukan berhujan-hujanan semata, namun menari di bawah hujan. Seperti orang gila kah? Tidak. Dia bukan menari seperti MJ dengan moonwalking-nya. Bukan juga penari seperti Madonna di setiap lagu-lagunya. Namun ia menari sesuai dengan rintik hujan.
Namun Seshya tak sadar. Ada seseorang yang mengabadikan setiap gerakannya yang gemulai itu. Di bawah rintik hujan yang semakin deras. Jarak pandang yang hanya beberapa meter. Kilatan petir yang menyambar. Semuanya... terekam.

Dio menatap semua hasil jepretannya. Semuanya yang telah ia ambil. Wanita itu... hujan... petir... tarian... tarian di bawah hujan? Dancing in the rain? Entahlah. Dio tak memikirkan itu. Yang ia pikirkan adalah... tariannya sangat indah.

Seshya berhenti sejenak dari kegiatannya. Memandangi sosok cowok yang tiba-tiba berada dihadapannya. Matanya langsung memincing.
“Mau apa?” tanya Seshya galak.
“Maaf kalo udah mengganggu,” ucap cowok itu kaku. “A... aku hanya ingin kenalan,” tambahnya. Seshya semakin memasang tampang galak. “Na... nama saya Ardio,” ucapnya. “Ta... tarian kamu bagus.”
Seshya memandang Dio. Mukanya tak lagi galak. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.

“Kamu nggak kedinginan, Shya?” tanya Dio. Mereka duduk di pelatarn toko yang kosong.
“Nggak,” ucap Seshya singkat. “Memang kenapa?”
“Nggak apa-apa,” balas Dio. “Ngelihat kamu setiap hujan menari seperti itu, apa kamu nggak masuk angin?”
Seshya hanya tersenyum. Matanya memandang taman yang berada di depannya. “Kamu udah sering ngelihat aku?” tanyanya. Apa sebuah pernyataan?
“Maaf, kalo aku...”
“Kenapa kamu selalu berlindung?”
“Berlindung?”
“Ketika hujan turun?”
“Karena...”
“Kamu nggak suka sama hujan?” tanya Seshya. Dio hanya diam. “Kamu nggak pernah coba untuk hujan-hujanan?”
“Memang kenapa?”
“Karena di setiap tetes hujan yang turun itu sebenarnya membawa esensi-esensi yang berbeda ketika dia menyentuh permukaan kulit kita.”
“Esensi?”
“Tenang. Nyaman. Damai.”
“Kenapa?”
“Coba aja.”
“Coba?”
“Kita nggak akan pernah tau sebelum kita berani untuk mencobanya.”

“Karena di setiap tetes hujan yang turun itu sebenarnya membawa esensi-esensi yang berbeda ketika dia menyentuh permukaan kulit kita.”
“Esensi?”
“Tenang. Nyaman. Damai.”
Perkataan itu terngiang jelas di telinga Dio. Esensi? Apakah benar apa yang dikatakan Seshya? Tenang? Nyaman? Damai? Apa iya itu ada di setiap rintik hujan yang turun? Dio memandang rintik hujan yang turun dari balik jendela kamarnya.
“Kenapa?”
“Coba aja.”
“Coba?”
“Kita nggak akan pernah tau sebelum kita berani untuk mencobanya.”
Dio berjalan menuju pintu keluar. Biasanya ia enggan untuk berhadapan dengan hujan. Namun entah mengapa, setelah bertemu dengan Seshya. Ia begitu nampak antusias dengan hujan. Dio berjalan. Selangkah lagi ia akan berada di lain tempat. Tubuhnya akan dihujami dengan rintik hujan yang turun. Namun bukankah itu esensinya?
Akhirnya... ia berada di bawah hujan. Rintik hujan satu persatu menghujami tubuhnya yang agak kekar berisi. Dingin. Hanya itu yang ia rasakan. Diaman rasa damainya? Dimana rasa nyamannya? Dimana rasa tenangnya? Dingin. Hanya itu yang ia rasa.

“Kenapa aku tidak merasakan tenang, nyaman dan damai saat aku berada di bawah hujan?” tanya Dio. Ia berlindung di bawah payung. Menghampiri Seshya yang hujan-hujanan.
Seshya hanya tersenyum. Namun ia hanya berjalan menuju kursi taman yang basah. Duduk di atas genangan air. Memandang hujan yang turun. “Duduk kalo kamu mau.”
Dio hanya diam. Namun ia akhirnya duduk di sebelah Seshya. Dingin. Air genangan itu meresap ke dalam celananya.
“Kamu bertanya kenapa kamu tidak merasa tenang, nyaman dan damai,” ucap Seshya datar. Dio hanya diam. “Karena kamu tidak merasakan dengan hati kamu.”
“Hati?”
Seshya memegang tangan Dio yang sedang memegang payung. Dia menyingkirkan payung dari atas Dio. Membiarkan hujan mengenainya.
“Tutup mata kamu,” ucap Seshya. Dio menurut. “Sekarang kamu rasakan setiap tetes hujan itu. Rasakan bukan hanya di permukaan kulit saja. Melainkan masuk ke dalam hati kamu. Dan kamu akan merasakan sesuatu.”
Dio diam. Pertama ia gagal. Ia hanya merasakan dingin. Namun ia tak menyerah. Ia berusaha merasakan dengan cara lain. Membiarkan air itu meresap ke dalam kulit-kulitnya. Bukan hanya di permukaan saja. Dan dia merasakannya. Tenang. Nyaman. Damai.
“Bisa merasakannya?” tanya Seshya. Dio diam. Namun menjawab dalam hatinya. “Bila kamu merasakannya melalui hati kamu, kamu akan merasakannya. Sama seperti saat kamu mengambil suatu gambar,” ucap Seshya. Tersenyum. “Orang akan memuji setiap gambar yang kamu ambil karena mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat dari kasat mata mereka,” ucap Seshya. Menatap tajam Dio. “Karena mata hati mereka yang melihat. Dan merasakannya.”
Dio hanya terdiam. Menatap takjub gadis yang ada di depannya.
“Sama ketika kamu melihat tarianku di bawah hujan,” ucap Seshya. “Dan mengambilnya...”
“Ma...maaf,” ucap Dio.
“Tak apa. Aku suka,” ucap Seshya tak keberatan.  “Kamu merasakan setiap gerak tarianku walau di bawah hujan. Dan melihatnya. Indah?” tanya Seshya. Dio mengangguk. “Kamu bisa berkata seperti itu karena kamu merasakannya lewat hati kamu. Dan kamu bisa.”
“Apa setiap orang bisa melakukannya?” tanya Dio. Seshya mengakat satu alisnya. Meminta penjelasan. “Marasakan lewat hati.”
“Setiap orang bisa. Jika mereka masih mempunyai hati,” ucap Seshya. “Dan jika mereka mau.”
“Kenapa?”
“Karena bila sesuatu itu datangnya dari sini,” ucap Seshya sambil menunjukan dadanya. “Itu semuanya akan terasa indah dan lebih bermakna.”
Dio tertegun. Dari hati? Merasakan? Melihat? Mendengar? Akan terasa indah? Dio terdiam. Mencerna. Dan ia mengerti. Seutas senyuman terukir di bibirnya.
“Mau lomba siapa yang lebih cepat lati di bawah hujan?”

Pameran.
“Nggak nyangka ya. Fotographer kita yang satu ini memang berbakat,” puji Vido. “Lo lebih baik kerja di bawah tekanan ya?!”
“Sialan lo!” ucap Dio. Bercanda. “Gue hanya mengabadikan sesuatu yang menurut gue bagus aja kok.”
“Tapi sumpah, bagus gila. Timing-nya pas banget,” ucap Vido. “Lo ngambil tema hujan, eh lagi musih hujan. Jangan-jangan besok lo mau ngambil tema kemarau pas musim kemarau lagi?”
“Ya nggak lah,” ucap Dio. Tertawa. “Ancidentally aja lagi.”
“Di, selamat ya?!” ucap seorang wanita muda yang tiba-tiba datang sambil membawa karangan bunga. “Gambar kamu bagus.”
“Thanks, Shya!” ucap Dio. Tersenyum.
“Yo... ini kan...” ucap Vido tergugu. Dio hanya tersenyum.
“Mau aku temenin lihat-lihat, Shya?” tanya Dio. Menawarkan diri. Seshya hanya mengangguk dengan seulas senyum di bibirnya. Mereka pun berjalan.
Vido?
Dia terdiam sesaat. Kemudian berjalan berlainan arah dengan Dio. Mencari gambar hasil jepretannya yang berada di salah satu ruang pameran. Ya... wajah wanita tadi itu adalah objek di salah satu fotonya Dio.
Seorang wanita yang sedang membuat gerakan yang diabadaikan Dio secara berkala. Gambar-gambar itu seperti membuat gerakan. Gerakan tarian. Tarian yang indah.
Vido hanya tersenyum.
Dance In The Rain With Heart.
  
Delapan Juli 2010

1 komentar:

  1. wow,, sya sukaaaa.. Visit me back ya..

    www.ketukpinturumahku.blogspot.com

    hehehhh, lam knal...

    BalasHapus