Rabu, 10 November 2010

Cinta Pertama dan Terakhir

“Cokelat ice cream-nya satu mbak?!” ucap seorang wanita cantik, muda, tinggi dan berambut pendek, Safni Naumal atau semua orang panggil dia dengan sebutan, Afni. Namun wajah cantiknya seakan terlipat dengan kekesalannya.
“Double atau nggak, mbak?!” tanya waitres.
“Triple, mbak kalo bisa,” ucap Afni asal. Mukanya semakin cemberut. Waitres itu hanya mengangguk-angguk. Mengerti akan kestressan yang dialami oleh pelanggannya ini. dia pun kembali ke pantry.
“Sial banget sih gue?!” gerutu Afni sambil memegang kepalanya. “Kenapa gue bisa ceroboh? Padahal itu proyek penting buat perusahaan?!” tambahnya. Kepalanya tertunduk, meratapi nasib.
“Hei?!” ucap seorang cowok yang tiba-tiba datang dihadapan Afni. Seorang cowok tinggi, berbadan proposional dan berambut cepak, Dendra Divnibal Klevy, atau singkatnya, Ibal. “Kok cemberut?”
“Hah?!” ucap Afni tersadar sejenak dari kekalutannya. “Kamu…”
“Kita pernah tabrakan waktu di depan lift, ingat?” jelas Ibal mengingatkan.
“Depan lift?” ucap Afni. Berusaha mengingat. “O iya, waktu kemarin-kemarin kan?”
“Kemarin-kemarin?”
“Pokoknya kemarin lah,” ucap Afni tak mau ambil pusing. Ibal tertawa melihat reaksi wanita yang di depannya ini.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya,” ucap Ibal.
“Pertanyaan?” tanya Afni. Bingung. “Pertanyaan yang mana?”
“Kenapa kamu cemberut?”
“Oh…” ucap Afni.
“Maaf, ini pesanan anda, cokelat ice cream triple?!” ucap waitres itu mengantarkan pesanan Afni.
“Triple?” ucap Ibal takjub. Afni hanya bisa nyengir kuda.
For stoping my stress. You know lah?!” ucap Afni to the point.
“Yeah, kata orang, cokelat adalah penghilang stres?!” ucap Ibal menyetujui. Afni hanya mengangguk. SETUJU. “Jadi karena itu kamu cemberut?”
“Ya iyalah,” ucap Afni. Talkactive MODE : ON. “Gimana nggak stress kalo kamu ngancurin pyoyek perusahaan tempat kamu bekerja?” tambahnya. Ibal menyimak. “Dan itu proyek yang sangat berharga buat perusahaan. Gimana coba?”
“Biasa aja,” ucap Ibal menimpali. “Kalo saya jadi kamu?!”
“Kok bisa BIASA aja?” tanya Afni mulai sewot. Tampangnya membuat Ibal tertawa.
“Proyek itu nggak cuma satu,” ucap Ibal. “Ada pepatah yang mengatakan, mati satu, tumbuh seribu. Sama kayak proyek, satu hilang, masih ada proyek lainnya, yang harganya lebih mahal. Iya kan?” ucap Ibal memberikan semangat. Senyuman tersungging di bibirnya.
Afni terdiam. Terpana dengan senyuman yang disunggingkan di bibir pria yang belum ia kenal namanya itu.
“Ya… pasti ada banyak proyek di luar sana?!” ucap Afni yakin. Senyuman terlukis di bibirnya.

“Ni, lo nggak beranjak ke gila kan?” tanya Dika khawatir karena melihat Afni senyam-senyum sendiri nggak jelas.
“Sialan lo?!” balas Afni nggak terima.
“Habis lo senyum terus daritadi. Nggak berhenti-berhenti lagi, kirain gue lo dah mulai rada gila?!” ucap Dhika. Bercanda.
“Dhika?!” ucap Afni menjitak Dhika. Dhika masih saja tertawa. “Dhik,” panggil Afni. Nadanya serius. Dhika hanya melirik Afni. “Rasanya jatuh cinta, gimana sih?”
“Lo jatuh cinta sama buku mana lagi, Ni? Ponsultat Einstein apa hukum kekekalan energi?” ledek Dhika.
“Gue serius Dhika?!” ucap Afni menoyol kembali kepala sahabatnya itu. Dhika tertawa lepas. “Apa yang lo rasain, waktu lo jatuh cinta sama Deva?”
“Gue nggak jatuh cinta sama Deva, Ni?!” ucap Dhika serius. “Dan gue nggak pernah jatuh cinta sama dia,” tambahnya. Wajah Afni terkejut sangat. Mulutnya menganga. “Karena gue nggak pernah cinta sama dia, tapi gue sayang sama dia. sayang banget?!”
“Itu sama aja, dodol?!” ucap Afni sambil menimpuk Dhika pakai koran yang ada di dekatnya. Dhika tertawa lepas. “Maksud gue, gimana perasaan lo, waktu berada di dekat Deva dan apa yang ngebuat lo bisa yakin, kalo Deva itu bakal calon istri lo?”
“Perasaan gue kalo di deket dia, sayang, sayang, sayang banget. Gue ngerasa nyaman kalo berada di dekat dia. Dia kayak matahari ‘lain’ buat gue. Kayak yang tertulis di notebook itu,” jelas Dhika. “Kita nggak akan pernah tau siapa jodoh kita kan, Ni? Makannya, yakin nggak yakin, gue bakal usaha buat ngeyakinin diri gue,” ucap Dhika bijaksana. Afni hanya mengangguk-angguk. “Emang lo kenapa sih, Ni? Nggak biasa-biasanya lo nanyain masalah ginian.”
“Nggak kenapa-napa,” ucap Afni. Dia langsung membaca koran yang ada dihadapannya.
“Lo jatuh cinta?” tanya Dhika. Masih penasaran. Afni diam. Mukanya ia tutupi dengan koran. “Bukan sama buku kan, Ni?”
“Lo kira, di pikiran gue cuma ada buku, buku ama buku apa? Gue juga mikirin cowok kali?!” ucap Afni. Keceplosan. Dhika nyengir kuda. “Eh, barusan gue ngomong apa?”
“Barusan lo ngomong,” ucap Dhika mendekatkan mukanya ke muka Afni. “Kalo GUE GANTENG?!”

Siang. Panas. Namun di ruangan ber-AC, tak ada kata panas yang bisa terucap. Itu yang dirasakan oleh Ibal di ruangannya. Pertemuannya yang tak sengaja dengan wanita itu, membuatnya terus senyum sendiri.
“Lo kenapa, Bal?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Devany Klefny. Deva.
“Lo kapan masuknya, Dev?” tanya Ibal tersadar dari lamunannya.
“Jangan-jangan lo udah beranjak gila karena nyokap lo nyuruh lo kawin ya?” sindir Deva. Tertawa.
“Sialan lo?!” ucap Ibal bangkit dari duduknya. “Lo kira gue nggak laku-laku apa?”
“Gue nggak ngomong kayak gitu, lo yang mengakuinya?!” ucap Deva. Kembali tertawa. Ibal hanya mengulas senyum sedikit. “Ada apa, Bal?”
“Nggak ada apa-apa. Emang ada apa?” tanya Ibal balik.
“Gue nggak baru kenal lo satu atau dua hari, Bal. Gue kenal lo selama gue hidup,” ucap Deva mengingatkan. “Ada apa, Bal. Lo nggak beneran stres kan di suruh kawin sama nyokap lo?”
“Lo percaya kalo gue bakalan stres?” tanya Ibal kepada sepupunya itu. Deva menggelengkan kepalanya. “Berarti jangan percaya itu.”
“Terus kenapa?”
“Gimana perasaan lo, kalo lo berada di dekat Dhika?”
“Nyaman. Tenang. Damai.”
“Itu yang gue rasain,” ucap Ibal. Nyengir. Deva membuka mulutnya, terkejut. “Bukan sama Dhika, monyong. Lo kira gue jeruk makan jeruk apa?”
“Ye… kirain gue?!” ucap Deva membela diri. “Terus sama siapa?” tanyanya. Ibal hanya mengangkat bahunya. “Loh?”
“Gue ketemu sama dia dengan cara kebetulan. Nggak ter-planning. Flowing aja?!” jelas Ibal. “Udah dua kali gue bertemu dengan dia. Kebetulan.”
“Dan kalo lo ketemu sama dia untuk ketiga kalinya dan dengan cara yang nggak disengaja. Gimana?”
“Gue lamar dia?!” ucap Ibal yakin. Senyuman bangga terpampang jelas di bibirnya. Deva hanya menggelengkan kepalanya. Takjub dengan sepupunya.

 “Mobil lo kenapa, Bal?” tanya Dhika yang biasa nyamperin Deva buat berangkat kerja bareng.
“Nggak tau gue juga, padahal kemarin barusan dari bengkel?!” ucap Ibal sambil turun dari tangga rumahnya. “Gue nebeng ya?!”
“Iye,” ucap Dhika yang duduk di atas kap mobilnya. “Apa sih yang ngak buat bos gue?”
“Bos lo apa sepupu dari calon istri lo?” goda Ibal. Dhika hanya nyengir.
“Gue udah siap,” ucap Deva sambil menutup pagar rumah Ibal. “Berangkat sekarang, gue ada meeting?!”
“Sip, bos?!” ucap Dhika yang loncat dari kap mobilnya dan langsung masuk ke belakang stir. Begitupun Deva dan Ibal. Mereka langsung masuk ke dalam mobil.
“Ini foto siapa?” tanya Ibal sambil menunjukan sebuah foto yang berisikan tiga anak manusia.
“Itukan foto gue sama Deva, masa lo nggak kenal sih?” protes Dhika.
“Gue juga tau kalo itu foto elo sama Deva. Tapi cewek yang ada di samping lo berdua ini?!” jelas Ibal sambil menujuk wajah lainnya yang ada di foto itu.
“Itu Afni, sahabat gue, kenapa, Bal?” tanya Deva. Sebesit senyuman kepuasan mampir di bibir Ibal. Dia menagngguk-angguk. “Oh…”

Ibal mengetuk-ngetukan jemarinya dia atas meja. Senyumannya tak pernah lepas dari bibirnya. Kursinya, ia putr-putarkan, seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah yang sangat ia inginkan.
“Bos,” ucap Dhika langsung masuk ke dalam ruangan Ibal. Ibal masih saja senyum-senyum yang nggak jelas. Dhika mendekat. Melihat keanehan yang ada di tubuh bosnya itu. “IBAL?!”
“HAH?!” Ibal tersadar dari lamunannya. Dhika nyengir kuda. “Lo kan nggak harus teriak di telinga gue kan, Dhik buat manggil gue?!”
“Kayaknya untuk sekarang-sekarang perlu, Bal. Setidaknya itu yang gue lihat.”
“Emang apa yang lo lihat?” tanya Ibal penasaran.
“Gue lihat, sahabat gue lagi falling in love sama sahabat gue juga?!”
“Maksud lo?” tanya Ibal nggak ngerti.
“Deva udah cerita sama gue, dan kemarin, sahabat gue yang satunya barusan cerita sama gue, kalo dia barusan nemuin buku. Bukan buku karya ilmiah yang selalu ia baca. Tapi buku lain. Buku kehidupannya. Kehidupannya yang nggak pernah disentuh dengan sesuatu yang namanya cinta.”
“Emang dia nggak laku-laku apa?” tanya Ibal. Matanya menelisik.
“Emangnya elo, nggak laku-laku,” ledek Dhika. Tertawa.
“Sebenarnya, banyak yang mau sama gue, tapi gimana, gue nggak suka sama mereka. masa iya dipaksain?!” bela Ibal atas dirinya sendiri.
“Whatever,” ucap Dhika mengesampingkan alasan Ibal. “Yang jelas, sahabat gue yang satunya ini lagi merasakan sesuatu yang nggak pernah ia rasakan. Sesuatu yang menurutnya absurd untuk dipelajari secara ilmiah. Dan nggak tanggung-tanggung, orang yang telah menawarkan sesuatu itu adalah sahabat gue sendiri.”
“Lalu?” tanya Ibal tak menegrti.
“Kata sahabat gue, cinta itu seperti sebuah buku. Tak pernah terprediksi. Obyektif. Dan tersipnosis dengan kata-kata yang membuat penasaran bagi yang membacanya bahkan yang sedang merasakannya. Semuanya teka-teki, tak ada yang tau akan akhir ceritanya. Kecuali, penciptanya,” jelas Dhika.
Book will always be mistery,” tambah Ibal.
“Dan gue harap, sahabat gue ini bisa tercatat dalam buku kehidupan sahabat gue yang satunya.”

“Dan kalo lo ketemu sama dia untuk ketiga kalinya dan dengan cara yang nggak disengaja. Gimana?”
“Gue lamar dia?!”
Ibal teringat dengan kata-katanya di sebuah percakapan bersama saudaranya, Deva.
“Apa bener, kalo gue ketemu sama dia untuk ketiga kalinya dengan cara kebetulan, gue bakal ngelamar dia?” tanyanya pada diri sendiri. “Who knows?!”

Dua minggu berselang.
Ibal berada di rumah. Sendirian. Deva dan Dhika sedang jalan bareng. Mempersiapkan kebutuhan ernikahan mereka. Dan paling membetekan adalah karena hari ini hari Minggu. Nggak ada acara. Nggak ada agenda. Semuanya kosong.
Ibal rebahan di atas sofa di ruang keluarga. Bermalas-malasan. BT. Nggak ada kegiatan apapun. Pembantunya sedang libur. Dan terdamparlah ia.
TING… TONG… TING… TONG…
Suara bel rumah Ibal berbunyi. Ibal langsung bangkit dan berjalan ke arah pintu.
TING… TONG… TING… TONG…
“BENTAR?!” teriak Ibal, membukakan pintu. Terlihat seorang wanita muda yang sudahsangat familier dengannya, Afni. “Kamu…”
“Lho?” ucap Afni bingung. “Kamu kok ada di sini?” tanya Afni berganti. Jantungnya berdetak kencang.
“Saya yang harusnya bertanya, kenapa kamu ada di sini?”
“Ini rumahnya Deva kan?” tanya Afni meyakinkan. Ibal mengangguk. “Saya mencari Deva?!”
“Deva? Kamu disuruh Deva ke sini?” tanya Ibal meyakinkan.
“Nggak,” ucap Afni. “Saya hanya ingin ketemu Deva. Dan kemarin, Deva menulis alamat ini sebagai tempat tinggal sementaranya. Dan…”
“Kamu ke sini untuk ketemu Deva dan sekarang malah ketemu saya, gitu?” tanya Ibal. Senyuman kaku melintas di bibirnya. Afni balas tersenyum. Senyum kaku.
Well, kita selalu kebetulan bertemu?!” ucap Afni menenangkan dirinya sendiri.
“Kebetulan?!” ucap Ibal mengulang. “Ancidentally in love.”
“Maksud kamu?” tanya Afni tak mengerti.
“Jujur, I’m ancidentally in love. With you?!” ucap Ibal to the point. Afni hanya menbelokan matanya. “Lucu memang, seperti sebuah buku. Tak pernah terprediksi. Obyektif. Dan tersipnosis dengan kata-kata yang membuat penasaran bagi yang membacanya bahkan yang sedang merasakannya. Semuanya teka-teki, tak ada yang tau akan akhir ceritanya. Kecuali, penciptanya,” tambah Ibal. “Saya mendapatkan kata-kata itu dari sahabat saya.”
“Dan sepertinya, saya kenal dengan kata-kata itu?!” balas Afni. Ibal tertawa.
“Sahabat saya dapat dari sahabatnya,” ucap Ibal. Menjelaskan. “Da saya juga udah janji sama seseorang, kalo saya bertemu dengan kamu lagi, saya akan melamar… kamu.”
“APA?” teriak Afni. Tampangnya 100% lebih blo’on daripada tampang sahabatnya yang lagi cengok. “Kamu gila?!”
“Mungkin, sesuatu yang ancidentally bukannya dianggap gila?!” pendapat Ibal dengan senyuman yang pernah ia lontarkan kepada Afni beberapa waktu silam. Senyuman yang menyadarkan Afni tentang satu rasa yang tak pernah terjamah dalam hidupnya. “Safni Naumal, bolehkah aku menjadi seseorang yang tercatat dalam bukumu untuk menjadi seorang pendamping?”
“Darimana kamu tau namaku?” tanya Afni. Bingung.
“Itu urusan belakangan, yang penting jawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan?” tanya Afni. LEMOT MODE : ON.
“Jangan bilang, kamu lupa sama apa yang aku tanyain ke kamu?!” ucap Ibal gemas.
Afni hanya tersenyum. Senyum yang ia lontarkan pada saat ia pertama kali bertemu dengan pria yang ada dihadapannya ini. “Ya nggak lah,” ucap Afni di selingi tawa. Grogi.
“Nggak buat apa?” tanya Ibal tegang.
“Nggak bakal nolak buat nerima kamu menjadi pendamping aku,” ucap Afni. Senyuman itu terulas di bibir merah muda nya.
Ibal refleks langsung memeluk Afni. Senyumannya selalu tersungging di bibirnya. Sama seperti Afni.
“This love for the first and for the last?!” ucap Afni, berbisik di telinga Ibal.

Kau buat aku bertanya… Kau buat aku mencari… Tentang rasa ini, aku tak mengerti… Akankah sama jadinya, bila bukan kamu… Lalu senyummu, menyadarkanku… Kau cinta pertama dan terakhirku…
[Cinta Pertama dan Terakhir – Sherina]

Created on : September, 22nd  2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar